Beberapa minggu sebelumnya, sebuah berita menggemparkan jagat media. Seorang anak dari pejabat daerah diduga menjadi tersangka dari kasus pelecehan dan penganiayaan. Media gempar, seluruh Indonesia mengutuk pelaku dan pejabat daerah itu. Bilang bahwa ia tak pantas menjadi pejabat karena ia bahkan tak mampu mendidik anaknya sendiri. Pejabat daerah itu diserang habis-habisan oleh rakyat, dikejar ke sana ke mari oleh awak media, hidupnya benar-benar jadi tak tenang. Namun, pada akhirnya, semua hujatan itu berhasil ia bungkam.
Bambang Herlambang didatangi oleh si pejabat daerah, diminta menjadi pengacara kasus tersebut.
Brak!
Sebuah koper kulit dilempar begitu saja ke hadapan Bambang. “Kau harus memenangkan kasus itu. Aku membayarmu puluhan kali lipat.” Pejabat daerah itu mendesis.
Bambang menelan ludah. Ia membuka koper itu. Menghitung secara kasar uang yang ada di dalamnya. Seketika, nafasnya tertahan. Matanya terbelalak. Berkali-kali ia menatap uang dan wajah si pejabat daerah itu bergantian. Tak percaya dengan nominal uang yang akan ia terima itu.
“Se-sebanyak ini untuk saya?” Tanyanya tergeragap.
“Kalau kau bisa memenuhi permintaanku.” Ucap si pejabat daerah penuh peringatan.
Bambang mengusap wajahnya. Tumpukan pecahan uang seratus ribu rupiah itu benar-benar ada di hadapannya. Menggelapkan mata hatinya.
“Baiklah!” Pungkas Bambang. Tangan kanannya menutup koper itu mantap. “Saya akan memenangkan kasus itu.”
“Bagus! Kau harus melakukannya. Karena nama baikku dan keluargaku lebih penting dari apapun.”
Bambang mengangguk mantap.
Beberapa minggu setelah transaksi itu, Bambang benar-benar berhasil memenangkan kasus itu. Membuat si korban mau memilih jalan damai. Membuat anak dari pejabat daerah itu sama sekali tak tersentuh tangan hukum. Bebas melenggang meski telah melakukan pelanggaran dan menyebabkan mental anak orang lain terkoyak. Ya, sidang terakhir kasus itu ditutup dengan keputusan bahwa pelecehan dan penganiyaan yang terjadi hanyalah sebuah salah paham. Sebagai konsekuensi, korban akan mendapatkan ganti rugi untuk biaya pengobatan.
Sayangnya, hasil sidang yang luar biasa tak masuk akal itu tidak mampu menghentikan hujatan rakyat pada si pejabat daerah. Mereka justru semakin mengutuknya, mengatakan bahwa hasil sidang itu adalah hasil dari manupilasinya. Bahwa hakim dan pengacara yang bertugas telah menerima suap darinya hingga mau menutupi kasus itu.
“Tidak bisa begini, Bambang!” Pejabat daerah itu menggeram penuh amarah. “Nama baikku harus bersih! Percuma saja semua uang yang kuberikan padamu jika akhirnya tetap seperti ini!”
“Tenanglah dulu, Pak. Kita pikirkan jalan keluarnya dengan kepala dingin.” Bambang berusaha menangkan.
Pejabat itu tak mau mendengarkan. Ia tetap berjalan mondar mandir di ruangan Bambang. Wajahnya terlihat marah bercampur gelisah.
Jarum jam terus bergerak, detik menjadi menit. Namun, belum ada tanda-tanda laki-laki itu hendak mengendurkan otot-otot wajahnya.
“Kita harus melakukan sesuatu.” Gumamnya kemudian. “Jika kita tidak bisa membersihkan namaku dan keluargaku lewat pemenangan kasus anakku, kita harus membuat rakyat lupa dengan kasus itu.”
“Caranya?” Bambang mengerutkan dahi. Tak mengerti.
“Menghebohkan media dengan berita baru!” Ucap pejabat itu dengan penuh keyakinan. Wajahnya yang gelisah mendadak berubah sumringah.
Bambang tetap mengernyit. “Berita apa?”
“Berita yang sama hebohnya dengan berita kasus anakku. Atau mungkin lebih heboh.”
Kening Bambang semakin berkerut. Mencoba menggali memori tentang berita akhir-akhir ini yang bisa diangkat dan dibuat heboh berlebihan guna menutupi kasus anak si pejabat itu. Namun, beberapa kali pun dipikir, Bambang tetap tak menemukan apapun.
“Saya rasa belum ada berita yang setara dengan berita kasus anak Bapak.”
“Kalau tidak ada, ya tinggal dibuat saja!” Rencana pejabat daerah itu rupanya sudah mantap. Ia tak menemukan jalan keluar lain selain apa yang terlintas di benaknya.
Bambang menatap laki-laki hampir separuh abad di depannya bingung. Tak mengerti dengan rencana yang coba laki-laki itu jalankan. Hingga keesokan harinya, mereka berdua bertemu diam-diam dengan Baskara. Direktur Rumah Sakit Suka Sembuh, rumah sakit tempat Wirahadi bekerja.
***
“Anda sudah gila, Pak?!” Baskara seketika berdiri dari duduknya. “Tidak bisa begini, Pak!” Wajahnya benar-benar terlihat tak suka. Bahkan amarah perlahan-lahan naik, membuat wajahnya terlihat merah.
“Apa kau ada ide lain, hah?!” Si pejabat daerah itu berteriak tak kalah sengit.
Baskara menggigit bibir. Ia mengusap rambutnya yang sedikit beruban. Ini benar-benar situasi yang rumit.
“Tidak adakah kasus lain yang bisa diangkat? Anda benar-benar mau menjebloskan saya ke penjara? Anda mau menghancurkan karir saya?” Baskara memohon, wajahnya memelas. Ia mencoba cara yang lebih lembut untuk membujuk pejabat daerah itu.
“Mau bagaimana lagi? Lebih baik kau yang masuk penjara daripada aku dan keluargaku terus-terusan dihujat rakyat.” Pejabat daerah itu benar-benar tak memikirkan hal lain selain dirinya dan keluarganya.
“Pak pengacara, apa harus sampai seperti ini untuk menutupi kasus itu?” Baskara mencoba bicara dengan Bambang. Mungkin ia bisa membujuk si pejabat daerah.
Sayangnya, Bambang menggeleng. “Saya sudah mencoba mencari berita atau kasus lain yang bisa dibesar-besarkan untuk menutupi kasus ini, tapi tidak ada. Kasus ini menjadi gempar dan heboh di mana-mana karena beberapa minggu terakhir berita-berita di media kita terlalu biasa saja.”
Baskara geram. Ini benar-benar tak bisa dibiarkan.
“Kalau kau tidak mau kesalahanmu diketahui publik, lemparkan saja kesalahan itu ke orang lain.” Usul si pejabat daerah.
Baskara diam menelan usulan itu. Pikirannya buntu. Ia tak bisa berpikir jernih, sulit mengambil keputusan di saat seperti itu. Saat itu, ia benar-benar belum terpikirkan apapun. Namun, sepulang dari pertemuan itu, saat ia bertemu dengan Wirahadi yang sedang mengobrol dengan pasien sembari tertawa-tawa, ide busuk itu berhembus di kepalanya. Instingnya untuk melindungi diri akhirnya bekerja, meski dengan cara yang salah. Teramat keliru.
***
Sidang pertama kasus penggelapan dana rumah sakit yang melibatkan Wirahadi. Ia digiring masuk ke ruang sidang dengan tangan terborgol. Puluhan kamera segera menyorot wajahnya. Membuatnya meringkuk malu. Ia tak pernah berada dalam situasi seperti ini sebelumnya.
Seorang laki-laki yang ditunjuk sebagai penasehat hukum Wirahadi sudah duduk lebih dulu. Di seberang mereka, Bambang dan sekretarisnya duduk dengan ekspresi wajah penuh percaya diri.
Wirahadi menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Jelas-jelas ia tak bersalah, maka tak ada satupun yang perlu ia takuti. Dan, saat jantung Wirahadi perlahan-lahan berdetak normal, seorang panitera memasuki ruangan.
“Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.” Laki-laki berkacamata itu memberi salam. Selanjutnya, panitera membacakan tata tertib yang harus dipatuhi semua hadirin dalam sidang pagi itu.
“Baik. Majelis hakim akan memasuki ruangan. Hadirin dipersilahkan untuk berdiri.” Lanjut sang panitera, menutup tugasnya membuka sidang.
Tiga orang hakim memasuki ruangan. Duduk di kursi-kursi yang telah disediakan. Salah satu hakim itu, yang duduk di tengah, menatap Bambang sembari tersenyum tipis. Dari kursinya, Bambang membalas senyuman itu. Dan Wirahadi menyaksikan interaksi kecil itu. Instingnya mengatakan bahwa semua ini telah diatur. Sidang ini hanyalah formalitas untuk menjebloskan dirinya ke penjara. Saat itulah, ketakutan mendadak melingkupi dirinya. Mengungkung hatinya yang kini mulai gentar.
Hakim ketua, yang duduk di tengah, terlihat berbisik pada dua orang hakim di sebelahnya.
“Baik, sidang akan segera dimulai.” Suara berat hakim ketua itu memenuhi langit-langit ruangan. Seketika, seluruh ruangan hening. Semua orang berada dalam posisi siap sekaligus tegang. “Panitera siap?” Hakim ketua itu menoleh ke arah panitera.
Sang panitera mengangguk. Selanjutnya, tugas laki-laki berkacamata itu adalah mencatat jalannya persidangan.
“Baik. Sidang perkara pidana hari ini, Kamis 13 Juni 2013, yang mengadili dan memeriksa pidana dengan nomor register 34/B/2013/PNKota, atas nama terdakwa dokter Wirahadi Atmajaya spesialis anak, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.”
Duk! Duk! Duk!
Suara sang hakim ketua memukul palu sidang terdengar ke seluruh penjuru ruangan.
“Saudara penuntut, silakan datangkan terdakwa.” Hakim ketua memberi perintah.
“Baik, Yang Mulia.”
Dua orang petugas polisi menggiring Wirahadi ke tengah ruangan. Mendudukannya di sebuah kursi yang sudah tersedia di sana.
“Saudara terdakwa,” Laki-laki yang mengenakan toga hakim itu menyebutkan identitas Wirahadi, mengonfirmasinya pada yang bersangkutan.
“Betul, Yang Mulia.” Wirahadi mengangguk. Sejak tadi, ia sibuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Ada rasa sedih sekaligus marah.
“Baik. Saudara penuntut, silakan bacakan isi dakwaan terhadap terdakwa.” Sekali lagi, hakim ketua memberi perintah.
“Baik, Yang Mulia.” Bambang membuka berkas di hadapannya. Diikuti oleh majelis hakim yang sudah membawa dokumen perkara pidana hari itu. “Dokter Wirahadi Atmajaya, yang mengetuai program pembangunan ruang neonatal intensive care unit Rumah Sakit Suka Sembuh telah melakukan penggelapan dana sebesar lima ratus juta rupiah…”
Di kursinya, Wirahadi menahan gemuruh di dadanya. Menahan air mata yang siap menetes. Menahan bibirnya agar tak lancang memotong laporan Bambang. Menahan tubuhnya agar tak bergerak merangsek maju saking geramnya. Wirahadi berusaha menahan diri sekuat tenaga agar tetap tenang saat melihat bukti-bukti tak masuk akal yang disajikan oleh pihak penuntut.
Bambang datang ke sidang itu benar-benar dengan persiapan yang sangat matang. Entah bagaimana caranya, dari semua bukti yang dihadirkan dalam sidang itu, tak satupun yang diakui Wirahadi sebagai perbuatannya. Karena ia benar-benar tidak melakukannya.
Dokumen-dokumen pembelian barang, tanda tangan di lembar penerimaan dana pembangunan NICU, dan lain-lain, semuanya atas nama Wirahadi. Padahal, selama ini ia sama sekali tak pernah menandatangani semua hal itu. Ia hanya menerima barang yang sudah dibeli kemudian memantau pemasangannya di ruang NICU yang baru.
Sidang hari itu berlangsung cukup lama karena Wirahadi benar-benar menolak mengakui semua bukti itu. Sayangnya, penasehat hukum yang mendampingi Wirahadi sama sekali tak membantu. Ia tak bisa menghadirkan bukti-bukti yang bisa membantah semua tuduhan palsu itu. Karena itu, sidang kedua perlu diselenggarakan.
Hari itu, jagat media benar-benar dihebohkan oleh berita tentang Wirahadi. Wajahnya terpampang di berbagai portal berita, ditayangkan di siaran berita televisi, dicetak besar-besar di berbagai media cetak. Saat itu, seluruh rakyat tiba-tiba berbalik mengutuknya. Membicarakannya di berbagai kesempatan. Melontarkan ujaran-ujaran kebencian padahal hasil sidang belum menyatakan dirinya bersalah. Maka, upaya si pejabat daerah untuk mengalihkan isu tentang kasus anaknya benar-benar berhasil. Bahkan lebih dari ekspektasi. Karena berkat kasus yang menyeret nama Wirahadi, kasus anaknya seolah terlupakan begitu saja. Seolah tak pernah ada.
Saat Wirahadi mendekam di balik jeruji besi, menunggu waktu persidangan berikutnya, si pejabat daerah itu sedang tertawa terbahak-bahak di rumahnya yang mewah. Merayakan keberhasilan rencananya.