Nera mengambil sebuah buku. Entah apa judulnya. Membukanya asal. Membaca halaman yang terbuka. “Oh, buku belajar bahasa Korea.” Alisnya terangkat. Terus membuka halaman demi halaman. Tanpa benar-benar membacanya.
Tadi, akhirnya seorang petugas perpustakaan menegur mereka yang berbicara terlalu keras. Karena itu akhirnya mereka memilih untuk berkeliling sendiri usai mengobrol panjang lebar tadi. Aidan sudah pergi entah ke mana, ia bilang ada buku yang ingin ia baca sebentar. Nera sudah sibuk sejak tadi di bilik ini. Melihat-lihat berbagai macam buku.
Lima belas menit berada di bilik itu, Nera keluar. Mencari Aidan. Rupanya, laki-laki itu sedang berada di bilik negara Jepang.
“Baca buku apa, Kak?” Nera bertanya. Ia berbisik. Khawatir mendapat teguran lagi.
“Ah, ini…” Aidan menunjukkan sampul buku.
“Hm? Kak Aidan mau sekolah ke Jepang?”
“Pengennya begitu, Ra. Doakan, ya?” Aidan mengembalikan buku yang ia pegang ke rak.
“Wah, keren, Kak!” Mata Nera berbinar-binar. “Pasti kudoain.”
Aidan tersenyum. “Sudah mau pulang?”
“Hm? Kenapa buru-buru?” Nera enggan, ia belum selesai memperhatikan setiap sudut perpustakaan ini.
“Bukan buru-buru. Kalau hari minggu, perpustakaan ini cuma buka sampai tengah hari. Sebentar lagi mungkin pengunjuk sudah akan diingatkan buat pergi.”
“Oh…” Mulut Nera membulat. Mau tak mau, ia mengikuti langkah-langkah Aidan yang keluar dari perpustakaan.
“Sebenarnya ada satu tempat lagi yang ingin aku tunjukkan padamu, Ra.” Ucap Aidan sembari menyerahkan kartu penitipan barang.
“Oh ya? Apa itu?” Wajah Nera kembali antusias setelah sebelumnya terlihat sedikit murung.
Seorang petugas menyerahkan barang-barang titipan mereka. Aidan menerimanya kemudian mengucapkan terima kasih.
“Tempatnya di gedung ini juga. Tapi, kalau hari minggu biasanya tutup. Buka di hari kerja tapi sore atau malam.” Aidan memberi kode. Mereka sudah keluar dari perpustkaan. Sedang berjalan di pelataran gedung. Menikmati pemandangan tempat parkir dan jalanan di dekat gedung dari ketinggian satu meter lebih.
“Apa itu?” Nera semakin penasaran.
“Tempat kursus bahasa.” Jawab Aidan sembari tersenyum.
“Eh?” Nera tak menduga jawaban Aidan. “Kursus bahasa?”
“Iya. Pusat Budaya ini menyediakan kursus bahasa gratis. Caranya gampang banget, daftar pake KTP doang. Yang mau datang dipersilakan datang untuk ikut kelas di jadwal yang sudah ditentukan.”
“Bahasa apa aja? Mentornya dari mana?” Nera semakin tertarik. Ini benar-benar informasi menarik yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Aidan berjalan lebih pelan, supaya ada lebih banyak waktu untuk mengobrol sembari memangkas jarak menuju tempat parkir.
“Macam-macam. Aku pernah ikut yang kursus bahasa inggris, pernah juga bahasa jepang. Oh, ada bahasa korea juga!” Aidan teringat bilik negara yang dimasuki Nera tadi.
“Wah, keren, ya!”
“Kapan-kapan, deh, aku ajak ikut salah satu kursusnya. Metode pembelajarannya menarik, sih. Semacam FGD gitu, bukan yang guru-murid seperti di sekolah.”
“Aku jadi makin penasaran, Kak.” Wajah Nera terlihat cerah karena saking antusiasnya.
Aidan tersenyum. Tidak ada buruknya berhubungan dengan orang seperti Nera. Mungkin karena selama ini gadis itu terkurung dalam kehidupannya sendiri, ia jadi memiliki informasi yang minim tentang dunia luar. Dan sepertinya, menyediakan apa yang tanpa sadar dibutuhkan gadis itu akan membuatnya semakin jatuh cinta. Kira-kira begitulah pikir Aidan yang membuat laki-laki itu tersenyum semakin lebar.
Aidan dan Nera sudah tiba di tempat motor Aidan diparkir saat ponsel Aidan bergetar. Ya, ia tadi sempat mengganti mode ponselnya ke mode getar. Agar tidak membuat suara berisik di perpusatakaan jika ada pesan atau telepon masuk.
Aidan merogoh sakunya. “Hm?” Seketika alisnya bertaut saat melihat nama yang tertera di sana.
Nera sedikit menjauh. Ia tidak ingin mengganggu privasi Aidan. Memberi ruang pada laki-laki itu untuk leluasa menerima telepon.
“Sebentar, ya, Ra.”
“Iya, Kak.”
“Halo, Om. Ada apa?” Aidan menempelkan ponselnya ke telinga. Mulai berbicara dengan sang penelepon.
“Di mana, Dan?” Suara Reza segera terdengar di ujung telepon.
“Di… pusat budaya. Kenapa?”
“Bisa ke rumah Om sebentar? Ada berita bagus!” Suara Reza terdengar bersemangat. Di balik suaranya itu, terdengar keributan kecil. Sepertinya laki-laki itu sedang berada di unit apartemen yang dijadikan rumah.
“Hm…” Aidan menoleh ke arah Nera. Wajahnya terlihat sedikit ragu. “Bisa, sih, Om.”
“Oke, Om tunggu, ya!”
Telepon diputus.
“Kenapa, Kak?” Nera cepat tanggap. Sepertinya obrolan di telepon tadi sedikit berkaitan dengannya. Buktinya Aidan sampai menatap dirinya saat berbicara di telepon.
“Kayaknya kita nggak bisa lanjut ke tujuan berikutnya.” Aidan terlihat ragu.
“Oh, Kak Aidan urusan?”
“Iya. Maaf, ya? Tiba-tiba aja, nih.”
“Iya, nggak apa-apa, Kak.” Nera membuat gestur dengan tangannya, bahwa dirinya sama sekali tak keberatan. “Aku pulang sendiri aja. Dari sini juga dekat, kok, ke rumahku.”
“Ah, jangan! Biar aku antar aja. Tujuanku sejalan, kok, dengan arah rumahmu.”
“Begitu?”
“Iya.” Aidan mengangguk mantap.
“Ya udah kalau gitu.” Nera melemparkan senyum manis.
***
“Ada apa, Om?” Aidan sudah tiba di depan pintu apartemen Reza. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke tempat itu.
“Masuk dulu, Dan!” Reza membukakan pintu semakin lebar. Membuat ruang tamu apartemen mungil itu terlihat jelas.
Di sana, di salah satu sofa ruang tamu Reza, seorang laki-laki berkemeja terlihat duduk. Ia sedang menyesap kopi yang dibuatkan tuan rumah.
Aidan melangkah masuk. Duduk di sebelah si laki-laki itu.
“Sudah datang, Dan?” Pramana menyapa ‘klien’-nya. Ia meletakkan cangkir kopinya. Tersenyum.
“Ada apa, Om?” Aidan tidak berniat basa basi.
“Surat dakwaan kita diterima. Sidang pertama, hari Senin dua pekan lagi.” Ucap Pramana bangga.
“Serius, Om?”
“Iya.” Laki-laki berkemeja itu mengangguk mantap.
“Karena itu, Dan, semua bukti yang kita miliki harus kita siapkan dengan baik. Jangan sampai mereka mempunyai celah untuk membalikkan fakta lagi. Seperti delapan tahun lalu.” Reza menggebu-gebu.
Pramana menggeleng pelan. “Mereka tidak akan punya celah. Mereka tidak punya waktu dan persiapan. Mereka terlalu terlena menganggap kasus ini akan dilupakan begitu saja. Aku yakin, kita bisa memenangkan sidang.”
Aidan terharu. Ia berada di antara dua orang yang begitu gigih memperjuangkan kasus ayahnya, membela laki-laki yang jasadnya sudah menyatu dengan tanah.
“Hei! Kau menangis, Dan?” Pramana menyadari mata Aidan yang berkaca-kaca.
Aidan segera mengusap mata dan wajahnya. “Terharu, Om. Seandainya ayah masih hidup, pasti ayah seneng banget ada yang mau membelanya dengan sedemikian gigih.”
Pramana menepuk pundak Aidan. “Ayahmu akan tetap mendapat ganjaran atas kesabarannya menerima hukuman yang tak seharusnya ia terima, Dan.”
Aidan mengangguk, berkali-kali. Dalam hatinya, sebersit doa terlantun. Ia berharap doa itu sampai hingga ke langit.
***
Seperti terbangun dari tidur, suara para pendukung Wirahadi kembali menggema usai berita mengenai kasusnya akan kembali disidangkan. Portal berita online, media televisi, bahkan sebagian besar media sosial dipenuhi tentang kabar itu. Semua orang yang mengikuti berita itu sejak delapan tahun lalu, kembali bersuara. Menggaungkan pendapat mereka yang dulu belum sempat mereka utarakan. Karena dahulu, media untuk berbicara tak sebebas saat ini.
“Apa kubilang? Kasus itu emang keliatan mencurigakan, kok.” Salah seorang pengguna media sosial berkomentar di bawah artikel berita mengenai kasus yang menyeret nama Wirahadi.
“Dari dulu aku nggak percaya dokter Wirahadi melakukan hal busuk kayak gitu. Aku pernah jadi pasiennya. Dia orang yang sangat baik.” Seseorang berkomentar, menimpali.
Bahkan, para ibu-ibu yang tadinya hanya tahu soal artis A dan artis B yang sedang dalam proses bercerai, kini mulai merambah ranah kasus pidana. Berkomentar ini itu tentang kasus Wirahadi. Ada yang menganggap keputusan untuk membuka sidang ulang hanyalah buang-buang waktu. Namun, tak sedikit juga yang setuju dan mendukung pengadilan untuk mengungkapkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Di antara masyarakat yang berkomentar pro dan kontra, ada juga yang mendadak gelisah karena keputusan tersebut. Satu di antaranya adalah Bambang selaku pengacara yang memenangkan kasus itu sekaligus menjebloskan Wirahadi ke penjara. Dan satu orang lagi adalah Baskara, sekutu Bambang dalam perjalanan pemenang kasus itu delapan tahun silam.
Baskara adalah dokter sekaligus direktur Rumah Sakit Suka Sembuh pada saat Wirahadi bekerja di sana. Dan ia jugalah yang mengusulkan untuk memutar fakta dan menjadikan Wirahadi sebagai tumbal dari kasus tersebut.
“Aku akan membayarmu seberapapun kamu mau kalau kali ini kamu juga berhasil memenangkan kasus ini.” Baskara mendesis di telepon. Mengancam sekaligus memohon pada lawan bicaranya.
“Saya akan berusaha.” Suara di ujung telepon terdengar menghela nafas. “Tapi, Anda tetap harus mencari tahu kira-kira bukti apa yang dimiliki Pramana? Saya sudah berusaha mencari tahu, tapi tidak ada yang saya dapatkan.”
Baskara memijit pelipisnya, pening bukan main. “Siapa, sih, Pramana itu?!” Ia kesal sekali.
“Saya akan mengirimkan data diri Pramana pada Anda. Cobalah untuk berbicara dengannya walau hanya sekali.”
Baskara mendengus. “Baiklah.”