25

1629 Kata
26 April 2016. Wirahadi Atmajaya, tersangka kasus penggelapan dana rumah sakit ditemukan tewas gantung diri di dalam selnya. Begitu bunyi judul berita di koran pagi yang dibaca Aidan lima tahun silam. Dan hingga hari ini, ia masih menyimpan potongan koran itu. Ia tempel rapih di dalam sebuah buku yang berisi berbagai macam klipping koran dan portal berita. Aidan masih teringat jelas perasaannya hari itu. Hancur lebur, luluh lantak, kecewa, marah, sedih, yang kemudian bergabung menjadi satu dan lahir menjadi sebuah perasaan baru bernama dendam. Ia tak pernah menyangka, kunjungan yang ia lakukan sehari sebelum berita itu dirilis adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ayah. Aidan menyesal, sangat menyesal karena tak bisa menyampaikan perasaannya yang sebenarnya pada sang ayah. Ia memilih mengikuti kehendak ayahnya yang menjaga jarak darinya. Harusnya, ia tetap bersikap manis dan manja seperti biasanya. Hari itu, hingga berhari-hari setelahnya, Aidan terus mengurung diri di kamar. Di usianya yang baru enam belas tahun, ia sudah pusing memikirkan bagaimana caranya balas dendam pada orang-orang yang membunuh ayahnya. Orang-orang yang tak berperasaan, orang-orang yang memikirkan diri mereka sendiri. Di usianya yang masih belia, ia sudah harus menggunakan otaknya seperti orang dewasa. Berpikir praktis untuk membalaskan dendamnya. Aidan benar-benar memupuk perasaan bencinya pada Bambang dan Baskara. Seolah dunia mendukung niat Aidan, perlahan-lahan ia menemukan titik terang menuju pembalasan dendamnya. Mulai dari flashdrive berisi bukti-bukti penting, pertemuannya dengan Reza, hingga akses untuk bisa dekat dengan orang terdekat Bambang. Aidan benar-benar tak melewatkan kesempatan yang datang. Ia memanfaatkan setiap peluang dengan sebaik-baiknya. Aidan merebahkan diri di atas kasur. Membolak balik halaman buku di tangannya, membaca setiap judul berita yang tertera di sana. Menikmati sensasi perasaan yang muncul setiap kali membaca berita-berita itu. Terkadang, ada saat di mana ia ingin memaafkan semua orang itu. Merelakan kepergian ayahnya. Membiarkan orang-orang itu hidup nyaman tanpa merasakan penderitaan yang ia alami. Namun, bagaimana jika Tuhan tidak membalas perbuatan busuk mereka dan tetap membiarkan orang-orang itu hidup nyaman kemudian mengulangi lagi perbuatan mereka? Maka, secara sukarela Aidan menjadikan dirinya sebagai perantara untuk menghukum orang-orang serakah itu. Tring! Dering pendek dari ponselnya membuat fokusnya terpecah. Ia segera menutup buku itu, memasukkannya lagi ke dalam tas. Oh ya, saat ini Aidan sedang berada di ruma kakek neneknya. Besok, ia akan berangkat ke kampus lebih pagi. “Siapa kirim pesan malam-malam begini?” Aidan bergumam. Meraih ponselnya di tepi kasur. Seketika, ia tercengang melihat nama yang tertera di sana. “Nera?” Matanya membulat. Sudah tidur, Kak? Begitu isi pesan dari gadis yang sedang ia dekati itu. Aidan tak segera membalas, ia justru beranjak keluar kamar. Melihat situasi rumah. Sepi. Sepertinya semua orang sudah tidur lelap. Aidan kembali ke kamarnya. Rebahan lagi di kasur. “Kalau PDKT, harus dilakukan dengan maksimal, ‘kan?” Gumamnya sembari tersenyum. Tuuut… Tuuut… Tuuut… Suara telepon tersambung segera terdengar. Ya, Aidan menelepon Nera. Berbicara di telepon di jam segini, dengan suara rendah karena sudah larut malam, pasti bisa meningkatkan intensitas hubungan mereka. Begitu pikir Aidan. “Halo, Ra.” Ia menyapa gadis cantik di seberang telepon. “Ha-halo, Kak. Ngapain telepon?” Gadis itu sedang gugup, kentara sekali. Membuat Aidan terkekeh dalam diam. “Nggak boleh?” Tanyanya setelah berhasil menguasai diri. “Boleh, sih. Tapi ini ‘kan sudah malam banget.” Suara Nera mulai terdengar lebih santai. “Justru karena sudah malam, bukannya jadi lebih romantis?” “Uhuk! Uhuk!” Nera terbatuk-batuk. Ia pasti belum menyiapkan diri mendapat serangan kalimat-kalimat godaan dari Aidan. Sekali lagi, Aidan menahan tawa mendengar reaksi lawan bicaranya. “Kamu sendiri, kenapa tanya aku udah tidur atau belum?” Aidan tidur miring, menikmati obrolannya dengan Nera. “Oh, hm… iseng aja, sih.” “Ada yang mau diomongin?” “Hm… ada.” “Apa itu?” Alis Aidan terangkat. Mau tak mau ia jadi penasaran. “Semoga sukses UAS-nya besok.” “Hm? Itu aja?” Kini, matanya ikut membulat. Tak menyangkan dengan jawaban Nera. “Iya. Memangnya Kak Aidan ngarep apa coba?” Bahkan, sekarang suara Nera terdengar lebih akrab dan berani. “Hahaha, kirain mau bilang kalau kamu menerima pernyataan cintaku.” Hening. Suara di seberang tak terdengar lagi. Aidan mengerjap-ngerjap. Padahal bukan itu reaksi yang ia inginkan. “Ra…” Panggilnya pelan. “Ya, Kak?” Suara gadis itu terdengar lagi. Dan, Aidan tahu ke mana gadis itu saat tak bersuara tadi. Ya, Nera pasti sedang sibuk menenangkan jantungnya yang mendadak jumpalitan mendengar kalimatnya tadi. Aidan tersenyum. Padahal, ia tak pernah berpacaran sebelumnya. Tapi sepertinya ia punya bakat membuat hati perempuan klepek-klepek. “Sudah mau tidur?” Ia memutuskan untuk berhenti menggoda Nera. Ini sudah larut, gadis itu harus bangun pagi untuk mengikuti UAS besok. “Hm… iya, sih.” Aidan tersenyum lebar, merasa menang. Nada suara Nera jelas sekali menyiratkan enggan menyudahi obrolan mereka. “Selamat tidur, ya. Besok pagi ‘kan harus bangun pagi buat berangkat ke kampus. Aku malah harus berangkat lebih pagi karena sekarang lagi di rumah kakek nenek. Semoga sukses juga ujiannya besok, Ra.” Aidan tersenyum tulus. Tidak buruk juga mengobrol dengan Nera malam-malam begini. Suasana hatinya sedikit terasa lebih baik setelah memburuk karena melihat-lihat berita lima hingga delapan tahun silam. “Iya, Kak. Selamat tidur juga.” Suara gadis itu terdengar lembut dan dekat. *** Setelah hampir dua minggu berlalu, ujian akhir semester akhirnya berakhir lancar. Sembari menunggu nilai UAS keluar, panitia Neomicin kembali disibukkan dengan persiapan kegiatan. Proposal sudah disetujui sejak hari kedua UAS, surat permintaan menjadi pemateri juga sudah disebarkan, materi kompetisi juga sudah memasuki tahap pemeriksaan oleh tim dosen, dan poster resmi National Medical Science for High school Student sudah dirilis. Seminggu lagi, panitia wilayah akan dikirim ke wilayah masing-masing. Mereka akan bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan dari kampus yang menyelenggarakan acara tersebut. Agar sekolah-sekolah lain yang ingin mengetahui lebih lanjut segala teknis kegiatan atau hal lainnya yang berkaitan dengan kompetisi, dapat bertemu dengan pihak yang tepat. Nera dan Aidan pun sama sibuknya. Mereka jadi sering lembur di kampus. Memantau segala persiapan dilakukan dengan benar. Mulai dari hal kecil seperti kelengkapan alat-alat yang dibutuhkan saat kompetisi berlangsung, hingga hal-hal besar seperti peminjaman ruangan untuk kompetisi final dan semifinal yang membutuhkan labortaroium. Seperti hari ini, mereka baru saja selesai mengonfirmasi peminjaman ruangan untuk acara seminar. “Jam berapa sekarang?” Aidan bertanya. Mereka duduk lesehan di ruang BEM. Ada belasan mahasiswa lain di sana. Nera melirik jam tangannya. “Jam tujuh.” Jawabnya singkat. Ia lelah sekali. Seharian ini berjalan ke sana ke mari, mengurusi banyak hal. Aidan ikut duduk di sebelah Nera. Meneguk air langsung dari botolnya. Ia juga sama lelahnya. “Sudah ada berapa sekolah yang daftar?” Aidan membuka obrolan. “Tadi siang sudah ada sepuluh sekolah.” “Memang begitu, awal-awal lambat sekali pertambahan jumlah pendaftar. Nanti, kalau sudah mendekati penutupan pendaftaran, pasti langsung membludak.” Aidan berkomentar. Nera mengangguk-angguk. “Tahun lalu berapa pendaftarnya?” “Hm… sekitar seratus lima puluh peserta.” Lagi-lagi Nera mengangguk, sudah mirip seperti burung kutilang dalam lagu anak-anak. “Ada lagi yang perlu dikerjakan?” Aidan mengeraskan volume suaranya. Bertanya pada mahasiwa yang ada di sana. “Nggak ada, sih, Kak. Sebentar lagi kita mau pulang. Lanjut besok lagi.” Seorang laki-laki yang mendapat tugas sebagai divisi acara menjawab. Ia sedang berdiksusi dengan mahasiswa lainnya. “Oke, kalau gitu aku pulang duluan, ya?” “Iya, Kak.” Mahasiswa yang ada di ruangan itu menjawab serempak. Aidan tersenyum, kemudian bangkit dari duduknya. “Ayo, Ra!” “Hah? Apa, Kak?” Tanya Nera bingung. “Kamu nggak mau pulang?” “I-iya, sih. Tapi…” “Ayo pulang bareng!” Sret! Semua mata di ruangan itu menatap mereka berdua. Suara Aidan memang cukup keras untuk bisa didengar hingga ke seluruh penjuru ruangan. Nera menelan ludah. Setelah ini pasti akan ada gosip tak sedap tentangnya. “Ah, iya.” Nera ikut berdiri. “Sekalian mau ngobrol seputar kegiatan tour kampus, ya, Kak?” Ia menegaskan suaranya, agar belasan pasang telinga yang tertuju pada mereka mendengarnya. Aidan mengangkat alis. Ia mengerti maksud gadis itu. “Iya, benar.” “Za, aku pulang duluan, ya?” Nera berpamitan pada perempuan berkerudung yang belakangan ini cukup dekat dengannya. “Iya, hati-hati.” Izza menoleh sekilas. Ia sedang sibuk dengan laptopnya. “Kenapa, Ra?” Tanya Aidan setelah mereka berada di luar ruangan. “Apanya?” “Kenapa kamu nggak suka kalau orang lain tahu kita dekat?” “Ah, itu…” Nera menjeda kalimatnya. Ia sedang menyusun kalimat yang baik untuk dijadikan jawaban. “Aku nggak suka jadi bahan gosip orang lain.” “Hm?” Aidan mengernyit. “Memangnya kenapa akan bergosip tentangmu?” “Entahlah. Mungkin aja, ‘kan?” Nera mengedikkan bahu. Ia malas membahas topik itu. “Oh, iya. Kamu belum menjawab pertanyaanku waktu itu.” “Yang mana?” “Yang di kafe biru.” Deg! Sontak, memori Nera kembali ke saat itu. Saat Aidan terlihat begitu memesona di matanya. Saat kalimatnya yang sederhana terdengar begitu manis dan indah. Maka tak dapat ia hindari, pipinya mulai bersemu merah hanya karena teringat kejadian itu. “Kamu… mau terus-terusan menggantung perasaanku, Ra?” Suara Aidan terdengar sedih. Nera tak merespons. Mereka tetap berjalan beriringan menuju tempat parkir motor. Malam itu, entah karena suara Aidan yang terdengar sedih atau karena belaian angin yang terasa lembut di pipinya, perasaan manis itu tiba-tiba memenuhi relung hatinya. Nera menoleh. Menatap Aidan yang sejak tadi sudah menghujaninya dengan tatapan penuh harap. Ia menatap kedua bola mata jernih milik laki-laki itu. Bias cahaya rembulan membuatnya tampak semakin indah. Seperti permukaan samudra yang berkilau. Berkaca-kaca. Nera membiarkan dirinya tenggelam di sana, terbuai. “Kak, boleh aku bicara jujur?” Suaranya terdengar pelan dari dalam. Entah bagaimana suaranya sampai ke telinga Aidan. “Tentu saja, Ra. Aku siap mendengarkan setiap kata yang kamu ucapkan.” Laki-laki itu tersenyum. Manis sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN