Tahun 2013. Di sebuah rumah sakit bernama Rumah Sakit Suka Sembuh.
Wirahadi, seorang dokter anak senior sedang berpacu dengan malaikat maut. Kedua tangannya sibuk memompa udara agar kantong-kantong udara di dalam paru-paru bayi yang baru lahir itu terkembang dan tidak saling menempel. Meski lelah, kedua tangannya terus bergerak. Sedikit lagi, sedikit lagi mereka akan tiba di ruang perinatologi.
Begitu tiba di ruangan, semua perawat jaga segera bergegas. Membantu Wirahadi memasang alat bantu nafas pada bayi yang beratnya tak sampai dua kilogram itu. Salah satu dari dua alat bantu nafas yang mereka miliki.
Tiga puluh menit berlalu, berbagai macam alat medis sudah menempel di tubuh bayi mungil itu. Dadanya terlihat kembang kempis, artinya alat bantu nafas berfungt dengan semestinya. Tetesan cairan infus yang tergantung di atas inkubator juga terlihat jatuh perlahan. Sesuai dengan kebutuhan cairan si bayi. Bayi itu terlihat tertidur lelap.
Wirahadi memperhatikan angka-angka yang tertera di layar monitor, yang kabel-kabelnya tersambung ke tubuh si bayi. Ia terus memperhatikan. Memastikan semuanya bergerak menuju angkat normal atau paling tidak menuju angka aman. Hingga lima menit kemudian, wajah tegang Wirahadi yang tertutup masker medis mulai terlihat memudar.
“Dok, ada telepon Pak Direktur.” Seorang perawat memberitahu.
Wirahadi bergegas. Melepas sarung tangan kemudian meraih gagang telepon yang disodorkan si perawatan.
“Iya, Dok?” Sapanya.
“Kau di mana? Rapatnya dimulai lima menit lagi!” Suara di seberang telepon terdengar panik.
“Ah, iya iya. Maaf. Sebentar lagi saya segera ke sana.” Wirahadi meletakkan gagang telepon di tempatnya. “Saya titip observasi bayi itu, ya? Terapi dan lain-lain sudah saya tulis di rekam medis. Kalau ada apa-apa, telepon saja.” Ujarnya pada seorang perawat.
“Baik, Dok.”
Wirahadi bergegas melepas semua atribut medisnya, mencuci tangan, kemudian masuk ke ruangannya. Mengambil jas dokter lalu mengenakannya, menyambar tas berisi laptop dan berkas lainnya. Dalam sekejap, ia sudah berlarian menaiki anak tangga menuju lantai dua. Lalu berlarian lagi di sepanjang lorong yang menghubungkan gedung A dan gedung B, menuju ruang rapat yang telah diberitahukan sebelumnya.
“Maaf, apa saya terlambat?” Tanya Wirahadi begitu masuk ruangan.
“Tidak, Dok. Tidak. Anda datang tepat waktu. Silakan duduk!” Seorang wanita terlihat menyambut ramah.
Wirahadi duduk di kursi yang telah disediakan. Hari ini, adalah hari yang sangat penting di hidupnya. Hari ini adalah hari di mana ia harus menjelaskan rincian dana yang dibutuhkan untuk program pembangunan ruang neonatal intensive care unit. Di ruang rapat itu, sudah hadir orang-orang penting yang berkaitan dengan program itu. Ada perwakilan dari dinas kesehatan, utusan dari pemerintah provinsi, direktur rumah sakit, wakil direktur keuangan, dan lain-lain.
Awalnya, usulan soal pembangunan ruang NICU itu dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Dianggap usulan itu terlalu muluk-muluk. Dianggap impian itu tak cocok dengan kemampuan rumah sakit. Namun, berkat kegigihan Wirahadi dan keinginan yang kuat untuk menyediakan layanan berkualitas bagi bayi-bayi yang membutuhkan, orang-orang di jajaran pemerintahan mulai mendengarkan usulannya. Dan setelah malam-malam yang panjang menyusun rencana, hari ini ia diberi kesempatan untuk menjelaskan dengan lebih rinci terkait usulannya itu.
“Selamat siang, Bapak dan Ibu sekalian.” Wanita yang tadi menyambut Wirahadi membuka sesi presentasi. Ia adalah rekan kerja Wirahadi, seorang bidan muda yang telah mendapatkan pelatihan perawatan bayi di NICU. Wirahadi membutuhkannya untuk menyusun rencana ruang NICU yang ingin ia bangun di rumah sakit itu.
Setelah memberikan beberapa kata pembuka, wanita itu mempersilakan Wirahadi untuk menyampaikan presentasinya.
Wirahadi mengangguk dan tersenyum ramah pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Kemudian segera memulai presentasinya.
“Ruang NICU yang kami harapkan bisa ada di rumah sakit ini, harus bisa menangani bayi-bayi yang membutuhkan perawatan level tiga dalam jumlah yang cukup banyak. Sejauh ini, peralatan di ruang perinatologi milik kita baru bisa menangani bayi-bayi yang membutuhkan perawatan level dua, itupun hanya ada dua bed yang memenuhi kriteria perawatan level dua. Karena itu, ada beberapa peralatan yang perlu kita upgrade dan lengkapi.” Wirahadi menekan salah satu tombol pointer di tangannya.
Sebuah gambar inkubator dengan fungsi yang sangat mumpuni dan dilengkapi dengan berbagai peralatan medis terlihat di layar proyektor. Berdampingan dengan inkubator sederhana yang saat itu ada di rumah sakit mereka.
“Inkubator ini, meski harganya mahal, tapi fungsinya sangat canggih.” Wajah Wirahadi terlihat berbinar-binar. “Inkubator ini dilengkapi dengan sensor berat, sensor suara, dan suhu. Jadi, kita tidak perlu lagi menimbang bayi yang berada di inkubator ini, cukup menekan tombol dan berat badan bayi sudah dapat diketahui. Sensor suara berfungsi untuk mendeteksi jika bayi menangis dan suara di dalam inkubator terlalu bising untuk telinga bayi. Jika itu terjadi, lampu di atas inkubator ini akan menyala merah. Luar biasa, bukan?!”
Beberapa orang di ruangan itu terlihat mengangguk-angguk setuju. Wirahadi merasa cukup puas dengan respons tersebut.
“Selanjutnya, kita juga perlu menambah alat bantu nafas yang kita miliki. Melengkapi alat-alat lain seperti syringe pump atau infusion pump untuk memudahkan pemberian obat, cairan, dan lain-lain. Ah, satu lagi, jika memang ada dananya, memiliki sebuah alat X Ray portable sepertinya akan sangat membantu.”
Wirahadi terus menjelaskan rencananya hingga selesai.
“Kalau ruang NICU itu benar-benar bisa kita realisasikan, bukannya kalian jadi memerlukan SDM baru yang memenuhi kualifikasi untuk menerapkan perawatan dan menggunakan semua peralatan itu?” Seorang laki-laki berkemeja batik bertanya.
“Benar sekali! SDM itu bisa kita penuhi lewat jalur perekrutan pegawai baru atau melatih SDM yang sudah ada.”
“Kalau melatih SDM yang sudah ada, berarti butuh dana tambahan lagi?” Kali ini seorang utusan dari pemerintah provinsi yang bertanya.
“Iya. Tidak masalah, itu sudah menjadi bagian dari tugas rumah sakit untuk meningkatkan kemampuan karyawannya. Bukan begitu, Dok?” WIrahadi menatap seorang laki-laki setengah botak yang tadi duduk di sebelahnya.
“Benar, benar sekali.”
Rapat itu masih berlangsung sekitar lima belas menit kemudian, hingga akhirnya ponsel Wirahadi berdering nyering.. Sebuah telepon dari ruang perinatologi yang mengabarkan bahwa bayi yang tadi ia rawat mengalami penurunan oksigen dalam darah secara signifikan. Mau tak mau, Wirahadi harus meninggalkan rapat itu.
***
Berbulan-bulan setelah rapat penting itu, program pembangunan ruang NICU yang diusulkan Wirahadi akhirnya disetujui. Dana untuk merealisasikan hal itu akan cair secara bertahap. Dimulai dari pencairan dana untuk pembangunan ruangannya terlebih dahulu.
Wirahadi senang bukan main, ia sangat bersemangat dalam memantau berjalannya pembangunan ruangan tersebut. Di depan matanya, sudah terbayang akan ada banyak bayi yang tertolong dengan didirikannya ruang NICU tersebut. Wirahadi mengusulkan hal itu murni karena tujuan mulia untuk membantu bayi-bayi yang membutuhkan. Ia sama sekali tak menyangka, besarnya dana yang dikucurkan untuk merealisasikan usulannya itu membuat beberapa oknum tertentu menjadi gelap mata. Mencuri sedikit demi sedikit dana yang seharusnya digunakan untuk tujuan mulia itu. Memenuhi kantong-kantong mereka yang serakah, mengisi perut-perut mereka yang tak pernah kenyang.
Saat ruang NICU impiannya hampir selesai, datanglah badai itu. Sebuah dakwaan kepada dirinya dilayangkan. Tuduhannya berupa penggelapan dana pembangunan ruang NICU yang dibiayai oleh pemerintah kota. Malam itu, saat langit sempurna cerah, saat hangat menyelimuti keluarga kecil Wirahadi, sebuah ketukan di pintu menjadi awal dari malapetaka yang menimpa mereka.
Wirahadi ditangkap sebagai terdakwa, disaksikan oleh anak dan istrinya.
“Ayah mau ke mana?” Aidan kecil merangkul lengan ayahnya yang berdiri kaku di ambang pintu.
Wirahadi baru saja selesai membaca surat berisi perintah penangkapan dirinya. Sekacau apapun suasana hatinya, sebuntu apapun pikirannya, ia tetap tersenyum menanggapi pertanyaan putra tunggalnya.
“Ayah harus ikut om-om ini. Ayah tinggal dulu, ya?” Suaranya bergetar. Tapi Aidan kecil tak menyadari itu.
“Aidan nggak boleh ikut? Hari ini ayah ‘kan janji mau bantu Aidan belajar.” Aidan merajuk. Bibirnya manyun, sedih karena sang ayah sudah harus pergi lagi.
“Hari ini belajar sama ibu dulu, ya? Besok-besok, kalau semuanya sudah beres, belajar sama ayah lagi.”
Di belakang Aidan, istri Wirahadi itu menahan tangis. Wajahnya kelabu, bibirnya terlipat menahan gemuruh di dadanya.
“Biar ayah pergi sebentar. Aidan doakan di rumah semoga urusan ayah cepat selesai.” Wanita itu membujuk putranya, sekuat tenaga menyajikan ekspresi baik-baik saja.
Aidan kecil perlahan-lahan mengangguk. Berusaha mengerti apa yang sedang terjadi, meski ia sama sekali tak bisa memahami.
“Ya sudah, deh.” Jawab anak itu pasrah.
Wirahadi tersenyum, namun matanya tidak. Tangannya yang besar membelai rambut Aidan lembut. Kemudian ia melangkah mendekati sang istri. Membiarkan istrinya mencium punggung tangannya.
“Titip Aidan, jaga diri dan anak kita baik-baik. Doakan Mas juga, semoga ini bisa diselesaikan dengan baik.” Bisiknya.
Wanita yang ia nikahi belasan tahun silam itu hampir tergugu. Namun, segera ia usap kedua matanya.
“Mas nggak bersalah, Dik. Jadi jangan nangis. Masa kamu nggak percaya sama Mas?” Wirahadi bicara sambil tersenyum, meski hatinya tercabik-cabik.
“Percaya, Mas. Percaya. Tapi ini…” Setetes air mata sudah tak mampu lagi ia tahan. Jatuh membasahi pipinya yang putih.
“Sudahlah. Mas menurut saja dulu, sebagai warga negara yang baik. Sisanya, kita lihat nanti saja. Tapi yang pasti, kebenaran akan selalu benar dan kesalahan akan tetap salah. Bagaimanapun manusia ingin membaliknya.”
Wanita itu mengangguk, berkali-kali. Bukan, bukan hanya karena setuju dengan kalimat sang suami. Tapi juga karena ada doa yang terselip berulang kali semoga sang suami bisa membuktikan posisi dirinya. Bahwa ia tak bersalah, bahwa bukan ia tersangka seharusnya.
Sayangnya, dunia ini memang terlalu kejam untuk orang-orang jujur seperti Wirahadi. Untuk orang-orang yang ingin meringankan beban orang lain. Untuk orang-orang yang menjunjung tinggi budi pekerti. Karena terkadang, ketajaman hukum mendadak berubah tumpul begitu bertemu dengan setumpuk uang yang menggoda hawa nafsu.