Selain saat mendapat ribuan ‘like’ dan puluhan kalimat pujian dari para pengikutnya di i********:, Nera tak pernah merasa benar-benar dihargai dan bahagia akan keberadaan dirinya dalam suatu lingkaran kehidupan. Namun, sejak berpacaran dengan Aidan, laki-laki itu seolah selalu mampu membuat Nera merasa berharga dan bahagia. Caranya memperlakukan Nera, caranya berbicara, hingga caranya menatap Nera, membuat gadis itu semakin dalam jatuh cinta padanya. Aidan benar-benar tahu cara menyanjung hati seorang wanita.
Dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu juga punya agenda kencan setiap akhir pekan. Nera jadi banyak mengunjungi tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Yah, meski tidak setiap kencan mereka menghabiskan waktu untuk benar-benar mengobrol tentang mereka. Karena waktu pelaksanaan kompetisi Neomicin semakin dekat, mereka justru lebih banyak mengobrol tentang hal itu. Meski kencan mereka tak lagi terasa seperti sedang berkencan, Nera tetap menikmati waktu-waktu yang ia habiskan bersama Aidan.
Seperti hari itu, saat ia harus pulang malam karena persiapan dimulainya babak penyisihan di hari Senin, dua hari lagi. Usai kerja lembur yang benar-benar menguras energi dan pikiran, mereka berdua menyempatkan untuk menikmati waktu berdua. Aidan mengajak Nera ke sebuah pelabuhan, berdiri di dermaga, menyaksikan langit malam yang terlihat begitu indah sekaligus gagah. Milyaran bintang bertebaran di sana, menjadi kawanan yang melengkapi keindahan rembulan yang sedang bersinar bulat. Pantulan cahaya rembulan malam itu membuat permukaan air laut terlihat begitu kemilau.
Nera menarik nafas dalam. Membiarkan udara pantai memenuhi paru-parunya. Menyejukkan sekali.
“Suka, Ra?” Aidan tersenyum. Matanya yang memantulkan bayangan pemandangan malam itu terlihat begitu indah.
Nera mengangguk. Menyelipkan rambutnya yang sejak tadi dipermainkan angin ke belakang telinganya. Aidan tak tinggal diam. Ia membantu kekasihnya, mengusap tepian rambut gadis itu, menyelipkannya di belakang telinga Nera yang kini memerah.
Deg!
Tangan Aidan yang dingin terkena angin malam menyentuh ujung telinga Nera, tak sengaja. Tapi cukup untuk membuat jantung gadis itu belingsatan. Mata mereka bertemu, tatapan Aidan terlihat begitu dalam. Nera menelan ludah, ia seolah tenggelam di sana. Aidan tak berkedip, ia sama sekali tak mengalihkan tatapan matanya. Laki-laki itu semakin mendekat sementara tangannya sudah membelai sisi kepala Nera lembut. Mengirimkan efek getaran listrik yang lembut pada kekasihnya itu. Jarak mereka semakin terpangkas, Nera memejamkan matanya rapat-rapat.
Cup!
Sebuah kecupan ringan mendarat di keningnya yang kosong. Kaki Nera sontak mundur selangkah. Wajahnya merah padam. Tenggorokannya tercekat. Nafasnya tertahan.
Aidan tersenyum, menurunkan tangannya yang mengambang di udara. Ia kembali bersandar ke pagar dermaga. Membiarkan angin dingin menyapu wajahnya. Saat ini, meski ia menghabiskan waktu bersama gadis di sebelahnya, pikirannya sedang melanglang buana. Memikirkan hari esok lusa yang akan segera tiba. Babak penyisihan Neomicin sekaligus sidang pertama kasus yang menyebabkan kematian sang ayah.
Sementara Aidan sibuk dengan pikirannya, Nera sibuk dengan hatinya. Berkali-kali ia mengipas wajahnya yang panas hingga memerah. Menenangkan jangungnya yang berdegup kencang seperti habis lari maraton. Menghalau pikiran-pikiran aneh yang tiba-tiba hinggap di kepalanya.
Sebenarnya, tadi itu nyaris saja. Suasana romantis di tepi pantai dengan pemandangan lanskap langit yang begitu indah dan permukaan air laut yang berkilau. Ditambah jarak mereka yang begitu dekat, sentuhan ringan yang tak sengaja terjadi, dan kecupan ringan dari Aidan itu bisa saja menjadi awal dari kejadian romantis berikutnya. Namun, refleks tubuh Nera justru mengacaukan semuanya. Dan sepertinya, gadis itu merasa sedikit menyesal.
Nera berdehem. Bukan untuk menarik perhatian Aidan, hanya untuk mengingatkan otak dan hatinya agar segera kembali berfungsi normal. Namun, nyatanya Aidan tetap menoleh.
“Kenapa, Ra?” Rambut Aidan bergoyang-goyang, angin yang bertiup cukup kencang sedang mempermainkannya.
“Ah, enggak. Nggak apa-apa, Kak.” Nera tersenyum. Ikut bersandar ke pagar dermaga.
“Sudah mau pulang?”
“Hm?” Nera melirik jam tangannya. Pukul delalan malam. “Bentar lagi aja, Kak. Belum puas menikmati pemandangan ini. Jarang-jarang, ‘kan?”
Aidan mengangguk. “Oke.”
Sebenarnya, jauh di lubuk hati Nera yang terdalam, ia bukan ingin menikmat pemandangan indah itu. Bukan berarti pemandangan malam itu tidak cukup layak untuk dikagumi. Namun, saat ini, seluruh indera di tubuhnya sedang fokus pada laki-laki yang sedang berdiri santai di sebelahnya. Jadi, ia menuruti kemauan tubuhnya itu. Berada di dekat Aidan sedikit lebih lama lagi.
Lima belas menit kemudian, tidak ada yang terjadi. Mereka hanya mengobrol seputar babak penyisihan yang akan segera berlangsung. Angin laut mulai terasa lebih dingin. Dan tidak ada satupun dari mereka yang membawa jaket untuk menghangatkan tubuh.
“Pulang sekarang, ya? Udaranya makin dingin.” Aidan memberi usul. Ia menyedekapkan tangan di depan d**a. Menghalau dingin yang semakin menusuk.
Rupanya, Nera juga melakukan hal yang sama. “Iya.” Jawabnya singkat.
Mereka bergegas menuju tempat motor Aidan diparkir. Keduanya memiliki keinginan yang sama yaitu ingin segera melesat pulang.
***
“Ayah belum pulang, Ma?” Nera sudah tiba di rumahnya dua puluh menit lalu. Ia sudah mandi dan berganti pakaian.
“Belum.” Mama menjawab singkat. Sedang sibuk mencuci piring di dapur.
Nera menuruni anak tangga terakhir. Berbelok, mengintip kamar Angel. Kakaknya itu sudah tidur. Ia segera berbalik, duduk di ruang tengah. Mulai menyalakan televisi.
“Belum mau tidur, Ra?” Mama mengeringkan tangannya di handuk tangan yang tergantung. Kemudian ikut bergabung bersama Nera.
“Belum ngantuk.”
Mama mengangguk-angguk. “Belakangan ini sering pulang malam, sibuk banget, ya, di kampus?”
“Iya. Bentar lagi kegiatan yang Nera ketuai udah mulai. Sepertinya bakal lebih sibuk, sih.”
Mama tersenyum lembut. Mengusap puncak kepala putri bungsunya. “Kamu harus tetap jaga kesehatan, ya? Mama nggak bisa selalu memantaumu. Kamu jelas jauh lebih mandiri daripada kakakmu, jadi sesibuk apapun jangan lupa untuk memperhatikan dirimu juga.”
Nera tersenyum. Mengangguk pelan.
Sepasang ibu dan anak itu menikmati acara televisi dalam diam. Tidak ada acara yang menarik perhatian. Tadi, Nera juga hanya iseng saja menyalakan televisi. Karena jika ia terus berdiam diri di kamarnya, pikirannya akan terus membayangkan kejadian di dermaga tadi. Dan itu membuatnya merasa sangat malu bahkan pada dirinya sendiri.
“Eh?” Tangan Nera yang tadi memencet remote televisi sembarangan seketika terhenti. Sebuah siaran berita terkini menyita perhatiannya.
“Kenapa, Ra?” Mama menegakkan tubuhnya.
“Jadwal sidang kasus penggelapan dana berkedok pembangunan ruang NICU yang terjadi delapan tahun silam akhirnya dirilis ke publik.” Ucap sang pembaca berita. “Sidang kasus tersebut direncanakan akan ditayangkan secara terbuka. Namun, hingga hari ini, jaksa penuntut umum yang mengajukan dakwaan belum bisa ditemui. Sementara pengacara terdakwa juga tak banyak memberikan keterangan.”
“Kayaknya ini berita kasus yang mau ditangani ayah, deh.” Alis Nera bertaut, ia mengingat-ingat obrolannya dengan sang ayah malam itu.
“Oh ya? Ayah memang bilang lagi sibuk mempersiapkan kasus yang akan segera sidang, sih.” Mama ikut memperhatikan layar televisi.
“Iya. Kayaknya ini, deh, kasusnya.”
Tepat setelah Nera berkata demikian, wajah Bambang terpampang jelas di layar televisi. Ayahnya itu sedang disorot kamera, menjawab banyak pertanyaan dari awak media. Namun, satu hal yang membuat dua wanita kesayangan Bambang itu sangsi adalah, raut wajah laki-laki itu terlihat gelisah dan sangat tidak percaya diri.
***
Hari Senin pukul enam pagi, usai mengantongi bekal sarapan dari mamanya, Nera sudah melesat pergi meninggalkan rumah. Ini hari yang sangat penting. Babak penyisihan kompetisi Neomicin akan dilaksanakan hari ini.
Pagi-pagi sekali, puluhan mahasiswa sudah berkumpul di depan ruang BEM. Aidan memimpin mereka untuk berkumpul. Memberikan sepatah dua patah kata agar semua panitia bersemangat untuk menuntaskan hari ini dengan baik. Selanjutnya, para mahasiswa itu bubar. Menuju tempat pembagian tugas mereka masing-masing. Hari itu, tugas Nera adalah memantau pelaksanaan babak penyisihan yang dilaksanakan di SMA 1. Bersama Izza dan tiga mahasiswa lainnya, Nera berangkat sesaat setelah kata sambutan dari Aidan berakhir.
“Ra…” Aidan memanggil. Laki-laki itu menghampiri Nera dengan setengah berlari.
Nera yang sudah berjalan cepat bersama Izza mau tak mau harus menoleh sebentar. Memberi isyarat pada Izza untuk berjalan lebih dulu.
“Kenapa, Kak?”
“Semangat,ya, untuk hari ini. Maaf nggak bisa ikut mantau ke SMA 1.” Aidan hampir saja menggenggam tangan Nera, jika gadis itu tak buru-buru menariknya.
“Malu dilihat orang, Kak.”Bisik Nera. Kulit wajahnya yang putih seketika merona merah.
Aidan terkekeh pelan. Sepertinya ia juga mulai ketagihan kontak fisik dengan gadis itu. Ini… sangat berbahaya.
“Kalau ada apa-apa, telepon, ya?” Aidan membuat jsyarat dengan tangannya.
Nera mengangguk. Segera berpamitan.
Setelah tubuh gadis itu hilang di balik tembok gedung kampus yang tinggi, Aidan balik badan. Senyum di wajahnya menghilang seketika. Ia berlari menuju bagian gerbang belakang kampus.
Berlari setengah jalan, ponselnya berdering.
“Halo, Om?”
“Di mana, Dan? Om sudah di gerbang belakang kampusmu.” Rupanya, Reza yang menelpon.
“Menuju ke sana, Om.” Aidan mengurangi kecepatan, ia berjalan cepat.
“Oke. Om tunggu.”
Beberapa detik setelah sambungan telepon mereka terputus, Aidan sudah muncul tak jauh dari gerbang belakang kampus. Reza segera membuka pintu mobil, melambaikan tangan, menyuruh laki-laki itu cepat menghampirinya.
Aidan menurut, berlari kencang menghampiri Reza. Membuat tas di punggungnya terlihat melompat-lompat.
“Ayo, masuk!”
Aidan memutari mobil. Masuk lewat pintu mobil di sebelah kiri.
“Pramana sudah menunggu di sana.” Reza sudah siap mengemudi, mesin mobil terdengar menderu-deru.
Dalam sekejap, mobil berwarna silver itu melesat di jalanan.