27

1601 Kata
Fatih mengernyit. Tangannya yang sejak tadi memainkan mouse seketika terhenti. “Pengganti?” Ia jelas tak suka dengan pilihan kata Nera. “Iya. Aku… sudah punya pacar, Tih!” Suara gadis itu terdengar sangat gembira. Ia bahkan tertawa-tawa saat mengatakan kata ‘pacar’. Deg! Jantung Fatih seolah berhenti. Ini berita yang lebih mengejutkan dari saat ia diminta untuk membantu operasi pencabutan gigi bungsu tadi. Nera punya pacar? Nera yang selalu menghindari hubungan pertemanan itu tiba-tiba punya pacar? “Siapa?” Pertanyaan itu meluncur tanpa sempat ia memperbaiki intonasi suaranya. Jelas sekali ia terdengar tak suka. “Kak Aidan, yang waktu itu aku ceritain.” Namun, sepertinya lawan bicaranya itu tak menyadari perubahan nada suara Fatih. “Oh… syukurlah kalau kalian akhirnya jadian.” Fatih sudah berhasil mengatur intonasi suaranya. Sayangnya, wajahnya jadi mengeras meski bibirnya sekuat tenaga berusaha tersenyum. “Aku nggak nyangka bakal ngerasain hubungan seperti ini, Tih.” Suara Nera terdengar sendu. Seketika, Fatih tersadar. Ekspresi wajahnya mulai melunak. “Kenapa nggak nyangka? Justru aneh kalau seumur hidup kamu nggak pernah ngerasain pacaran. Maksudku, dengan wajahmu yang begitu, nggak mungkin nggak ada cowok yang naksir, ‘kan?” Nera mengangguk. “Iya. Tapi tetap aja aku nggak nyangka akan ada cowok yang benar-benar membuatku melunak. Maksudku, selama ini aku menganggap laki-laki yang mendekat itu pasti sekedar suka aja lihat wajahku. Aku nggak nyangka ada juga laki-laki yang memperlakukanku bukan hanya karena wajahku. Kamu mengerti maksudku ‘kan, Tih?” Fatih mengangguk, berkali-kali. Ia lebih dari tahu soal kegelisahan Nera tentang anggapan orang-orang yang mendekatinya. Bertahun-tahun ia menghindari hubungan pertemanan karena takut dengan sikap palsu yang ditunjukkan orang-orang. Orang-orang yang hanya memuji kecantikannya tapi menghinanya di belakang. “Iya, aku ngerti. Lebih dari mengerti sepertinya.” “Hahaha, emang apa yang lebih dari mengerti itu?” Suara Nera terdengar riang sekali. “Paham, mungkin.” Fatih nyengir. Tentu saja Nera tak dapat melihatnya. Di ujung telepon, Nera terkekeh pelan. “Ya udah, lanjutin nontonnya. Aku tutuo, ya?” “Tunggu, tunggu!” Pekik Fatih. Menahan agar Nera tak memutus sambungan telepon. “Apa lagi?” “Jadi kamu meneleponku cuma mau pamer kalau udah punya pacar?” Fatih pura-pura sewot. “Hahaha, iya! Biar kamu juga segera cari pacar. Masa kamu nggak bosen dari dulu digosipkan pacaran sama aku?” “Hm… iya juga.” Fatih mengusap dagunya. “Oke, deh. Nanti aku cari, siapa tahu kita bisa double date.” Selorohnya. “Hahaha, iya, deh.” Suara tawa Nera terdengar renyah. “Eh, udahan, ya, Tih?” Tiba-tiba suaranya terdengar panik. “Kenapa?” “Kak Aidan telepon. Dah!” Klik. Sambungan telepon terputus. Fatih menatap layar ponselnya dengan sorot mata yang rumit. Ia menghela nafas. Meletakkan ponselnya di atas meja. Laki-laki itu beranjak keluar kamar. Berjalan pelan ke belakang rumah. Ia sudah kehilangan minat untuk menonton video yang tadi ia tonton. Sepetak taman sederhana yang terletak di halaman belakang rumah Fatih ditata dengan begitu apik. Sebuah kolam ikan dengan sirkulasi air yang terawat menjadi pemanis yang sempurna. Saat malam hari begini, suara gemericik airnya terdengar sangat menenangkan. Ikan-ikan dengan berbagai macam warna mencolok terlihat berenang-renang di dalamnya. Memanjakan mata, menyejukkan hati. Sesekali, ikan-ikan itu muncul ke permukaan kemudian gegas berenang kembali ke dasar. Taman belakang rumah itu berbatasan dengan teras. Beberapa kursi kayu berjajar rapih di teras itu. Memang disediakan untuk bersantai sembari menikmati suara gemericik air di kolam dan memanjakan mata dengan taman yang dipenuhi tanaman hijau. Fatih duduk di salah satu kursi itu. Pantulan cahaya lampu membuat taman kecil itu terlihat terang di malam hari. Dulu, ia dan Nera sering menghabiskan waktu di taman itu. Mengobrol, berlarian, membaca komik, dan lain-lain. Malam ini, memori masa lalu itu seolah menjelma menjadi bayangan di depan mata. Memenuhi taman rumput itu dengan dua anak kecil yang sedang berlarian, atau rebahan di salah satu sudut sembari membaca buku, atau duduk lesehan di sudut yang lain sambil mengobrol seru, atau justru antusias menonton ikan-ikan peliharaan orang tuanya yang sedang diberi makan. Fatih menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Menatap langit yang cerah. Sejak tadi, entah kenapa ia merasa akan kehilangan sahabat kecilnya itu. Sejak Nera mengatakan bahwa ia sudah memiliki kekasih. Entahlah, apakah itu rasa kehilangan sebagai sahabat atau lainnya. Fatih belum bisa menerjemahkannya dengan akurat. *** Hari Minggu, kencan perdana Nera dan Aidan. Ya, malam itu Aidan menelepon untuk merencanakan hari ini. Karena Nera menolak untuk kencan di malam minggu, maka agenda kencan perdana mereka pindah ke hari ini. Dan ini akan menjadi kencan yang panjang, begitu menurut Aidan. Kencan perdana mereka dimulai dari car free day. Iya, mereka memulai kencan di pagi hari. Bahkan terlalu pagi. Tapi, menurut Nera, kencan itu tidak melulu soal menonton film di bioskop, makan malam romantis, dan sejenisnya. Olahraga bersama sepertinya dapat dipertimbangkan sebagai kegiatan kencan yang tak kalah romantis. Pukul enam pagi, Aidan menjemput Nera di rumahnya. Beruntung, Bambang masih tidur karena lembur semalaman mempersiapkan bahan sidang. Nera hanya perlu berpamitan pada mamanya. Ah, wanita itu selalu mampu memahami putri-putrinya. Termasuk putri bungsunya yang kentara sekali sedang dimabuk cinta meski tak bilang apa-apa. “Mau olahraga apa, Ra?” Aidan bertanya saat mereka sudah tiba di area car free day. “Jogging aja.” Nera nyengir sambil menunduk. Mengeratkan tali sepatunya yang longgar. “Oke.” Aidan tersenyum. Mereka berjalan beriringan, bergabung bersama puluhan manusia yang juga sedang menikmati hari minggu yang cerah. Hari itu cuaca juga sangat mendukung. Cerah berawan, sehingga pancaran cahaya matahari tak terasa begitu menggigit. Biasanya, beberapa menit setelah matahari terbit, suhu udara mulai meningkat cepat. Bahkan sebelum pukul delapan pagi, suhu udara sudah bisa meningkat hingga enam derajat celcius dibanding suhu udara saat sebelum matahari terbit. Nera mulai berlari kecil, Aidan mengikuti. Mereka melalui orang-orang yang memilih berjalan santai. Beberapa puluh meter berlari, Nera mulai mengurangi kecepatan hingga akhirnya langkahnya lebih santai. Aidan tetap mengikuti. “Kak Aidan pernah ke car free day?” Tanya Nera. Nafasnya sedikit ngos-ngosan. “Hm… selama kuliah, sih, nggak pernah.” Aidan mengimbangi kecepatan langkah kekasihnya. Berjalan tepat di sebelahnya. “Oh ya? Kenapa?” “Nggak sempat. Jauh juga.” Nera mengernyit. “Memangnya kos Kak Aidan di mana?” “Oh, kalau kosku dekat. Tapi sebelum aku jadi ketua BEM, aku pulang pergi dari rumah nenek. Jauh, di pinggiran kota.” Aidan memberi isyarat dengan tangannya. Nera mengangguk-angguk. “Berarti ini perdana?” “Bisa dibilang begitu.” Nera tersenyum. Kemudian mulai mempercepat langkahnya lagi. Memutari taman di tengah jalan, kembali ke titik semula. Lagi-lagi, Aidan hanya mengikuti. “Habis mau ke mana, Ra?” Aidan mengajak bicara sembari terus berlari kecil. “Mau beli sarapan.” Nera nyengir. Mencoba berbagai jajanan setelah olahraga ringan di car free day adalah kegiatan rutin baginya. Aidan terkekeh. “Oke.” Setelah sekitar tiga puluh menit memutari area car free day, Nera mengajak berhenti di sebuah gerobak makanan yang menjual bubur kacang hijau. “Kak Aidan suka burjo nggak?” “Lebih suka yang nggak pakai ketan.” “Jadi cuma kacang hijau aja?” Mata Nera membulat. Aidan mengangguk. Nera juga mengangguk, kemudian memesan dua mangkuk bubur kacang hijau. Satu mangkuk disesuaikan dengan selera Aidan. “Kak, kita makan di sini, ya?” “Oke.” Dua sejoli itu duduk di salah satu meja yang kosong. Menunggu pesanan mereka datang. Lalu, tiba-tiba… “Nera!” Sontak, gadis itu menoleh. “Hei!” Wajahnya berubah sumringah. “Kirain nggak bakal ke sini.” “Mana mungkin! Ini agenda rutin di akhir pekan. Biar pikiran seger.” Fatih, orang yang menyapa Nera itu terkekeh. “Eh, kamu pasti Aidan?” Ia menyadari bahwa Nera tak datang sendiri. Fatih segera mengulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan. “Iya. Siapa, ya?” Aidan mengernyit. Meski kejadian seperti ini sudah sering terjadi, ia tetap merasa tak nyaman jika bertemu dengan orang yang mengenalnya namun ia tidak. “Fatih. Hm… sahabat Nera?” Laki-laki itu seolah ingin mengonfirmasi pada orang yang bersangkutan. “Iya. Satu-satunya teman dekatku.” Nera tersenyum. “Ah, iya. Salam kenal.” Aidan menyambut uluran tangan Fatih. Usai memesan semangkuk bubur kacang hijau, Fatih segera duduk di kursi kosong sebelah Aidan. Dalam waktu singkat, dua laki-laki itu sudah terlibat obrolan seru. Saling memperkenalkan diri dan berbagi topik obrolan lainnya. Di kursinya, Nera tersenyum menatap dua laki-laki di hadapannya. Ada perasaan lega yang tiba-tiba menelusup. Mungkin ia merasa lega karena Aidan bisa masuk ke lingkar pergaulannya. Tapi, entah bagaimana dengan dirinya. Ia belum tahu bagaimana lingkup pertemanan Aidan. Tak lama berselang, tiga mangkuk bubur kacang hijau sudah tersaji di meja mereka. “Kamu sudah pernah pacaran, Dan?” Fatih bertanya di antara suapannya. “Belum. Aku dan Nera sama-sama pemula.” “Hahaha!” Fatih tergelak. Untung saja ia tak tersedak. “Aku kira kamu sudah berpengalaman, baru saja aku mau menitipkan anak ini padamu. Ajari dia cara berpacaran. Dia minim ilmu soal itu.” Buk! Nera memukul lengan Fatih. Laki-laki itu pura-pura mengaduh kesakitan. “Kita sama-sama belajar aja.” Aidan yang menjawab. Sementara Nera tetap diam, menikmati suapan demi suapan bubur kacang hijaunya. “Dan…” Panggil Fatih. “Iya?” Aidan menoleh. Mangkuk Fatih sudah hampir bersih. Laki-laki itu menoleh ke sebelahnya. “Aku titip Nera padamu. Aku serius.” Benar, wajah Fatih benar-benar terlihat serius. Mau tak mau, Aidan dan Nera ikut serius. Mengikuti atmosfer yang sudah dibentuk Fatih. “Dia…” Fatih memalingkan wajahnya. Menatap Nera dalam. Nera menahan nafas. Ini tatapan yang tak pernah Fatih berikan padanya. Ini asing, tapi samar-samar terlihat ada kesedihan yang membayang di sana. “Dia… sudah seperti adikku sendiri. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi adikku sendiri. Aku harap kamu benar-benar tulus dengan perasaanmu padanya, Dan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN