Berhari-hari, berita mengenai kasus yang menyeret nama Wirahadi menjadi topik hangat dibicarakan. Tak sedikit masyarakat yang menghujat. Namun ternyata, tak sedikit pula masyarakat yang menyangsikan jalannya persidangan yang terkesan memojokkan salah satu pihak. Karena itu, sidang berikutnya tidak lagi disiarkan di televisi. Dan itu adalah sidang terakhir.
“Saya tidak pernah melakukan semua itu.” Ucap Wirahadi mantap meski tangannya bergetar hebat. Ia duduk di kursi terdakwa dengan sisa-sisa ketenangan yang berhasil ia kumpulkan. Hatinya sudah hancur lebur, fisiknya sudah lelah, mentalnya luluh lantak dibombardir hujatan rakyat atas sesuatu yang tidak ia lakukan.
“Saudara terdakwa, anda selalu menolak tapi anda dan penasehat hukum anda tidak bisa mendatangkan bukti yang membantah tuduhan pihak penuntut.” Hakim ketua itu mulai geram. Sudah satu jam lebih berlalu, sidang ini belum menemukan titik terang.
“Tapi saya memang tidak pernah melakukan semua tuduhan itu. Niat saya membangun ruang NICU itu semata-mata untuk membantu bayi-bayi lain yang membutuhkan. Untuk apa saya menjadi dokter anak hanya untuk mencuri uang rakyat? Persidangan ini tidak masuk akal!”
“Saudara terdakwa!” Kini, hakim ketua itu benar-benar geram.
Hening. Deru nafas Wirahadi terdengar, dadanya kembang kepis, kesabarannya kini hanya tersisa setipis rambut.
Beruntung, awak media tidak diperkenankan masuk pada sidang kali ini. Sehingga ucapan Wirahadi tadi tidak sempat direkam oleh media manapun. Ucapan itu dapat berakibat fatal bagi Wirahadi. Namun, ia tak berpikir sejauh itu. Toh, posisinya saat ini sudah jauh lebih sulit daripada sekedar memikirkan akibat dari ucapannya.
Meski tak menemukan titik terang, pada akhirnya hakim tetap mengambil keputusan akhir. Ya, Wirahadi dijatuhi hukuman penjara lima belas tahun dan denda uang sebesar lima ratus juta rupiah.
Sekali lagi, Wirahadi digiring keluar dari ruang sidang, puluhan wartawan sudah menunggu di luar ruangan. Menyodorkan mikrofon dan alat perekam suara lainnya. Puluhan kamera menyorot wajahnya. Suara para wartawan itu terus berdengung, melontarkan berbagai pertanyaan padanya. Menutupi jalannya menuju mobil polisi yang membawanya ke mari.
Dua orang polisi berusaha menghalau serangan para wartawan itu, membuat jalan agar Wirahadi bisa berjalan menuju mobil. Namun, usaha mereka seperti sia-sia. Selain karena jumlah wartawan yang jauh lebih banyak, juga karena mereka merangsek sekuat tenaga demi mendapatkan informasi untuk berita di media tempat mereka bekerja.
Wirahadi baru berjalan beberapa langkah, saat sebuah mikrofon mengenai pipinya. Entah itu milik siapa. Namun, rasa sakit di pipinya itu akhirnya membuatnya tersadar. Ia menoleh pada puluhan wartawan yang berdesakan di sekelilingnya itu. Ia menyapukan pandangannya pada seluruh wajah manusia yang haus informasi itu. Menatap satu persatu kamera yang terarah kepadanya.
Mendadak, dengungan pertanyaan dari para wartawan itu berhenti seketika. Mereka tiba-tiba merasa bergidik melihat tatapan kosong Wirahadi. Dan, saat itulah dokter anak itu memanfaatkan peluang.
“Kalian butuh bahan berita?” Suara Wirahadi terdengar hingga ke wartawan paling belakang. “Kalian ingin tahu yang sebenarnya terjadi?!” Intonasi suara Wirahadi semakin meninggi.
“Benar! Benar!” Puluhan wartawan itu kembali riuh. Sebagian sibuk memfokuskan kamera ke wajah Wirahadi. Sebagian memeriksa alat perekam suara milik mereka, memastikan bahwa itu berfungsi dengan baik.
“Dengar ini baik-baik!” Wirahadi seperti sedang berorasi. Puluhan wartawan itu semakin antusias. Kilat cahaya dari kamera yang memotret momen itu semakin ramai. “Catat ini baik-baik! Siarkan ke seluruh penjuru negeri!”
“Baik! Siap!” Mereka seperti anak buah yang sedang mendengarkan perintah atasannya.
“Aku, Wirahadi Atmajaya, sama sekali tidak bersalah dalam kasus ini! Aku difitnah!” Suara Wirahadi menggelegar meski bergetar menahan tangis. Tubuhnya juga bergetar, dadanya bergemuruh, kerongkongannya hampir tercekat. Tapi ia ingin semua orang mengetahui itu. Entah mereka akan percaya atau tidak. Entah ia akan semakin dihujat atau tidak. Tapi, jika ada sedikit saja orang yang berhati jernih, Wirahadi yakin orang itu akan mempercayai ucapannya.
***
Wajah Wirahadi yang sedang bicara dengan mantap saat keluar dari ruang sidang menjadi siaran yang paling banyak menghiasi layar televisi hari itu. Bahkan, di kanal youtube, siaran itu ditonton oleh ratusan ribu orang. Kasus Wirahadi benar-benar menghebohkan jagat media. Menutupi kasus-kasus besar lainnya. Bukan, bukan karena besarnya kasus itu. Tapi karena besarnya kontroversi yang mengikutinya.
Wirahadi tetap menjalani hukuman yang telah ditetapkan kepadanya. Ia mendekam di salah satu ruangan berjeruji besi yang ada di rumah tahanan kota. Ia tak mengetahui semua kontroversi di luar sana. Ia tak mengetahui bahwa ada ratusan ribu orang yang berdebat soal pernyataan terakhirnya. Ia hanya tahu, semua itu sangat tak adil baginya.
“Mas nggak bersalah, Dik.” Ucap Wirahadi saat sang istri datang berkunjung.
“Iya, Mas. Aku tahu. Mas tidak mungkin melakukan semua yang dituduhkan.” Wanita itu tersenyum tulus. Wajahnya terlihat lelah.
Wirahadi mengangguk. Kepercayaan sang istri sangat berarti di situasinya saat itu. Jika tak ada wanita itu, ia takkan sanggup bertahan.
“Aidan bagaimana?”
“Baik, dia baik. Dia anak yang pengertian, Mas. Awalnya dia menangis melihat berita tentang putusan hakim mengenai kasus Mas.” Sang istri menjelaskan. Wajahnya terlihat menahan tangis.
“Aidan… tidak membenciku, ‘kan?” Tanya Wirahadi gelisah.
“Tentu saja tidak! Nanti, kalau dia libur, akan kuajak dia ke sini.”
Wirahadi mengangguk.
“Bagaimana teman-teman Aidan? Dia nggak mengolok-olok anak kita karena aku dibui?”
Wanita itu menahan nafas sesaat, kemudian menghembuskannya cepat. Ia menggeleng lemah. “Tidak tahu. Aidan nggak pernah cerita. Ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Rasanya, aku semakin merasa bersalah saat mengatakannya lewat mulutku sendiri.”
Wirahadi menyentuh tangan istrinya. Membelainya lembut.
“Sabar, ya, Dik. Aku akan menuntut keadilan. Aku yakin kebenaran akan terungkap, bagaimanapun caranya. Semoga ada penasehat hukum yang mau berpihak padaku.”
Wanita itu mengangguk. “Aku juga akan mencari pengacara yang bisa membantumu, Mas.”
“Terima kasih, Dik. Terima kasih.”
Sepasang suami istri itu akhirnya berpisah karena jam kunjung sudah berakhir.
Setelah sidang penetapan hukuman atas Wirahadi usai, ia masih sering bertemu dengan penasehat hukumnya. Ya, gunanya untuk itu. Mencari pengacara yang sanggup membelanya. Tentunya dengan bukti-bukti yang kuat. Namun, hingga berbulan-bulan kemudian. Tak ada satupun pengacara yang mau menjadi penasehat hukumnya. Ia mulai menduga bahwa dari awal, kasus ini memang sudah direncanakan. Bahkan, dirinya yang ‘ditunjuk’ sebagai tersangka pun sudah direncanakan guna menutupi tersangka sebenarnya.y
***
Tiga tahun sudah berlalu. Wirahadi belum bisa menemukan partner yang tepat untuk menguak kebenaran. Dokter anak itu juga sudah mulai terbiasa dengan kehidupan penjara. Berteman dengan berbagai narapidana lain, mengobrol banyak hal dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang jauh berbeda dengannya. Wirahadi mencoba mencari kebaikan dari hidup di penjara. Yaitu membangun relasi yang tak masuk akal. Ya, relasi dengan para narapidana. Siapa tahu suatu saat bisa bermanfaat.
Hari itu, Wirahadi mendapat kunjungan lagi. Istri dan anaknya yang datang.
“Ayah apa kabar?” Aidan lebih dulu menyapa. Putra sulungnya itu sudah jauh lebih tinggi sekarang.
“Baik, Nak.” Wirahadi tak mampu menutupi rasa harunya.
Aidan tersenyum. Sebenarnya, ia bisa menangkap bahwa sang ayah sedikit menjaga jarak darinya. Dulu, ayahnya sering memberi wejangan dan nasehat padanya. Kini, tidak lagi. Padahal ia rindu obrolan-obrolan hangat sarat makna dengan sang ayah. Tapi sepertinya, ada perasaan terbuang dan rendah diri yang muncul jauh di dalam hati Wirahadi sejak ia mendekam di dalam bui.
“Bagaimana sekolahmu?” Pertanyaan klasik yang sering ditanyakan Wirahadi pada putranya.
“Ya, begitu, deh, Yah.” Aidan nyengir.
“Teman-temanmu bagaimana?”
“Hm?” Aidan tampak berpikir sejenak. “Baik. Mereka semua baik.” Ia masih memasang senyum terbaik.
Sebenarnya Aidan tahu apa yang ingin ditanyakan sang ayah. Tapi ia enggan menjawabnya. Ayahnya tak perlu tahu bagaimana ia menjalani kehidupan sekolah yang berat. Ayahnya sudah cukup lelah dengan masalahnya sendiri dan kehidupan penjara yang jelas-jelas tidak menyenangkan.
Aidan bukan tak pernah di-bully karena ayahnya menjadi tahanan. Ia sering sekali dicemooh, dibilang anak koruptor, dibilang anak penjahat, dan lain-lain. Tapi satu hal yang membuatnya bertahan adalah keyakinan bahwa semua tuduhan yang dilayangkan pada sang ayah adalah fitnah belaka. Dan Aidan berhasil bertahan hingga ia duduk di bangku SMA. Barulah ketika ia duduk di bangku SMA, kawan-kawannya tak lagi mempermasalahkan soal status ayahnya yang seorang narapidana.
Menjelang tengah hari, setelah sekitar satu jam mengobrol, keluarga kecil itu harus berpisah lagi. Jam kunjung sudah hampir habis. Wirahadi harus kembali ke dalam.
“Ayah, baik-baik, ya di sini. Aidan tetap bangga dilahirkan menjadi anak Ayah.” Aidan tersenyum. Itu kalimat perpisahannya hari ini.
“Terima kasih, Nak.” Wirahadi balas tersenyum, kemudian memeluk putra semata wayangnya.
Usai berpamitan, Aidan dan ibunya segera pulang. Mereka tidak tahu, bahwa satu menit setelah mereka keluar dari ruangan, seorang laki-laki masuk untuk menemui Wirahadi. Ia adalah penasehat hukumnya. Membawa kabar yang sangat mengejutkan.
Siang itu, saat jam kunjung tersisa sepuluh menit, Wirahadi mengetahui fakta di balik kejanggalan kasus yang menimpanya. Ya, Wirahadi mengetahui semuanya. Tentang Bambang dan Baskara yang sengaja mengubah bukti-bukti itu, sengaja memusnahkan bukti-bukti lain agar tidak ada hambatan untuk menuduhnya, sengaja mengangkat kasus yang menyeret namanya itu untuk menutupi kasus lain. Wirahadi adalah tumbal dari keserahakan manusia.
“Dan dalang di balik semua itu adalah pejabat daerah yang tiga tahun lalu anaknya terjerat kasus pelecehan dan penganiayaan.” Pungkas laki-laki berkemeja itu.
Di kursinya, tubuh Wirahadi bergetar hebat. Ia tak pernah menyangka, ada manusia-manusia yang tega merenggut kebahagiaan orang lain demi menutupi kebusukan mereka. Ada manusia yang tega merenggut ayah dari seorang anak hanya karena takut dengan hujatan rakyat. Ada manusia yang tega memisahkan keluarga yang jelas-jelas tak bersalah karena godaan uang.
Wirahadi tak mampu menahan tangis. Ia merasa benar-benar marah.
“Tidak bisakah kita mengajukan banding atau apapun itu? Menunjukkan bukti bahwa aku tak bersalah?” Suaranya bergetar. Antara menahan tangis dan amarah.
Laki-laki di hadapannya itu menggeleng lemah. “Aku sudah berusaha. Tapi tidak ada bukti yang tersisa. Aku juga sudah berusaha meminta bantuan pengacara lain, tapi mereka tidak berani. Karena posisi lawan kita jauh lebih kuat.”
Wirahadi terdiam, mematung di kursinya. Meratapi betapa tidak adilnya hidup. Bahkan untuk dirinya yang selama ia bisa mengingat, ia tak pernah sengaja mencelakakan orang lain.
Laki-laki berusia awal empat puluhan itu masih membeku di kursinya bahkan hingga ruang kunjungan kosong melompong. Wirahadi benar-benar tak mengerti cara kerja dunia ini. Bagaimana bisa nasib baik banyak berpihak pada orang-orang tak bermoral sedangkan nasib buruk banyak menimpa orang-orang yang berusaha tulus?
Wirahadi baru beranjak dari kursinya saat salah seorang sipir menggandengnya keluar ruangan. Memasukkannya kembali ke balik jeruji besi.
Hari itu, Wirahadi banyak termenung. Wajahnya terlihat putus asa dan lesu. Beberapa narapidana lain terlihat ingin menghibur. Namun segera mengurungkan niat karena tak ada respons darinya. Hari itu, Wirahadi sama sekali tak menyentuh makanannya. Pikirannya benar-benar kalut. Energinya sudah terkuras habis. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Hidup di dalam penjara benar-benar membuat tubuhnya banyak kehilangan semangat hidup.
Bayang-bayang istri dan anaknya terus berkelebat. Dua orang yang amat ia cintai itu harus menanggung malu karena kepala keluarga mereka menjadi narapidana. Menjadi penjahat. Tiba-tiba, muncul sebuah pikiran tak masuk akal di kepalanya.
“Sepertinya, lebih baik aku mati saja.”