19

1542 Kata
“Aku… lagi dekat dengan Kak Aidan. Kamu tahu? Ketua BEM FK.” Ucap Nera tanpa menatap lawan bicaranya. Ia sibuk memandangi puluhan kendaraan di jalanan, sementara tangannya memainkan kripik jagung yang entah akan dimakan atau tidak. Fatih menelan ludah. Sungguh, ini sangat asing baginya. Melihat Nera yang bicara seolah melamun dengan kedua pipinya samar-samar merona merah. Gadis itu tersipu! “Wow!” Kata itu terlontar begitu saja dari bibir Fatih. “Kenapa?” Nera merasa sedikit tersinggung dengan reaksi Fatih. “Aku tanya ini, kamu jawab itu. Agak sedikit nggak nyambung, ‘kan?” “Apa, sih, maksudmu?” “Lalu, apa hubungannya saat ini kamu dekat dengan siapa dengan pertanyaanku tadi?” Fatih mengangkat alis. Matanya melotot. Seolah menantang Nera. “Jelas ada hubungannya! ‘Kan tadi aku pulang bareng Kak Aidan.” Fatih sempurna terbelalak. Ini pertama kalinya Nera bepergian dengan laki-laki lain selain dirinya. “Naik apa?” Entah, itu adalah pertanyaan pertama yang terlintas di benaknya. “Naik motor, kenapa?” Nera makin merasa tersinggung. “Naik motor lagi!” Fatih berseru tak percaya. “Kenapa, sih?! Aku jadi menyesal cerita sama kamu.” Nera bersungut-sungut. “Hahaha.” Fatih tergelak, kemudian menyumpal mulutnya dengan beberapa kripik jagung sekaligus. “Ini… sebuah kemajuan besar, Ra.” Tiba-tiba suaranya berubah lembut. Ia bicara setelah menelan kripik jagungnya. “Kemajuan besar apanya?” Nera masih setengah kesal. “Sebelumnya, kapan kamu pernah mau diajak pergi sama cowok selain aku?” Fatih kembali mengangkat alis, menantang Nera bahwa pertanyaan retorisnya itu benar-benar tak memerlukan jawaban. “Nggak pernah, ‘kan? Kamu menghindar dengan cepat kalau ada laki-laki yang mendekatimu bahkan sebelum dia menyatakan perasaannya padamu.” Nera melipat bibirnya. Ia tak bisa berkomentar, kalimat Fatih seluruhnya adalah benar. Tak ada yang bicara. Keduanya sibuk mengunyah kripik jagung sembari menatap lampu kendaraan yang berkilat-kilat. Sesaat, sepasang sahabat itu benar-benar tenggelam dengan pikiran masing-masing. “Kenapa kamu tiba-tiba mau dekat dengan si Aidan, Ra?” Akhirnya Fatih memecah hening. “Hm?” Nera memperbaiki duduknya. “Sepertinya, awalnya karena terpaksa. Jabatan di organisasi bikin kita mau nggak mau dekat. Lama-lama, yah, asyik juga berteman sama Kak Aidan.” Fatih mengangguk-angguk. “Benar. Kamu harus memikirkan kehidupan sosialmu, Ra. Nggak mungkin kamu akan berteman denganku terus. Apalagi sampai menikah denganku. Hahaha.” Buk! Nera meninju bahu Fatih keras. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. “Kamu dendam atau gimana, sih, Ra? Sakit banget, tahu!” “Biarin!” Nera pura-pura sewot. Fatih masih mengaduh kesakitan hingga beberapa detik kemudian. Ia dan Nera pun masih bertahan di sana hingga kripik jagung dan minuman mereka tandas. Lantas kembali pulang ke rumah setelah membeli es krim stroberi pesanan Angel. Kakak Nera itu girang bukan main hanya dengan sebuah es krim rasa stroberi yang harganya tak sampai sepuluh ribu rupiah. “Aku pamit, ya?” Fatih bersiap undur diri. Seketika, selebrasi kegirangan Angel berakhir. “Mau ke mana?” Bibirnya kembali manyun. “Mau pulang dulu. Besok-besok aku ke sini lagi, kok.” Fatih selalu begitu saat berbicara dengan Angel. Kalimatnya terdengar lembut, senyumnya tak pernah surut. “Hm…” Angel masih manyun. Fatih mendekat. Laki-laki itu sedikit menunduk, menyamakan sudut pandangnya dengan Angel. “Kan masih ada besok. Besok-besok aku ke sini lagi, ya? Sekarang Angel gambar sama Mama atau Nera dulu. Besok-besok baru gambar sama aku lagi.” Ekspresi wajah Angel perlahan-lahan berubah. Kemudian ia mengangguk. Senyum tipisnya terbit beberapa saat setelahnya. “Pinternyaa…” Fatih mengusap rambut Angel lembut. “Aku pulang dulu, ya? Dadah!” Ia melambaikan tangan. Angel membalas lambaian tangan Fatih, tapi dengan gerakan malu-malu. “Kamu selalu begitu, ya? Sabar banget ngadepin Kak Angel.” Nera berkomentar saat mereka berdua berjalan keluar rumah. “Memangnya ada alasan buat nggak sabar?” “Bukan begitu, sih. Tapi, yah, intinya aku senang kamu mau jadi teman dekat Kak Angel juga. Kalau nggak ada kamu, pasti dia bosan karena hanya bisa main sama Mama atau aku. Akupun sudah jarang-jarang main sama dia.” “Bentar lagi ‘kan mungkin bakal ada teman baru?” “Hm? Siapa?” Nera mengernyit. “Masa kamu nggak mau ngenalin Aidan ke Angel?” “Hei! Memangnya hubungan kami sejauh apa sampai harus begitu?” Lagi-lagi, Nera meninju pundak Fatih. Tapi kali ini lebih aman. “Yah, siapa tahu akan lebih dekat daripada sekarang.” Nera tak menjawab. Gadis itu hanya tersipu. Tapi berusaha tak menampakkannya pada Fatih. Sayangnya, Fatih sudah hafal reaksi dan sikap Nera di luar kepala. Maka gestur yang dibuat-buat untuk menutupi perasaannya itu jelas ditangkap dengan baik oleh Fatih. “Dah, ya? Aku pulang dulu.” Fatih membuka pintu mobil. Melambaikan tangan pada Nera. Nera mengangguk. Balas melambaikan tangan. Beberapa detik kemudian, mobil Fatih sudah berlalu dari hadapannya. Maka Nera bergegas kembali ke dalam rumah. Membersamai kakaknya yang mungkin sekarang sudah sibuk makan es krim stroberi. Namun, belum sempat ia membuka pagar rumahnya, suara mobil Bambang terdengar mendekat. “Bukakan pintu garasi, Ra!” Bambang menurunkan kaca mobil. Nera mengangguk. Bergegas menggeser pintu pagar hingga cukup untuk mobil sang ayah masuk. Kemudian membuka pintu garasi. “Tadi Fatih dari sini?” Tanya Bambang, ia sudah selesai memarkir mobilnya di garasi. Kini, sedang menutup pintu garasi. Nera yang sudah hampir berbalik masuk ke dalam rumah seketika balik badan. “Iya. Tadi ayah ketemu di jalan?” Jawabnya kemudian. “Iya.” Tak ada yang perlu dibicarakan, Nera gegas balik badan. Di dalam rumah, Mama sedang sibuk membersihkan kotoran bekas Angel makan es krim. Pasti tadi kakaknya itu ngotot minta makan es krim sendiri dan berakhir lari-larian berebut es krim dengan sang mama. Kejadian seperti itu sudah sering Nera lihat. “Mau dibantuin, Ma?” Nera menawarkan diri. “Nggak usah. Udah mau selesai.” Mama sibuk mengepel bekas-bekas es krim di lantai. “Kak Angel di mana?” “Di kamar.” Nera beranjak, menghampiri kamar kakaknya. Di sana, Angel sudah tiduran di atas kasur sembari membaca komik. Nera tersenyum, mendekati kakaknya yang terlihat serius. Kemudian ikut merebahkan diri di sebelah sang kakak. Angelika Jenaika, kakak Nera yang terpaut dua tahun lebih tua darinya itu memang terlahir spesial.  Kemampuan kognitifnya berkembang tak sebaik anak-anak lainnya. Bahkan cenderung sangat lambat. Di usianya yang sudah kepala dua ini, kemampuan kognitif Angel masih setara anak-anak SD. Keterlambatan kemampuan kognitif itu akhirnya juga mempengaruhi kemampuan sosial Angel. Bukan hanya ia tak bisa bergaul dengan orang-orang seusianya, ia juga tak bisa bergaul dengan anak-anak yang kemampuan kognitifnya setara dengannya. Bukan karena ia tak mau, tapi karena lingkungan yang seolah menghalanginya. Ya, sejak kecil, Angel sudah kenyang dijadikan bahan olok-olokan. Orang-orang di sekitarnya selalu menyingkirkannya dari pergaulan sosial. Menganggapnya tak pantas berada di antara orang-orang, tak layak membangun hubungan pertemanan dengan orang lain. Mama yang sering sekali melihat Angel mendapat perlakuan tak adil akhirnya hanya bisa menelan bulat-bulat rasa sedihnya. Kemudian ia menarik putri sulungnya ke dalam pelukan dan tak lagi membiarkan Angel berkeliaran di lingkup kehidupan sosial. Angel sempurna menghilang dari kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, rasa sedih karena tak mendapatkan perlakuan yang pantas di masyarakat itu belum juga berakhir. Karena Bambang, suami sekaligus ayah dari Angel juga memperlakukan putri mereka seperti orang-orang itu. Mengucilkannya, menggerutu soal kekurangannya. Saat itu, Mama bersedih cukup lama. Hingga akhirnya ia berbesar hati untuk mendampingi putri sulungnya apapun yang terjadi. Beruntung, putri bungsunya tak mengalami hal yang sama. Nera tumbuh menjadi gadis yang pengertian. Tak banyak menuntut meski jarang sekali mendapat perhatian darinya karena hampir seluruh perhatiannya telah tersita oleh Angel. Tak banyak membuat masalah, tak banyak merajuk, dan kemudahan-kemudahan lainnya. Nera benar-benar tumbuh menjadi gadis yang jauh berbeda dengan Angel. Namun, keduanya tetap memiliki keunikannya masing-masing. “Kakak suka komik ini?” Tanya Nera. Ia tak mengenali komik yang dibaca sang kakak. Kemungkinan komik lokal khusus anak-anak. “Ssst…” Angel menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Jangan berisik kalau ada orang lagi baca buku, Ra. Bisa terganggu.” Katanya sembari berbisik. Nera hampir terkekeh, namun ia tahan sebisanya. “Nera mau ikut baca juga?” Tanya Angel kemudian. Nera menoleh. Menatap kedua bola mata Angel yang mengerjap-ngerjap, menunggu jawaban darinya. “Iya, mau.” Angel tersenyum riang. Segera menggeser tubuhnya, lebih rapat ke arah adik semata wayangnya. Kemudian membuka lebar-lebar buku yang ia pegang. “Kalau Nera belum selesai bacanya, nanti aku tungguin, kok. Baca pelan-pelan aja.” Nera lagi-lagi mengulum senyum. “Iya.” Jawabnya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki Angel, wanita itu selalu menganggap Nera sebagai adik kecilnya. Mengayominya, mengalah padanya, bahkan memberikan barang-barang berharganya pada Nera. Seperti beberapa waktu lalu, saat Nera memperhatikan sebuah boneka beruang berukuran tanggung di kamar Angel, ia langsung memberikannya pada Nera. Padahal, Nera menatap boneka itu tanpa sengaja. Ia sedang melamun memikirkan hal lain. Dan Angel menganggap tatapan Nera sebagai bentuk keinginan untuk memiliki bonekanya itu. Lucu memang, melihat ketimpangan perkembangan kognitif keduanya dan Angel tetap bersikap layaknya seorang kakak. Ia menyayangi Nera layaknya seorang kakak pada adiknya. Tak kurang, tak lebih. Pun Nera, meski dulu ia sering merasa iri karena mamanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Angel, pada akhirnya ia tetap menyayangi kakaknya itu. Meski Angel dilahirkan dalam kondisi yang spesial, ia tetap menganggap Angel sebagai kakak satu-satunya. Yang kadang kala menjadi tempat ternyaman baginya untuk bersandar dan berbagi beban. Begitulah saudara. Saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Saling menyayangi tanpa kurang suatu apapun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN