Nera benar-benar membeku. Ia bahkan tak mampu mengedipkan kelopak matanya. Nafasnya tertahan meski jantungnya berdetak semakin kencang. Ini sungguh di luar dugaan. Aidan menyatakan perasaannya?
“Ra…”
Suara Aidan menggelitik pendengaran Nera. Membuat gadis itu tergeragap.
“Ah…” Nera buru-buru menenangkan jantungnya. Menghalau rasa panas yang menjalar ke wajahnya.
“Maaf, pasti kamu kaget, ya?”
Nera menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. “Ya, sedikit.” Gadis itu akhirnya berhasil menguasai diri.
“Harusnya nggak usah kaget, kamu ‘kan sudah tahu?”
“Ya, tetep aja. Kalau Kak Aidan bilangnya serius begini jadi ada kesan yang berbeda.” Nera benar-benar sudah bisa mengatasi kegugupannya. Ia bahkan bisa berbicara dengan lancar tanpa salah tingkah saat matanya bersitatap dengan Aidan.
Aidan tersenyum. Laki-laki itu melipat tangan di atas meja. Mencondongkan tubuhnya ke depan. Menatap Nera dengan intens.
“Bagaimana kesannya?”
Entah bagaimana, suara Aidan terdengar lebih merdu dari biasanya.
“Lebih… menggoda?”
“Hahaha!” Sontak Aidan tergelak. “Pilihan katamu menarik sekali, ya, Ra.” Laki-laki itu mengusap ujung matanya. Sepertinya kalimat Nera terdengar sangat lucu di telinganya.
“Ya… aku cuma bicara jujur.” Nera mengangkat bahu tak peduli.
Hening sesaat. Masing-masing sibuk mengaduk minuman yang esnya sudah mencari. Nera menghabiskan minumannya. Kemudian kembali menatap Aidan.
Rupanya, yang ditatap pun sedang mengamati diam-diam. Kedua mata mereka bersirobok. Membuat keduanya tak mampu menahan tawa.
“Ada yang kamu katakan, Ra?” Aidan yang lebih dulu bertanya.
Nera mengangguk. Ia ikut melipat tangan di atas meja. Wajahnya berubah serius.
“Karena aku nggak suka ketidakjelasan, aku akan bilang terus terang.” Sorot mata Nera lurus ke depan. Aidan diam mendengarkan. “Jujur, aku juga merasa nyaman bareng Kak Aidan. Tapi, ini sesuatu yang asing buatku, Kak.”
Nera sengaja memotong kalimatnya. Tatapan mereka bertemu. Nera menunggu reaksi Aidan. Laki-laki itu masih diam menunggu kelanjutan kalimatnya.
Nera menarik nafas panjang. “Jadi, aku butuh waktu buat mendefinisikan perasaanku, Kak.”
Aidan mengangguk. “Aku mengerti.” Ia tersenyum menatap gadis cantik di hadapannya. “Take your time, Ra. Aku akan selalu menunggu.”
Keduanya saling melempar senyum. Nera menutup sore itu dengan kehangatan yang menelusup di sela-sela relung dadanya. Memenuhi kepalanya dengan bayangan laki-laki di hadapannya. Aidan pun mengakhiri hari dengan perasaan puas. Lega setelah menunaikan rencana yang telah ia susun sejak lama. Sejak melihat gadis itu di kampus, sejak mengetahui bahwa Nera menjadi anggota BEM, dan sejak tanpa sengaja ternyata gadis itu yang menjadi ketua panitia Neomicin.
***
Kantor firma hukum milik Bambang. Pengacara kondang itu sedang gelisah, mondar mandir sejak tadi dengan raut wajah yang tak menentu. Seorang laki-laki yang duduk di meja sekretaris terlihat ikut gelisah. Bukan, bukan karena alasan yang sama. Ia justru gelisah karena Bambang sedang gelisah. Ya… pokoknya, begitulah.
Dering ponsel Bambang menghentikan langkah laki-laki itu. Ia bergegas meraih ponselnya. Menempelkannya ke telinga usai membaca nama yang tertera di sana.
“Kau sudah gila, hah?!” Bambang melotot.
“Maafkan aku, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menolak gugatan yang sama dua kali berturut-turut.” Suara laki-laki terdengar dari seberang telepon.
Bambang memijit pelipis. “Masalahnya, aku tidak tahu bukti apa yang mereka miliki!” Ia benar-benar geram. Ia sudah mencari tahu ke sana ke mari tentang pergerakan Pramana, siapa tahu ia jadi menemukan bukti yang dipegang Pramana. Namun, jaksa muda itu lebih lihai dari dugaannya. Ia seolah tahu sedang diawasi dan diikuti. Ia sengaja pergi ke tempat-tempat tak biasa. Mampir ke banyak tempat tanpa melakukan apa-apa. Lalu, tiba-tiba menghilang entah di mana.
“Kau ‘kan hanya perlu memenangkan sidang, tidak peduli bukti yang mereka bawa.” Suara di seberang terdengar acuh tak acuh.
Bambang justru semakin geram. “Kau kira gampang memenangkan sidang itu?!”
“Harusnya gampang, dong. Kau ‘kan sudah sangat berpengalaman. Apalagi ini kasus yang sudah pernah kau tangani sebelumnya.”
“Justru karena sudah pernah kutangani sebelumnya, aneh kalau ada orang yang bilang masih punya bukti yang bertentangan dengan hasil sidang.”
Bambang mengatur nafasnya yang memburu. Menenangkan dadanya yang bergemuruh.
“Padahal aku yakin semua bukti sudah sesuai hasil sidang.” Bambang bergumam.
“Kalau kau yakin, kenapa harus takut?”
Brak! Bambang menggebrak meja. Geram bukan main. “Kau tidak mendengarkan ucapanku dari tadi, hah?!”
“Iya iya, aku dengar. Tidak usah marah-marah. Nanti keriputmu semakin banyak.”
Jika lawan bicaranya ada di hadapannya, sepertinya Bambang benar-benar akan menampar laki-laki itu.
“Sudahlah! Jadi, kau tetap akan menyetujui permohonan gugatan itu?” Bambang sudah tidak bersungut-sungut. Percuma juga marah-marah di kantornya, lawan bicaranya itu pasti sedang santai-santai saja di kursi kebesarannya.
“Iya. Mau tidak mau.”
“Baiklah.” Pungkas Bambang.
Ia menutup sambungan telepon. Menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya dalam beberapa kali hitungan. Meredam geram yang sejak tadi menguasai dirinya.
“Ba-bagaimana, Pak?” Sekretaris Bambang itu baru berani bertanya.
“Ah, iya. Cari dokumen kasus yang kubilang tadi.”
“Baik, Pak.”
Bambang berjalan memutari meja. Menghempaskan tubuhnya di sana. Ia mencari sebuah nama di ponselnya. Menelepon pemilik nama itu.
“Selamat siang, Pak.” Intonasi suara Bambang berubah sopan.
“Ya, ada apa?” Suara di seberang menyambut datar.
“Anda punya waktu hari ini? Ada sesuatu yang harus kita bicarakan.”
“Hm… aku selesai sidang terakhir sore nanti, jam empat sore. Datanglah ke kantorku.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
“Bambang…”
“Ya, Pak?”
“Jangan bilang ini soal gugatan yang sudah pernah kita bicarakan beberapa waktu lalu?” Suara di seberang terdengar waspada.
Bambang menelan ludah. “I-iya, Pak.”
Suara dengusan keras terdengar. Bambang menggigit bibir.
“Baiklah. Datanglah ke kantorku. Jangan sampai membuatku menunggu terlalu lama.” Suaranya berubah tegas.
“Baik, Pak.”
Bambang menekan ikon telepon berwarna merah di layar ponselnya. Kemudian meletakkannya di atas meja. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa kasus yang berhasil ia menangkan bertahun-tahun lalu itu akan digugat kembali. Ia pikir, kasus itu sudah benar-benar selesai. Bahkan, ketika beberapa tahun setelahnya terjadi sesuatu yang menggemparkan jagat media, kasus itu tetap dianggap selesai. Tidak ada satupun yang mengajukan guguatan untuk sidang apalagi penyelidikan ulang. Meski tetap saja, ada orang-orang yang tak setuju dengan hasil sidang. Tapi, mereka tidak bisa apa-apa. Hanya berbicara sumbang di belakang.
“Danu, coba lihat di daftar kontak klien, cari nama Dokter Baskara.” Bambang memberi perintah pada sekretarisnya.
“Baik, Pak.”
“Kalau sudah ketemu, langsung hubungi aja. Bilang dari Bambang, pengacara yang menangani kasusnya dulu.”
“Siap, Pak.”
Sementara itu, di kantor kejaksaan, Pramana baru saja tiba. Wajahnya terlihat puas, bibirnya bersiul riang.
“Dari mana, Pak? Kayaknya lagi seneng.” Seorang wanita muda yang duduk di belakang meja menyapa ramah.
“Dari arena pertarungan. Habis menantang lawan.” Pramana terkekeh.
“Bapak masih ngurus pengajuan tuntutan kasus korupsi NICU itu, Pak?” Wanita itu mengangkat alis.
“Hm? Mungkin.” Pramana mengedikkan bahu, acuh tak acuh.
“Wah, Anda menantang lawan yang salah, Pak.” Wanita itu geleng-geleng kepala.
“Kenapa?”
“Pak Bambang itu terkenal hampir selalu memenangkan kasus, Pak. Jaksa dan pengacara yang akan melawan Pak Bambang biasanya keder duluan sebelum sidang. Apalagi jaksa muda seperti Pak Pramana. Eh, Anda malah nantangin.”
“Kamu bilang apa? Hampir selalu? Artinya tidak selalu, ‘kan? Dia pasti pernah kalah, ‘kan?”
“Iya, pasti pernah. Tidak ada yang tidak pernah kalah, Pak.”
“Nah, karena itu aku akan menyumbang satu lagi kekalahan buat Pak Bambang Herlambang.” Ucap Pramana dengan penuh percaya diri.
Yah, meski tidak sehebat Bambang, setidaknya dalam lima tahun terakhir karirnya sebagai jaksa, ia sudah memenangkan tujuh puluh persen dari seluruh kasus yang ia tangani.
Wanita di belakang meja itu memutar bola mata, sebal dengan sikap penuh percaya diri yang ditunjukkan Pramana. “Terserah Anda, deh. Yang pasti saya sudah mengingatkan.”
“Iya, iya. Terima kasih sudah mengingatkan.” Pramana pura-pura tersenyum manis. “Dah, aku naik dulu!” Laki-laki itu melambaikan tangan kemudian berlalu. Meninggalkan si wanita tetap di belakang meja sembari menggeleng-gelengkan kepala.
***
Aidan turun dari motornya, melepas helm kemudian melangkah pelan menyusuri pinggiran jalan beraspal yang rusak di sana sini. Laki-laki itu mendongak, merasakan semilir angin yang berhembus pelan. Memainkan rambutnya, membelai kulit wajahnya. Ia terus melangkah, memasuki pintu gerbang besi yang selalu terbuka di siang hari. Langkah-langkah kaki Aidan mulai memasuki jalan setapak yang ditumbuhi rumput-rumput hijau. Dan ia masih terus berjalan.
Aidan sudah berkendara belasan kilometer di akhir pekan terakhirnya sebelum besok ujian akhir semester menyambut. Laki-laki jangkung itu masih terus melangkah, hingga akhirnya berhenti di tepi sebuah pusara yang sudah rata.
Wirahadi Atmajaya. 15 November 1975 – 25 April 2016.
Begitulah tulisan yang tertera di batu nisan itu. Tintanya memang sudah memudar, tapi kenangan tentang jasad yang berada di bawah pusara itu, tidak memudar sedikit pun dari benak Aidan.
“Ayah, besok Aidan UAS. Bagi Aidan, ujian apapun itu, rasanya tidak terlalu berat.” Aidan sudah duduk berjongkok di samping pusara sang ayah. Berbicara dengan lembut, seolah sang ayah ada di hadapannya. “Karena Aidan sudah pernah mengalami ujian yang jauh lebih berat dari ujian di bangku sekolah. Yang tidak memberi waktu untuk menyiapkan diri, yang membuat Aidan bahkan tidak sempat belajar apapun kecuali saat ujian itu akhirnya berlangsung.”
Aidan menatap tanah datar itu dengan sorot mata sendu. Ada kesedihan yang membayang jelas di sana. Terbayang kejadian bertahun-tahun lalu saat dirinya mendapat kabar tentang ayahnya yang berpulang.
“Ayah, kalau Ayah masih hidup, Aidan nggak tahu apa yang Ayah inginkan. Tapi, Aidan yakin, Ayah ingin Aidan belajar tentang ikhlas dan sabar setelah mengalam ujian-ujian berat itu, ‘kan?”
Hening, suara kesiur angin terdengar merdu di telinga.
“Kalau saja, ujian itu murni karena Tuhan ingin membuat Aidan belajar, Aidan pasti akan benar-benar bisa belajar tentang ikhlas dan sabar itu. Sayangnya, ujian itu justru ada campur tangan manusia serakah yang rela melakukan segala hal demi memuaskan rasa haus mereka akan uang dan jabatan.” Seketika, ekspresi sendu Aidan berubah mengeras. Rahangnya mengetat, gigi geliginya beradu rapat.
“Ayah, satu hal yang Aidan yakin, Ayah pasti mendukung jika Aidan ingin mengungkapkan kebenaran, kan? Ayah adalah orang paling jujur yang pernah ada di hidup Aidan. Ayah pasti akan menunjukkan kebenaran pada orang-orang yang memang seharusnya mengetahui kebenaran itu.”
Aidan menyentuh tanah di hadapannya. Gerakan tangannya pelan dan lembut. Seolah sedang membelai tubuh ayahnya yang mungkin sudah tersisa tulang berbalut kain kafan.
“Itulah yang Aidan lakukan sekarang, Yah. Mungkin dengan cara yang berbeda. Ah, lebih tepatnya, menggunakan cara yang biasa digunakan orang-orang serakah itu.” Aidan diam sesaat. Ia menarik nafas dalam. Kedua matanya sudah digenangi air. “Ayah, Aidan akan menunjukkan pada semua orang bahwa Ayah tidak bersalah. Dan Aidan akan membongkar semua kebusukan orang-orang serakah itu!”