26

1732 Kata
Malam merangkak naik. Cahaya bulan sabit memantul di rumput-rumput hijau, membuatnya berkilau. Langit malam itu seolah mengaminkan suasana yang tengah dibangun oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang berbagi rasa yang sama itu. Milyaran bintang menambah indah lanskap langit. Malam itu cerah sekali. Gumpalan awan laksana kapas terlihat samar, sibuk bergulung lembut. Kafe biru, sepertinya akan menjadi saksi dimulainya sebuah hubungan asmara dua sejoli itu. “Kenapa ngajak ke sini lagi, Ra?” Aidan duduk di hadapan gadis itu. “Hm? Aku suka suasana di sini, Kak.” Jawab Nera sembari meraih buku menu. Sebenarnya, belakangan ini ia selalu teringat kejadian saat Aidan mengutarakan perasaannya di kafe biru. Sejak saat itu pula ia jadi merindukan tempat itu. Aidan tersenyum. “Eh, tapi ‘kan tadi sudah makan?” “Iya, terus kenapa?” Nera mengerjap-ngerjapkan matanya. “Hm… memangnya kamu mau pesan apa?” “Kopi.” Aidan mengangguk-angguk. “Aku juga.”                   Nera tersenyum. Memesan caramel macchiato untuk dirinya dan affogato untuk Aidan. “Kak…” Suara Nera terdengar rendah sekaligus lembut. Desahan nafasnya di akhir kalimat membuatnya terdengar intens. “Ya?” Aidan tersenyum. Nera diam sesaat. Menatap Aidan cukup lama. Mata laki-laki itu penuh oleh bayangan dirinya. “Aku… suka Kak Aidan.” Akhirnya, kalimat itu meluncur dari bibirnya. Jantung Nera mendadak berdegup kencang. Sepertinya, memvalidasi perasaannya itu membuat kadar rasa sukanya pada Aidan bertambah berkali-kali lipat. Di kursinya, Aidan menelan ludah. Sinar mata yang begitu tulus dari gadis di hadapannya benar-benar sulit ia halau. Sebenarnya, keputusan untuk mendekati perempuan seperti Nera itu sangat beresiko. Potensi untuk tidak jatuh hati padanya sangat kecil. Lebih besar potensi untuk terpikat dengan kecantikan dan pesonanya. Hening sesaat. Mereka hanya saling pandang. Sinar rembulan di luar sana menambah indah pemandangan dua sejoli itu. Bias cahaya rembulan yang menerpa sisi kanan wajah Nera membuatnya berkilau laksana berlian. Indah sekali. Aidan benar-benar sedang dalam bahaya. Ia lupa bahwa pesona Nera bukan hanya dari wajahnya yang rupawan, tapi juga dari sorot mata dan cara bicaranya yang mantap, juga otaknya yang cukup cerdas. Aidan berdehem beberapa kali. Menghalau gugup yang tiba-tiba merajai. “Te-terima kasih, Ra.” Suaranya rendah, sorot matanya lembut. Nera tersenyum. Ia tak pernah menyangka akan merasakan perasaan suka pada seseorang sebegitu besarnya. Hingga ia berani mengakuinya, hingga ia berani menjalin hubungan dengan orang lain. “Kak…” “Ya, Ra?” “Mungkin aku akan banyak merepotkan Kak Aidan.” Nera terlihat malu-malu. “Hm? Kenapa begitu?” “Aku… nggak punya pengalaman soal hal beginian.” Gadis itu terlihat semakin tersipu. Pipinya merona merah. “Hal beginian?” Entah Aidan memang tak mengerti, atau pura-pura tak mengerti. Laki-laki itu terus mengernyitkan dahi. Bahkan ketika seorang pramusaji datang untuk menyajikan pesanan mereka, Aidan masih terlihat sangat penasaran. Nera melirik pramusaji yang sudah berlalu dari meja mereka. Hingga pramusaji itu terlihat cukup jauh, barulah Nera kembali melihat Aidan. “P-pacaran.” Gadis itu berbisik, malu sekali rasanya ketika mengucapkan kata itu dengan bibirnya sendiri. Aidan menahan tawa, gemas dengan sikap Nera yang malu-malu. “Berarti kita sama.” Ucapnya kemudian. Nera terbelalak. Matanya yang jernih terlihat membulat. “Serius? Kak Aidan nggak pernah pacaran?” Aidan mengangguk mantap. “Kamu pacar pertamaku, Ra.” Ia ikut berbisik, meniru cara bicara Nera. Sontak, rasa panas menjalar hingga ke wajah Nera. Membuatnya terlihat merah padam. “Eh, tapi, Kak…” Tiba-tiba Nera teringat sesuatu. “Boleh, nggak, kalau kita sembunyikan dulu hubungan kita?” “Kenapa memangnya?” Aidan mengernyit. “Aku… belum siap aja.” “Baiklah.” Aidan memutuskan untuk menuruti kehendak kekasihnya itu. *** Malam itu, Aidan mengantarkan Nera pulang. Berboncengan di atas motor yang biasanya sering mereka lakukan, malam itu jadi terasa berbeda. Punggung Aidan yang lebar menghadap Nera, tak lagi terlihat sama. Membuatnya canggung, gugup, dan salah tingkah. Rasa panas terus menjalar ke wajahnya. Ini perasaan yang sulit sekali ia kendalikan. Tak seperti mengendalikan rasa sedih, kecewa, apalagi merah. Perasaan ini bertumbuh tak terkendali. Perjalanan lima belas menit itu terasa satu jam bagi Nera. Menyesakkan dalam arti yang menyenangkan. “Makasih, Kak.” Nera turun dari motor. Melepas helm yang dipinjamkan Aidan padanya. “Sama-sama.” Aidan tersenyum. “Eh, mulai sekarang kita bakal selalu pulang bareng, ‘kan?” Nera menahan nafas. Matanya terbelalak. “Ke-kenapa begitu?” “Kok kenapa? Ini ‘kan kegiatan yang wajar dilakukan sepasang kekasih?” Wajah Aidan terlihat tak terima. “Ah, iya...” Nera nyengir. Ia jadi teringat dengan ‘sopir pribadi’-nya. “Ya sudah, masuk sana! Nanti aku telepon, ya?” “Eh, iya, Kak.” Nera tersenyum canggung. Sungguh, hubungan yang dilandasi perasaan seperti ini membutuhkan waktu lama untuknya beradaptasi dan terbiasa. Aidan masih tersenyum. Menatap gadis itu dalam. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Aidan meraih tangan Nera. Membuat gadis itu menahan nafas. Tidak, yang lebih mengejutkan dari gerakan tiba-tiba itu adalah sensasi rasa hangat dan getaran ringan yang diakibatkan oleh sentuhan pertama mereka itu. Nera benar-benar tak pernah menduganya. Aidan mengusap punggung tangan Nera dengan jempolnya. Membuat gadis itu benar-benar bingung harus bagaimana. Salah tingkah, tersenyum canggung. “Terima kasih, Ra, sudah mau menerima perasaanku.” Aidan menatap kekasihnya lekat, ia tersenyum tulus. Nera balas melengkungkan bibir, tipis. Ia canggung bukan main. “S-sama-sama, Kak.” “Ke depannya, semoga ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama daripada kita lakukan sendiri-sendiri.” Aidan menangkupkan kedua tangannya, membungkus tangan Nera dalam genggamannya. Nera mengangguk. Ia setuju dengan kalimat Aidan. Ia juga ingin mencoba melakukan sesuatu dengan orang lain. Bukan dengan Fatih yang selama ini telah membersamainya. Tapi dengan orang lain, orang baru, orang seperti Aidan. Mereka bertahan dalam posisi itu selama beberapa detik. Hingga akhirnya Aidan menyuruh Nera masuk. Perlahan-lahan melepas genggamannya, pelan sekali. Seolah enggan terpisah. “Kak Aidan pulang dulu aja.” Jawab Nera ketika Aidan menyuruhnya masuk lebih dulu. “Ya sudah, aku pulang, ya?” Aidan memasang kembali helmnya. Menyalakan mesin motor. Nera mengangguk, sembari tersenyum manis. “Ra…” Suara Aidan teredam berisiknya suara mesin motor. “Iya, Kak?” Aidan mengambil posisi, siap melajukan motornya. “Jangan kangen. Nanti aku telepon, kok.” Blush! Seketika wajah Nera memerah. Rasa panas yang belum hilang usai mereka berpegangan tangan kini kembali menguasai. Sementara Aidan terkekeh sembari memutar kemudi motornya. “Dah, Ra!” Laki-laki itu melambaikan tangan, memacu motornya, meninggalkan Nera yang masih merah padam. Nera mengipasi wajahnya. Menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Ia harus sudah menguasai dirinya sebelum masuk rumah. Jangan sampai ketika sudah di dalam rumah ia malah senyum-senyum sendiri. Menggelikan. “Baru pulang, Ra?” Mama menyambut di ruang tengah. “Iya.” Nera sudah berhasil menguasai dirinya. Rona merah yang sejak tadi menghiasi kedua pipinya sudah sirna. Sayangnya, wanita yang sudah melahirkannya itu benar-benar memiliki ikatan batin dengannya. Mama mengernyit menatap putri bungsunya. “Apa terjadi sesuatu di kampus?” Tanyanya penuh selidik. Ia sedang membereskan ruang tengah, bekas-bekas ulah perbuatan putri sulungnya. “Hm? Maksudnya, Ma?” Nera berjalan pelan melewati mamanya. Bersiap kabur ke kamarnya di lantai dua. “Wajahmu kelihatan… berseri-seri? Pokoknya ada yang beda. Apa terjadi sesuatu yang menggembirakan, Ra?” Wanita itu sudah tersenyum. Ingin ikut merasakan bahagia yang dirasakan putrinya. Nera menggeleng kuat-kuat. Ia belum siap untuk memberitahukan hubungannya dengan Aidan. “Nggak ada, kok, Ma. Mungkin karena persiapan kegiatan berjalan lancar, jadi… yah… begitulah.” Kalimat Nera belepotan. Ia sudah tak tahan dengan situasi ini. “Nera naik dulu, ya, Ma? Gerah. Pengen mandi.” “Iya, iya.” Mama tersenyum. Nera gegas berlari menaiki anak tangga. Brak! Suara pintu kamarnya terdengar hingga ke ruang tengah. Membuat Mama menggeleng pelan. “Anak itu nggak bisa bohong sama sekali.” Gumamnya sembari tersenyum tipis. Sesampainya di kamar, Nera baru menyadari bahwa ia tak melihat siapapun di rumah kecuali mamanya. “Kalau Kak Angel mungkin udah tidur, kalau ayah? Masa jam segini belum pulang?” Nera bicara sendiri sambil membereskan barang-barangnya kemudian bersiap mandi. Saat mandi, seringkali pikiran-pikiran manusia dipenuhi oleh hal-hal tidak penting. Seperti menyesali tingkah-tingkah konyol yang pernah dilakukan, mengingat kelakuan-kelakuan memalukan yang tak pernah dihiraukan saat kejadiannya, bahkan meratapi kesedihan yang tadinya sudah berhasil dilupakan. Dan saat ini, benak Nera sedang dipenuhi kejadian beberapa waktu lalu. Saat ia dengan sangat percaya diri menyatakan perasaannya pada Aidan. “Aduh! Malunya!” Ia berteriak tertahan di bawah guyuran air. Memukul-mukul tembok kamar mandi. Kemudian menangkup kedua pipinya, merasakan sensasi panas yang menjalari wajahnya. Baru saja ia berhasil menghalau kenangan memalukan itu, satu kejadian lain terlintas di benaknya. Ya, kejadian saat Aidan menggenggam tangannya. “Hah! Kenapa aku diam kayak patung, sih?! Kayak orang b**o aja!” Nera mengguyur tubuhnya dengan air. Mengambil air dengan gayung dari bak mandi yang juga tersedia di sana. Gerakannya cepat dan tergesa-gesa, hingga menciptakan gelombang badai di permukaan air bak mandi itu, dan menimbulkan suara mandi yang sangat ramai. Byur! Byur! “Aaaaaaak!” Ia berteriak demi menyingkirkan kenangan akan kejadian itu dari kepalanya. Ia berjingkrak-jingkrak. Membiarkan air menyiprat ke berbagai sudut kamar mandi. Sepuluh menit berlalu, Nera keluar dari kamar mandi. Entah mandi seperti apa yang ia lakukan. Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan nafas memburu, dadanya kembang kempis, ngos-ngosan seolah habis melakukan olahraga. “Sial! Jadi teringat terus, ‘kan!” Nera merutuk dirinya sendiri. Gadis itu segera mengeringkan rambutnya. Memakai pakaian tidur yang nyaman. Aroma pelembut pakaian seketika menguar, memanjakan saraf-saraf penciumannya. Nera merebahkan diri di kasur. Mengambil ponselnya. “Katanya mau telepon.” Ia bergumam, teringat kalimat Aidan tadi. Rupanya, tanpa sadar ia sudah menantikan telepon dari laki-laki itu. “Eh, lupa! Telepon Fatih dulu aja.” Nera segara menekan ikon telepon pada nama kontak Fatih. Menghubungi sahabatnya. “Halo, ada apa, Ra?” Fatih yang menyapa lebih dulu. Suara laki-laki itu terdengar ringan. Mungkin ia juga sedang bersantai. Besok adalah akhir pekan. Tidak ada gunanya menghabiskan malam menjelang akhir pekan dengan memikirkan organisasi, kuliah atau pekerjaan. Tidak ada salahnya memberi waktu untuk otak beristirahat. “Lagi apa, Tih?” Nera membalikkan badannya, tengkurap. “Nonton.” Jawab Fatih singkat. “Hm? Nonton apa?” Hampir saja Nera menyemprot Fatih yang tidak mengajaknya untuk ikut menonton. Sebelum ia tahu judul ‘film’ yang ditonton Fatih. “Video pancabutan gigi bungsu.” “Oh…” Mulut Nera membulat, urung menyemprot laki-laki itu. “Kenapa, Ra?” “Ah… mulai sekarang kamu nggak perlu jemput aku pulang.” Nera tersenyum. Teringat kejadian saat Aidan memastikan untuk selalu pulang bersama. “Kenapa memangnya?” “Aku… sudah punya penggantimu. Hahaha!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN