20

1871 Kata
Dalam perjalanan pulang, Fatih terus terngiang wajah Nera yang samar-samar merona merah saat membicarakan tentang kedekatannya dengan Aidan. Ada perasaan asing yang menjalar di dadanya. Namun ia tak yakin apa jenis perasaan itu. Karenanya, sejak tadi ia terus memikirkan obrolannya dengan Nera. Bahkan, Fatih berkali-kali mendesis saking gemasnya. Bingung mengurai perasaan di dadanya yang tiba-tiba bereaksi asing. Fatih masih menyetir dengan sedikit melamun. Untung saja jalanan menuju rumahnya tidak terlalu ramai. Bahaya sekali menyetir dalam keadaan kurang fokus begitu. Beberapa ratus meter sebelum tiba di rumahnya, dering ponsel karena ada telepon masuk itu membuyarkan lamunannya. “Siapa?” Gumamnya. Ia enggan merogoh saku untuk mengambil ponselnya. “Ntar aja, deh, ditelepon lagi.” Fatih masih bicara sendiri. Kedua tangan Fatih memutar kemudi, ban mobil berbelok. Masuk ke halaman rumahnya yang tidak terlalu luas. Tadi, seorang laki-laki bertubuh kurus membukakan pintu pagar untuknya. “Makasih, Pak!” Fatih berseru dari dalam mobil. Laki-laki bertubuh kurus yang sudah belasan tahun bekerja untuk keluarga Fatih itu tersenyum kemudian mengangguk. Membiarkan mobil anak majikannya lewat begitu saja. Usai memarkir mobil di garasi, Fatih segera merogoh ponsel di sakunya. Memeriksa telepon masuk yang tadi tak sempat diangkat. Ia bergegas menelepon balik. “Halo?” Sapa Fatih begitu telepon tersambung. “Ada apa?” “Besok pasienku mau cabut gigi, kamu bisa nanganin, nggak?” Suara seorang laki-laki terdengar di seberang. “Bisa, tapi siang, ya? Pagi udah ada janji sama dua pasien.” “Oke, deh. Aku kasih nomormu ke pasienku, ya? Biar kalian janjian sendiri.” “Oh, oke oke.” Fatih menjempit ponselnya di antara bahu dan telinga. “Ya udah. Makasih, Tih!” “Eh, bentar bentar!” Fatih berseru. “Ada apa?” “Kamu kenal Aidan, anak FK?” Tanya Fatih. Ia sudah duduk di dalam kamarnya. Orang tuanya belum datang, ia sudah terbiasa sendirian di rumah. Hanya ditemani Pak Hamid, laki-laki yang tadi membukakan pintu untuknya. “Aidan, Zaky Aidan? Ketua BEM FK yang sekarang?” Suara di seberang setengah memekik. “Iya, iya. Kenal?” “Kenal lah! Kenapa? Jangan bilang kamu suka sesama jenis? Aduh, Fatih! Pantes aja selama ini nggak pernah kelihatan deket sama cewek!” Suara di seberang telepon terdengar heboh sendiri. Fatih mendengus. Kawannya itu memang begitu. “Terserah!” Sergahnya. “Kamu kenal dekat sama dia?” “Nggak dekat, sih. Tapi kenal, beberapa kali ngobrol juga. Wah… beneran, deh, Tih. Kenapa tanya Aidan?” “Orangnya gimana? Menurutmu aja.” “Baik, pinter. Supel, sih. Kalau kamu ketemu langsung, pasti seneng ngobrol sama dia. Asyik orangnya.” Fatih mengangguk-angguk. Nera juga bilang begitu. “Ya udah, deh. Makasih.” Fatih merebahkan diri di kasur. “Kamu tetap nggak mau bilang kenapa tanya soal Aidan? Sebelum aku benar-benar menyebarkan rumor kalau kamu penyuka sesama, nih.” “Terserah!” Fatih sudah malas menanggapi kawannya. “Hahahaha!” Kesal, Fatih segera menutup sambungan telepon.  Di sana, kawannya pasti sedang mengomel karena ia menutup telepon tanpa berpamitan. Fatih balik badan, tidur menyamping. Matanya menerawang menatap tembok kamarnya. Hari ini ia lelah sekali. Ada tiga pasien cabut gigi sejak siang tadi. Tapi pasien terakhir sulit sekali pengerjaannya. Ia harus mencabut gigi geraham yang sudah mengalami abses selama bertahun-tahun sampai membentuk polip di tengah-tengah akar gigi. Belum lagi ambang batas nyeri si pasien yang sangat rendah. Membuat proses pencabutan jadi semakin penuh drama. Fatih kembali teringat kalimat-kalimat Nera, ekspresi wajahnya, dan reaksi perasaannya. “Ah, ini pasti karena aku terlalu lama temenan sama dia.” Pungkasnya. Menepis gundah yang tiba-tiba menyergap. Laki-laki itu beranjak. Mengambil baju ganti kemudian bergegas keluar kamar. Meraih handuk yang tersampir di jemuran dekat kamar mandi. Waktunya menyegarkan diri, pikiran, dan perasaannya. Ya, ia yakin, gundah yang tiba-tiba merajai hatinya itu hanya karena ia terlalu lama menjadi satunya sahabat dekat Nera. *** Seminggu sebelum ujian akhir semester, uji coba kedua dilaksanakan. Bekerja sama dengan empat sekolah menengah atas yang tiap tahun selalu mengirim utusan untuk mengikuti kompetisi Neomicin. Tiga hari sebelum uji coba dilakukan, sosialisasi dan briefing dilakukan pada pihak yang bertanggung jawab atas laboratorium komputer sekolah. Dan, beruntung, uji coba bisa dilaksanakan dengan tertib tanpa suatu kendala apapun. Menjelang sore hari, saat matahari sudah mulai bergerak ke arah barat, saat gumpalan awan yang seperti kapas memenuhi langit kota, beberapa motor yang dikendarai panitia Neomicin tampak melaju salip menyalip di jalanan. Mereka baru saja pulang dari sekolah yang dijadikan tempat uji coba. Salah satu motor itu dikendarai oleh Aidan dan Nera. Aidan terlihat memelankan laju motornya. Seolah sedang menunggu motor yang melaju di belakangnya. “Kok pelan, Kak?” Nera protes. “Nunggu Wina. Mau janjian di tempat makan aja. Ada yang mau diobrolin. Oh iya, kamu nggak ada kuliah, ‘kan?” Suara Aidan samar-samar terdengar. Terbawa angin yang kencang bertiup. “Nggak ada.” Nera menggeleng. Ujung helmnya membentur bagian belakang helm Aidan. Membuatnya memundurkan kepala seketika. “Nah, kita mampir ke tempat makan sebentar, ya? Bentar lagi UAS, waktu buat organisasi pasti akan berkurang banyak. Jadi hal-hal yang penting kita obrolin sebentar lagi aja.” “Oke, Kak.” Dari kaca spion, motor Wina mulai terlihat mendekat. Aidan semakin menurunkan kecepatan motornya. “Kenapa, Dan?” Wina berteriak. Rupanya ia sadar motor di depannya sedang menunggu motornya. Kaca helm Wina terbuka lebar. Di belakangnya, Izza hanya diam memperhatikan. “Mampir ke Kafe Biru, ya?” Aidan balas berteriak. “Ngapain?” “Rapat sebentar.” “Oke.” Wina menutup kembali kaca helmnya. Aidan menambah kecepatan motornya. Gegas menuju tempat pertemuan mereka selanjutnya. Kafe Biru, adalah sebuah tempat makan yang banyak digandrungi mahasiswa. Lokasinya yang strategis berada di dekat kampus, menu yang beragam, harga yang bersahabat, dan desain interior yang instagramable menjadi daya tarik yang tidak bisa dihiraukan. Aidan membelokkan motornya masuk ke halaman depan Kafe Biru. Seketika, suara musik yang mengalun syahdu memenuhi telinga mereka. Nera turun dari motor. Membuka helm, kemudian sibuk melihat-lihat bagian depan kafe. “Belum pernah ke sini, Ra?” Aidan sudah berdiri di sampingnya. “Belum.” Nera menggeleng. “Syukurlah, kenangan pertamamu ke kafe ini adalah denganku.” Aidan tersenyum. Menatap Nera dengan tatapan yang belakangan ini sudah terbiasa Nera dapatkan. Nera balas tersenyum. Kemudian bergegas masuk ke dalam kafe. Aidan memilih tempat duduk di dekat jendela sebelah selatan. Menghindari cahaya matahari yang masuk lewat sela-sela tumbuhan di depan kafe. Menembus kaca jendela, membuat mengkilat benda-benda yang tertimpa. Dua menit setelah mereka tiba, suara motor Wina terdengar memasuki halaman depan kafe.Beberapa detik kemudian, dua gadis berkerudung panjang itu memasuki ruangan. “Kalian udah pesan?” Wina yang bertanya. “Belum. Sengaja nunggu kalian.” “Ya udah, pesen dulu, yuk. Haus banget.” Wina segera duduk di sebelah Nera. Izza menggaruk pipinya canggung. Berbisik pada Nera untuk pindah duduk di sebelah Aidan. “Udah, nurut aja.” Ucap Aidan. Enggan berlama-lama berdebat, Nera menurut. Duduk di sebelah Aidan. Berhadapan dengan Wina dan Izza, berhadapan dengan kaca jendela besar. “Apa yang kurang dari proposal, Za?” Aidan memulai rapat informal mereka. Sembari memilih menu makanan dan minuman. “Sembilan puluh persen beres, tinggal kita masukkan detail pelaksanaan babak penyisihan.” Izza menjawab. “Sebelum UAS sebaiknya sudah selesai, kita maju lagi ke dokter Anita.” Ucap Aidan tanpa melihat lawan bicaranya. Ia sedang menulis menu yang hendak ia pesan di kertas. Izza mengangguk. “Nama-nama panwil juga udah beres?” Aidan menyodorkan buku menu ke Nera. Membiarkan gadis itu memilih. Di hadapannya, Wina dan Izza juga melakukan hal yang sama. “Sudah, Kak.” Nera yang menjawab. “Mereka sudah tergabung dalam satu grup, lusa akan kita adakan briefing dengan mereka.” Lanjutnya sambil mulai memilih-milih menu. “Oke, bagus. Tanggal-tanggal penting pelaksanaan kompetisi sudah di-fix-kan sama dokter Anita, ya?” “Sudah.” “Berarti poster pendaftaran kompetisi sudah digarap?” “Iya, dalam proses pengerjaan.” Masih Nera yang menjawab. Izza mengangguk membenarkan kalimat partnernya itu. Ia sedang sibuk menuliskan menu pesanan miliknya dan Wina. “Kalau proposal bisa beres sebelum UAS, surat permintaan menjadi pemateri seminar kira-kira bisa nggak sambil dikerjakan saat UAS, Za?” Wina menoleh ke arah gadis berkerudung marun di sebelahnya. “Bisa, Kak. ‘Kan sudah ada template-nya tinggal menyesuaikan aja.” Wina mengangguk-angguk. “Nyebarinnya juga bisa sambil UAS? Jadi setelah UAS kita sudah bisa lanjut ke tahap berikutnya. Perilisan poster secara resmi, sosialisasi ke wilayah-wilayah, dan lain-lain.” “Bisa bisa. Anak-anak pasti mau.” Jawab Izza meyakinkan. Gadis berkerudung itu menyodorkan pena dan kertas berisi menu pesanan pada Nera. Nera segera menuliskan pesanannya. Kemudian memanggil pramusaji yang terlihat sedang senggang, memberikan kertas dan pena padanya. “Oh ya, karena sosialisasi di wilayah akan jadi tanggung jawab panwil, pastikan mereka paham betul teknis pelaksanaan kompetisi mulai dari pendaftaran, babak penyisihan, sampai mereka tiba di kampus kita buat berkompetisi secara langsung.” Aidan mengingatkan. “Siap, Kak.” Nera dan Izza menjawab bersamaan. Rapat informal itu terus berlanjut. Membicarakan tentang banyak hal, Izza mencatatnya dengan baik. Bahkan saat makanan dan minuman yang mereka pesan tiba, obrolan empat mahasiswa itu semakin bersemangat. Mereka menghabiskan pesanan mereka sembari mengobrol. Hingga cahaya matahari bersinar jingga, barulah Wina beranjak dari kursinya. “Aku ada kegiatan lagi habis ini, duluan, ya?” Katanya. “Aku ikut, Kak.” Izza ikut bangkit. Piring dan gelasnya sudah tandas. “Kalian gimana?” Wina menatap Aidan dan Nera bergantian. “Biarin aja, mereka bisa pulang bareng.” Celetuk Izza. Tanpa sadar, pipi Nera jadi merona merah. “Ya sudah, kita pamit dulu, ya?” Wina melambaikan tangan. Sepertinya ia tak menyadari perubahan wajah Nera. “Iya. Hati-hati, ya?!” Aidan balas melambaikan tangan. Wina menguluk salam kemudian bergegas keluar ruangan. Kini, tinggallah Aidan dan Nera di sana. Tentu saja dengan pengunjung yang lain. Aidan beranjak, pindah tempat duduk. “Kenapa pindah?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Nera. Tanpa dipikir, tanpa dipertimbangkan. “Kenapa? Kamu mau aku duduk di sebelahmu aja?” Goda Aidan. “Eh? Bukan bukan.” Warna merah jambu di pipi Nera semakin kentara. Aidan tersenyum. “Kalau aku duduk di sini, aku jadi bisa lihat wajahmu lebih jelas.” Nera menggigit bibir. Ia merutuk dalam hati karena jantungnya jadi semakin berisik. Ia khawatir suaranya terdengar sampai ke seberang meja. “Ra…” Panggil Aidan lembut. Nera mendongak. Menatap Aidan yang balas menatapnya dalam. Mendadak, Nera menelan ludah. Ini suasana yang berbahaya. Lihatlah, Aidan duduk di hadapannya. Dengan latar langit sore yang indah. Semburat jingga di mana-mana. Bersembunyi di balik gumpalan awan laksana kapas putih. Cahaya matahari menembus kaca jendela, meninggalkan bias cahaya yang sangat indah. Menyinari sebagian wajah Aidan, membuat ujung rambut dan bulu matanya terlihat berkilau keemasan. Membuat warna iris matanya yang cokelat tua semakin terlihat menawan. Membuat hidungnya yang mancung terlihat semakin memikat. “Y-ya, Kak?” Susah payah Nera menjaga agar suaranya terdengar biasa saja. Aidan tak segera menjawab. Ia terus menatap Nera dalam. Bayangan gadis itu terlihat jelas di kedua bola mata Aidan. Ia jelas sedang sangat fokus pada Nera sekarang. “Aku… nggak main-main soal perasaanku, Ra.” Deg! Nera menahan nafas. Tubuhnya mematung di tempat. Mata Aidan mengerjap-ngerjap. Menambah indah kilau keemasan bulu matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan kelopak matanya. “Kalau kamu punya perasaan yang sama denganku, bisakah kita menjadi lebih dekat dari sekedar rekan kerja dalam kepanitiaan ini, Ra?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN