“Kalian memang sedekat itu, ya?” Aidan bertanya ketika mereka sudah berada di atas motor, dalam perjalanan menuju tempat berikutnya.
“Iya. Orang tua kami sudah bersahabat sejak kami masih kecil. Jadi aku dan Fatih sering bertemu. Dan seperti yang kukatakan tadi, Fatih memang satu-satunya teman dekatku.”
“Kenapa gitu?” Aidan menoleh sekilas. Ia sedang fokus menyetir.
“Hm… entahlah. Mungkin belum nemu teman yang cocok aja.” Nera mengangguk. Seolah setuju dengan alasan yang baru saja ia buat.
Aidan ikut mengangguk. “Yah, kadang-kadang memang begitu. Lebih baik berteman dengan satu teman dekat saja daripada banyak tapi tidak ada yang dekat.”
“Setuju!” Seru Nera dari balik punggung Aidan.
Aidan tersenyum, kemudian membelokkan motornya ke kanan.
“Kita mau ke mana, Kak?”
“Oh iya, aku belum memberitahu tujuan berikutnya, ya?”
“Iya.”
Di telepon mereka sudah bersepakat, karena tujuan pertama Nera yang menentukan, maka tujuan kedua Aidan yang menentukan.
“Kita mau ke sini.” Aidan kembali membelokkan motornya ke kiri. Memasuki halaman sebuah gedung bercat putih.
“Ini…” Nera menyapukan pandangan ke sekeliling. “Pusat Budaya?”
Nera ingat pernah ke tempat ini dulu. Dulu sekali, saat masih duduk di bangku SMA. Ada acara dari para turis yang berkunjung ke kota. Dan sekolahnya termasuk sekolah yang diundang untuk mengikuti acara tersebut. Kalau bukan karena diundang, Nera malas sekali mendatangi tempat-tempat ramai.
“Betul sekali!” Aidan memarkir motornya di barisan motor lainnya.
“Ngapain ke sini, Kak? Lagi ada acara?” Nera turun dari motor. Wajahnya masih terlihat menuntut jawaban.
Untuk ukuran sepasang kekasih yang sedang berkencan, memang tempat tujuan yang dipilih Aidan sedikit janggal. Umumnya, pasangan yang baru berpacaran akan mendatangi tempat-tempat romantis. Seperti kafe yang romantis, taman-taman yang penuh bunga, bioskop yang menayangkan film romansa, dan sejenisnya. Tapi sejak tadi, tujuan mereka benar-benar di luar dugaan.
“Kamu sudah pernah masuk ke perpustakaannya?” Aidan juga sudah turun dari motor. Sedang mengancingkan helmnya di pengait yang ada di jok motor.
“Eh? Ada perpustakaannya?” Nera tercengang. Ini menarik sekali. Ia belum pernah tahu tentang hal itu sebelumnya.
“Iya. Kamu belum pernah masuk?” Aidan mulai berjalan. Memutari gedung besar itu.
Nera menggeleng. “Belum.” Ekspresi wajahnya bercampur antara antusias dan penasaran.
“Wah, sudah berapa tempat yang kamu datangi pertama kali bersamaku, Ra?” Aidan tersenyum menggoda.
Nera menghitung dengan jarinya. “Sepertinya tiga.”
“Tiga?” Aidan mengernyit. Mereka masih berjalan beriringan. Nera hanya mengikuti saja langkah-langkah Aidan.
“Iya. Kafe biru, SMA 4, dan ini.”
“Ya ampun, Ra. SMA 4 juga kamu hitung? Itu ‘kan kita lagi uji coba.”
“Tetap saja itu termasuk dalam daftar pertama kali didatangi dengan Kak Aidan.”
“Hahaha.” Aidan tertawa pelan. “Eh, itu dia perpusatakaannya! Yuk!” Aidan menaiki anak tangga dengan setengah berlari.
Nera mengikuti. Matanya terus menelusuri ruangan di balik kaca jendela besar itu. “Wow, ini menarik!” Gumamnya antusias.
Aidan mendorong salah satu pintu kaca. Angin sejuk segera berhembus. Rupanya, ruangan itu dilengkapi dengan pendingin ruangan. Keputusan bagus mendatangi tempat itu. Karena semakin panas, suhu udara semakin meningkat. Tidak baik berada di luar ruangan dalam waktu lama. Apalagi berada di dalam ruangan tanpa pendingin ruangan. Bisa-bisa mandi keringat.
Ruangan itu cukup luas. Didesain dengan begitu apik. Di bagian depan, tepat setelah pintu masuk, mereka disuguhkan dengan foto-foto ikon terkenal dari berbagai negara. Ada patung liberty dari Amerika Serikat, menara Eiffel dari Perancis, big ben dari Inggris, colosseum dari Italia, patung merlion dari Singapura, taj mahal dari India, gedung opera Sydney dari Australia, Burj Khalifa dari Uni Emirat Arab, dan lain-lain.
Nera berhenti di foto-foto itu. Mengagumi setiap foto yang selama hidupnya, belum pernah ia lihat langsung. Sementara Nera memandangi foto-foto itu, Aidan sudah melangkah masuk. Menitipkan barang bawaan mereka pada tempat penitipan yang berada tak jauh dari papan berisi foto-foto itu.
“Ra…” Aidan mendekat.
“Ya, Kak?”
“Isi buku tamu dulu. Siapin KTP.” Aidan memberitahu.
“Oh, iya.” Nera segera beranjak. Menuju tempat yang diberitahu Aidan.
Usai menunaikan prosedur awal memasuki perpustakaan itu, mereka sudah bisa masuk ke bagian dalam perpustakaan. Dan, Nera semakin terkagum-kagum dengan ruangan itu.
Gedung besar bercat putih itu benar-benar seluruhnya berwarna putih. Ah, kecuali atapnya dan ruangan ini. Ya, dinding-dinding perpustakaan itu dicat dengan berbagai macam warna cerah. Kuning, jingga, merah jambu, hijau muda, biru langit, dan lain-lain. Sofa-sofa warna-warni yang senada dengan cat dinding diletakkan di depan rak buku berwarna cokelat kayu yang tingginya mencapai dua pertiga dinding ruangan. Semakin ke dalam, perpustakaan itu semakin terlihat menarik. Ada ruangan yang disekat-sekat, didesain dengan desain anterior khas dari berbagai negara. Buku-buku yang ada di bilik ruangan itu juga buku-buku yang berasal dari negara yang bersangkutan.
Nera memasuki salah satu bilik. Sebuah bilik dengan tulisan Korea Selatan di atasnya. Di dalam bilik itu, sebuah meja kayu diletakkan di tengah-tengahnya. Seluruh dindingnya dipenuhi oleh buku-buku terjemahan dari bahasa Korea. Di ujung atas, persis di bagian atas rak buku, sebuah tulisan Hangul bertengger. Nera sama sekali tak mengerti bagaimana cara membacanya.
“Gimana?” Aidan berdiri di ambang pintu yang tak memiliki daun pintu. Laki-laki itu tersenyum bangga.
“Keren, Kak!” Wajah Nera berbinar-binar. “Nggak nyangka ada tempat kayak gini di sini. Aku kira gedung ini cuma disewakan kalau ada kegiatan atau tempat turis-turis mencari informasi.”
Aidan masih tersenyum. Ikut duduk lesehan. “Aku suka ke sini sendirian.” Ia mulai bercerita.
“Kenapa?” Nera antusias.
“Mungkin karena ini perpustakaan dan pengunjungnya nggak banyak, jadi terkesan menangkan.”
Nera segera menyapukan pandangan. Benar, pengunjung yang datang bersama mereka hari itu pun tak banyak. Jumlahnya bahkan tak lebih dari jumlah seluruh jari tangan. Semua pengunjung itu membaca buku dalam diam, atau berkeliling, melihat-lihat buku dan desain anterior ruangan tanpa bicara. Benar-benar menenangkan. Belum lagi warna-warni cerah yang sangat memanjakan mata membuat tempat ini benar-benar layak didatangi seorang diri jika pikiran sedang penat. Tapi, mungkin itu tidak berlaku untuk orang-orang ekstrovert yang mendapatkan energi dari bertemu dengan orang lain.
“Eh, Kak Aidan ngapain ke sini sendirian?” Nera tiba-tiba tersadar, orang-orang seperti Aidan umumnya lebih suka menghabiskan waktu bersama orang lain.
“Hm, mencari ketenangan untuk berpikir? Kira-kira begitu.” Aidan mengangguk-angguk. Setuju dengan alasan yang ia lontarkan sendiri.
“Oh, kirain Kak Aidan nggak suka pergi-pergi sendiri.”
“Hahaha, suka aja.” Aidan menahan suaranya agar tidak berisik. “Belakangan ini aku juga lebih sering pergi sendiri. Ehz tapi kenapa kamu berpikir begitu?”
“Hm, biasanya ‘kan orang-orang seperti Kak Aidan selalu dikelilingi banyak teman. Jadi sepertinya sulit untuk pergi sendiri.”
Aidan memajukan bibirnya. Sedikit tak setuju dengan kalimat kekasihnya itu. “Nggak juga, sih. Kita ‘kan berhak menentukan mau pergi dengan siapa. Sekalipun ada yang menawarkan diri untuk menemani, kita juga berhak menolaknya kalau memang nggak mau.”
Nera tertegun.
Banyak sekali orang yang rela mengesampingkan kenyamanan dirinya demi memuaskan orang lain, atau demi tidak menyakiti hati orang lain, atau demi tidak dipandang buruk oleh orang lain. Banyak juga orang yang akhirnya tidak berani tegas menolak karena takut dikucilkan dari kehidupan sosial. Lalu tak sedikit manusia jadi sibuk memakai topeng demi bertahan dalam kehidupan sosial. Mereka lupa bahwa yang lebih berharga dari kehidupan sosial itu adalah kenyamanan diri mereka sendiri.
“Benar juga. Yang tahu kita nyaman atau enggak ya kita sendiri.” Nera tersenyum, menyimpulkan obrolan mereka.
Aidan mengangguk. “Karena teman yang sejati adalah teman yang mau mengerti kita, bukan maunga dimengerti saja.”
“Hahaha, iya benar.”
Nera menyadari, salah satu alasannya selama ini menarik diri dari kehidupan sosial adalah karena tidak tahan dengan dugaan mengenai pikiran-pikiran orang lain tentang dirinya. Oleh sebab itu juga ia lebih bahagia menjalin pertemanan di media sosial karena ia takkan terlibat interaksi langsung dengan orang lain. Hanya sebatas obrolan pendek di kolom komentar, atau sapaan singkat lewat pesan. Simpel.
Obrolan mereka masih terus mengalir. Tentu saja dengan suara rendah, khawatir mengangguk pengunjung yang lain.
“Oh ya, Ra. Kamu tahu di sekitarmu muncul gosip soal sikapmu yang dingin dan ketus, ‘kan?” Aidan sudah berpindah ke topik lain.
“Iya, tahu.” Sejak dulu, ia sudah terbiasa dengan hal itu.
“Tapi, setelah kenal langsung, ternyata kamu nggak begitu, tuh. Jadi, kenapa selama ini kamu membiarkan orang lain berpikiran begitu?” Aidan mengernyit.
Nera terlihat berpikir sejenak. “Itu… caraku menghindari kehidupan sosial.”
“Eh? Kenapa?” Mata Aidan mengerjap-ngerjap. Mungkin ia tak percaya dengan jawaban gadis di hadapannya. “Padahal mungkin saja banyak orang yang ingin dekat denganmu, Ra.”
“Kehidupan sosial itu melelahkan, Kak.” Akhirnya Nera bicara setelah diam beberapa saat.
“Melelahkan?” Aidan mengerutkan kening. Ini sudut pandang yang sangat baru baginya.
“Iya. Kalau kita berteman dengan seseorang, kadang, maksud sikap kita adalah A tapi dia mengartikannya B. Kemudian setelah lama berteman, dia asal menyimpulkan bahwa kita berkarakter Z yang bahkan sangat berbeda dengan karakter asli kita. Lalu, agar tidak salah paham, kita harus selalu berhati-hati bersikap. Menebak-nebak apa yang ada di kepala lawan bicara kita. Belum lagi mereka-mereka yang bermuka manis di depan tapi mencemooh kita di belakang.” Nera mendesah. “Pokoknya bagiku itu melelahkan. Karena itu aku sering bersikap dingin. Itu sangat memudahkanku untuk menebak apa isi kepala lawan bicaraku.”
Nera benar-benar tak pernah menyangka bahwa ia akan berbagai sudut pandangnya soal kehidupan sosial dengan orang lain. Soal pilihannya yang lebih suka berinteraksi dengan orang lain di dunia maya.
“Karena itu juga aku lebih senang berada di dunia maya. Berinteraksi dengan orang-orang yang tak kasat mata. Yang kalimat-kalimatnya cukup singkat tanpa maksud tersembunyi. Pujian atau makian. Itu saja.”
Nera benar-benar menumpahkan isi hati dan kepalanya hari itu. Membuat Aidan terperangah. Tak menyangka bahwa gadis yang ia pacari memiliki cara berpikir yang menurutnya, cukup ekstrim.