“Pertama, tidak ada satupun bukti yang menunjukkan Wirahadi melakukan pencucian uang ratusan juta itu.” Pramana memulai pemaparannya. Tatapannya begitu tajam dan percaya diri.
Semua orang yang hadir di ruangan itu terlihat antusias mendengarkan, termasuk Reza dan Aidan yang duduk di kursi hadirin. Sidang ini bukan hanya untuk mengungkapkan kebenaran. Sidang ini juga seperti medan perang bagi Pramana dan Bambang. Keduanya membawa pendapat dan bukti masing-masing. Semua itu akan menjadi amunisi dan taktik perang yang cukup mematikan sekaligus menentukan hasil akhir nanti. Bahkan, jika amunisi perang itu didapatkan dengan cara mencuri atau merampas dari orang lain, tidak ada yang peduli. Karena yang terpenting, senjata-senjata itu mampu untuk menyerang dan menjatuhkan lawan. Seperti yang telah dilakukan Bambang delapan tahun silam.
Ya, delapan tahun silam, Wirahadi diseret paksa untuk terjun ke medan perang. Tanpa amunisi, tanpa senjata apapun, dan tanpa pengetahuan tentang taktik perang sedikitpun. Ia tumbang sebelum sempat membalas serangan. Dan ia menyerah begitu mengetahui taktik licik lawannya.
“Kedua, tidak ditemukan sepeserpun uang yang sengaja disimpan oleh Wirahadi yang bisa dijadikan bukti penggelapan dana pembangunan ruang NICU tersebut.” Pramana melanjutkan penjelasannya. “Ketiga, total harta kekayaan Wirahadi saat sidang berlangsung tidak jauh berbeda dengan total harta kekayaan yang ia miliki setahun sebelumnya. Dan terakhir…” Pramana sengaja membuat jeda. Ia melihat reaksi lawannya. Sudut bibirnya terangkat. “Satu-satunya bukti yang bisa memberatkan Wirahadi saat itu hanyalah tanda tangannya pada surat permintaan dana pembangunan yang diajukan ke pemerintah provinsi.”
Di kursinya, Bambang mendengus keras. Ia kesal melihat gelagat Pramana yang menurutnya terlalu percaya diri, ia juga kesal karena yang menantangnya hanyalah seorang jaksa muda yang total kemenangannya dalam menangani sebuah kasus jauh di bawah dirinya. Ia pun sebal karena semua yang dikatakan Pramana seolah menusuk-nusuk dadanya.
“Demikian dari kami, Yang Mulia.” Pramana mengakhiri kesempatannya untuk berbicara.
“Baik. Terima kasih, Saudara Penuntut Umum. Selanjutnya, apakah ada sanggahan dari kuasa hukum terdakwa?” Hakim ketua itu menoleh ke tempat Bambang.
Bambang berdehem ringan. Merapikan jasnya. “Tentu saja, Yang Mulia.” Ujarnya mantap. Senyum di bibirnya terlihat elegan.
Inilah kelebihan Bambang dibanding pengacara lainnya. Ia selalu mampu menguasai diri saat sidang di pengadilan. Entah ia berada di pihak yang benar atau salah, Bambang selalu memancarkan aura percaya diri dan mendominasi yang sangat kuat. Terkadang, membuat lawan merinding sebelum sempat mengutarakan pendapat.
“Semua itu memang tidak dibuktikan saat sidang terdahulu karena bukti yang kami serahkan sudah lebih dari cukup. Dan, satu hal yang terpenting…” Bambang menatap Pramana tajam. “Saat itu, terdakwa sama sekali tidak bisa membantah bukti yang kami berikan.”
Gigi geligi Aidan bergemeletuk mendengar penuturan Bambang. Otot-ototnya menegang. Tangannya mengepal kuat. Wajahnya merah padam. Ia benci sekali laki-laki berkacamata itu. Merasa paling benar padahal yang sedang ia bela adalah penjahat sebenarnya.
“Tenang, Dan.” Reza menggenggam tangan Aidan. “Jangan sampai kamu mengacaukan persidangan. Apalagi kalau terliput media dan ketahuan kalau kamu putra tunggal ayahmu. Media akan heboh.” Reza berbisik. Suaranya dibuat selembut mungkin.
Aidan menarik nafas dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh.
“Iya, Om.” Suaranya bergetar.
“Kita datang ke sini untuk mengungkapkan kebenaran dengan cara yang benar.”
Aidan mengangguk. Seberapapun ia membenci Bambang, ia tetap harus mampu mengendalikan diri. Tidak ada sesuatu yang berakhir baik jika menggunakan kekerasan.
“Dan, kami sudah melakukan penyelidikan pada data belanja barang yang diterima pemerintah provinsi dengan barang aktual yang ada di rumah sakit. Hasilnya, jelas tidak sesuai. Ada selisih harga barang yang sangat besar. Bahkan, harga satu unit inkubator memiliki selisih puluhan juta rupiah antara data yang diterima pemerintah provinsi dan harga barang yang sebenarnya.” Bambang menunjukkan data-data yang sudah ia kumpulkan.
Bambang masih terus berbicara, mantap dan penuh percaya diri. Namun Pramana bergeming, tak terganggu sedikitpun dengan kekuatan yang ditunjukkan lawannya itu.
Persidangan masih berlangsung beberapa menit kemudian. Awak media terlihat tenang selama meliput persidangan itu. Dan setelah hampir dua jam berlangsun, hakim memutuskan untuk menutup sidang hari itu dan dilanjutkan pekan depan.
“Seluruh hadirin dipersilakan meninggalkan ruang sidang.” Seorang panitera terlihat berbicara dengan lantang.
Serentak, orang-orang segera meninggalkan ruangan tanpa membuat keributan. Para awak media juga terlihat berbondong-bondong keluar ruangan. Menunggu para bintang utama sidang hari itu. Bambang dan Pramana.
“Kita langsung pulang saja.” Reza menepuk bahu Aidan.
“Tapi, ada yang mau saya bicarakan sama Om Pram, Om.” Aidan enggan.
Sejak tadi, putra tunggal Wirahadi itu sudah berusaha keras menahan diri. Ia gemas pada alur persidangan yang terkesan berbelit-belit. Pramana juga hanya berputar-putar pada bukti yang itu-itu saja. Bukti yang sudah susah payah ia dan Reza kumpulkan, justru sama sekali belum ditunjukkan dalam sidang hari itu.
“Nanti saja, Dan. Setelah keluar dari ruangan ini, Pramana akan dihadang oleh belasan bahkan puluhan wartawan. Nggak akan ada celah untuk kita berbicara dengannya. Sudahlah, kita bicara nanti saja.”
Aidan masih terlihat enggan. Ia menatap Pramana yang terus melangkah keluar ruangan. Pramana mencapai pintu keluar hampir bersamaan dengan Bambang. Dan, benar saja. Di sana, belasan wartawan sudah menunggu. Dengan kamera dan alat perekam yang sudah siap melakukan tugas.
Dua orang yang sedang berperang itu diserbu oleh berbagai macam pertanyaan dari wartawan.
***
“Dari mana, Kak? Kok seharian nggak kelihatan?” Nera mendekati Aidan yang baru saja duduk lesehan di ruang BEM.
Di luar, matahari sudah sempurna tenggelam. Sebagian besar mahasiswa fakultas kedokteran juga sudah pulang. Hanya tersisa beberapa panitia Neomicin yang masih mengerjakan beberapa tugas. Termasuk Nera dan Izza yang sedang memastikan bahwa semua wilayah telah berhasil menyelesaikan babak penyisihan tanpa kendala apapun. Memastikan bahwa semua jawaban telah tersimpan dengan baik di aplikasi.
“Ada urusan.” Jawab Aidan dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan.
Nera tertegun. Sedikit kecewa dengan reaksi laki-laki itu yang biasanya ramah. Namun, kekecewaannya barusan segera teralihkan saat Izza memberi laporan.
“Pangkal pinang juga sudah oke, Ra.” Ucap gadis berkerudung itu. Melaporkan wilayah terakhir yang sedang mereka periksa.
“Syukurlah. Oke, makasih, Za.” Nera tersenyum. “Kamu boleh pulang, Za. Sudah beres semua, kok. Habis ini anak-anak yang lain juga bakal aku suruh pulang.”
“Za, kosmu di mana?” Aidan yang bertanya.
“Hm? Saya?” Izza terkejut.
“Iya. Kosmu di mana?” Aidan mengulangi pertanyaannya.
“Di dekat sini, sih, Kak. Dekat, jalan kaki.” Izza bingung mendeskripsikan lokasi tempat kosnya. Karena memang cukup dekat dengan kampus.
“Oh, kirain…”
“Kenapa, Kak?”
Aidan melirik Nera yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua.
“Kalau jauh dan searah dengan Nera, aku mau minta tolong antarkan dia pulang.”
Nera terkesiap. “Kak!” Tanpa sadar, suara gadis itu berubah ketus dan dingin. Ia sedikit kecewa. “Saya bisa pulang sendiri, kok. Nggak perlu diantar-pulang seperti anak kecil.” Ekspresi wajah Nera mengeras.
Izza menelan ludah. Ia merasa berada di tengah-tengah sepasang kekasih yang akan segera bertengkar. Ah, iya. Izza mengetahui hubungan mereka. Karena sulit sekali menutupi hubungan mereka dari orang seperti Izza. Yang cukup dekat dengan mereka dan sangat peka.
Aidan bergeming. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Sungguh, ini sisi yang baru pertama kali dilihat Nera. Aidan bahkan terlihat tak peduli dengan kalimat dan ekspresi wajah kekasihnya yang berubah dingin.
“Ka-kalau gitu, aku pulang dulu, ya? Hehehe.” Izza segera merapikan barang-barangnya, kemudian melesat keluar ruangan.
Selepas Izza meninggalkan ruangan, Aidan menghembuskan nafas panjang. “Maaf, Ra. Hari ini pulang sendiri dulu, ya?” Ia bahkan berbicara tanpa menatap Nera.
Nera yang sudah ngilu dadanya, rasanya semakin ngilu melihat Aidan seperti itu. Namun Nera tetap menunggu, menunggu laki-laki itu menatap dirinya. Sayangnya, hingga beberapa detik berlalu, Aidan tetap bertahan dengan ekspresi wajah dan tatapan yang sama.
“Iya, Kak.” Jawab Nera kemudian. Gadis itu menggigit bibir, meredam ngilu di dadanya. “Saya pulang dulu.” Ia bahkan sengaja mengganti cara bicaranya. Namun Aidan tetap tak acuh, membiarkan gadis itu pergi tanpa sepatah katapun.
Nera beranjak keluar ruangan dengan perasaan campur aduk. Ia hampir saja membanting pintu jika tidak ingat bahwa pintu ruangan itu adalah milik publik. Nera menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Berkali-kali, ia mencoba menenangkan diri.
“Menyebalkan!” Nera mendesis. Ia sudah mulai melangkahkan kaki. Meninggalkan ruang BEM yang lampunya masih menyala terang. “Ternyata, interaksi sosial tetap saja merepotkan.” Ia terus bergumam sepanjang jalan.
Sementara itu di ruang BEM, Aidan juga sedang sibuk mengontrol diri. Sejak keluar dari ruang sidang siang tadi, ia tak bisa menghalau rasa benci yang meluap-luap pada Bambang. Ia sudah berusaha meredamnya dengan berkendara mengelilingi kota. Mendatangi tempat-tempat melepas penat seperti dermaga, taman yang sejuk, perpustakaan pusat budaya, dan lain-lain. Rasa benci itu tetap saja membuncah. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke kampus. Dan Aidan sama sekali tak menyangka, rasa bencinya pada Bambang justru semakin tak terkendali saat melihat Nera, putri bungsu pengacara yang menjebloskan ayahnya ke penjara.
Tring…
Ponsel Aidan berdering singkat.
“Ayo ke rumah, Dan. Makan malam di rumah. Pramana sebentar lagi juga sampai.” Begitu isi pesan dari Reza yang masuk ke ponselnya.
Aidan segera beranjak. Berjalan gontai keluar ruangan. Menunaikan kegiatannya yang berikutnya. Ia bahkan lupa berpamitan pada mahasiswa yang masih ada di ruang BEM.
Hari itu, ia merasa sangat lelah. Lelah secara fisik dan batin. Hingga tanpa sadar, setetes air mata mengaliri pipinya. Kemudian, diikuti oleh jutaan tetes berikutnya.
Petang itu, saat gelap perlahan-lahan merambati langit, Aidan terisak tanpa suara di depan pintu ruang BEM.