“Baru datang juga, Dan?” Pramana menyapa Aidan yang hampir saja mengetuk pintu apartemen Reza.
“Eh, iya, Om.” Aidan menoleh. Urung mengetuk pintu.
Pramana tersenyum. “Ketuk saja, Dan.”
“Iya, Om.”
Tok… tok… tok…
Beberapa detik menunggu, Reza segera membukakan pintu. “Wah, kok bisa kalian datang barengan?” Wajahnya terlihat sumringah.
“Nggak sengaja ketemu di depan pintu barusan.” Pramana yang menjawab.
Reza mengangguk, kemudian segera membukakan pintu lebih lebar untuk tamu-tamunya. Mempersilakan masuk. “Belum makan malam, ‘kan?”
“Kamu ‘kan mengundang kami makan malam, lalu untuk apa aku tetap makan di luar?” Pramana pura-pura sewot.
“Hahaha, iya iya. Duduklah dulu. Istriku sedang menyelesaikan menu terakhir.” Reza berlalu ke dapur. Meninggalkan dua tamunya.
“Ya, ya. Buat yang banyak, ya? Aku lapar sekali.” Pramana berteriak, kemudian terkekeh pelan di ujung kalimatnya.
Di sampingnya, Aidan bergeming. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk bertanya pada Pramana pertanyaan yang sejak tadi mendengung di kepalanya. Dan Pramana menyadari itu. Usai tawanya reda, laki-laki itu menoleh. Menatap ‘klien’-nya.
“Ada yang mau kau bicarakan, Dan?” Tanyanya terus terang.
Aidan terkesiap, namun ia segera menguasai diri. “Iya, Om.”
“Bicaralah!” Reza meneguk air mineral yang ia ambil dari dalam tasnya.
“Tadi, di persidangan, kenapa Om hanya berputar-putar di bukti yang itu-itu saja? Kenapa bukti yang saya serahkan sama sekali tidak ditunjukkan? Bukannya kalau bukti itu dikeluarkan, persidangan akan cepat selesai dan kita akan langsung menang. Saya…”
“Sssttt!” Pramana memotong kalimat Aidan. Membuat laki-laki itu tiba-tiba menghentikan kalimatnya.
Hening sesaat. Hanya deru suara nafas Aidan yang terdengar. Ya, laki-laki itu ngos-ngosan. Emosinya meluap-luap. Kesal, marah, kecewa bercampur jadi satu. Mengalir bersama kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirnya.
“Tarik nafas, hembuskan perlahan.” Pramana memberi isyarat.
“Jawab saya, Om!” Aidan geram. Menurutnya, bukan saatnya ia melakukan hal itu.
Pramana terdiam. Menatap Aidan dengan iba. “Aku tahu kau masih muda, Dan. Tapi, tetap saja, tidak ada sesuatu yang berakhir baik jika kau emosional begini. Aku akan menjelaskannya, hanya jika kau sudah bisa mengendalikan diri.”
Akhirnya, Aidan menurut. Entah untuk yang keberapa kali, Aidan lagi-lagi harus sibuk menenangkan diri.
Melihat laki-laki di sampingnya mulai tenang, Pramana angkat bicara. “Aku sengaja tidak membuka semua kartu yang kita miliki. Aku ingin tahu pergerakan Bambang setelah sidang ini. Kau tahu, Dan? Orang tua itu pandai sekali. Ah, bukan. Licik. Ya, lebih tepatnya licik. Bambang itu menggunakan otaknya yang cerdas untuk memenangkan setiap kasus yang ia tangani. Terlepas dia berada di kubu yang benar atau salah.”
Aidan diam, mencerna semua kalimat Pramana dengan baik.
“Lalu, hakim yang mengetuai majelis hakim saat sidang tadi adalah sekutu Bambang. Dia tidak akan membiarkan sekutunya kalah. Kalau aku membuka semua kartu yang kita miliki, Bambang akan punya waktu untuk membantah bukti-bukti bahkan dia akan punya waktu untuk membuat bukti palsu atau membawa saksi palsu. Karena itu juga aku mengulur waktu.”
Aidan belum merespons.
“Percayalah padaku, Dan.”
Aidan mengangguk. “Terima kasih, Om. Maaf tadi saya emosional. Mungkin karena saya memendam semua ini terlalu lama.”
“Tidak apa-apa.” Pramana menepuk pundak Aidan.
“Kalian ngobrolin apa?” Reza kembali ke ruang tamu.
“Anak muda belum tahu liciknya lawan kita, jadi dia belum mengertik taktik.” Pramana yang menjelaskan, setengah mencibir.
Aidan tersenyum.
“Ayo, makan malam dulu. Istriku sudah masak buat kalian.” Reza sedang memainkan peran sebagai tuan rumah yang baik.
“Oke.” Pramana beranjak. Ia menggulung lengan kemejanya. “Wastafel di mana? Aku mau cuci tangan.” Ujarnya sembari menunjukkan kedua tangannya.
Aidan juga ikut beranjak. Mengekor di belakang Pramana. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti karena ponselnya berdering nyaring.
“Dari siapa, Dan?” Reza bertanya karena Aidan terlihat hanya menatap layar ponselnya.
“Dari… ibu.”
“Ya sudah, angkat dulu.”
Aidan mengangguk. Duduk kembali di sofa ruang tamu.
“Halo, Bu?”
“Kamu di mana, Nak?” Suara wanita yang melahirkan Aidan itu terdengar bergetar. Sepertinya Aidan tahu apa yang membuat ibunya menelepon.
“Aidan di rumah Om Reza.”
“Kamu sudah lihat berita di televisi? Ya ampun, Nak, kasus ayahmu dibuka lagi. Disidangkan lagi.” Suara ibunya tertahan.
Tebakan Aidan tepat. Ia memang tak menceritakan rencananya untuk menguak kebenaran kasus ayahnya pada ibunya. Entahlah, ia tak begitu mengerti landasan akan keputusannya itu. Tapi, jika kebenaran nanti benar-benar terkuak, Aidan ingin hal itu menjadi hadiah terindah untuk ibunya. Meski tentu saja itu tidak bisa membangunkan jasad ayahnya yang mungkin sekarang sudah tinggal tulang belulang.
“Sudah, Bu.”
“Ya ampun, Nak.” Suara sang ibu terdengar terharu. “Siapa pengacara itu? Ibu sama sekali nggak kenal, tapi dia mau membela ayahmu. Ibu… ibu senang sekali akhirnya ada orang yang berani bicara lantang untuk membela ayahmu.”
Wanita itu terisak. Isakanya terdengar hingga ke telinga Aidan. Membuat putra tunggalnya itu ikut menitikkan air mata. Terharu, bahagia.
“Semoga pengacara itu benar-benar bisa mengungkapkan kebenaran yang selama ini ditutupi, ya, Bu.” Ucap Aidan tulus.
“Iya, Nak. Iya. Semoga.”
***
Nera baru saja tiba di rumah ketika dari halaman depan, ia mendengar suara barang dibanting. Sontak, gadis itu berlari masuk ke rumah. Dan benar saja, pemandangan di dalam rumah membuatnya melotot. Di ruang tengah, barang-barang berserakan di lantai, sebagian pecah, sebagian terguling, sebagian lagi tumpah ruah. Di antara barang-barang itu, ada Angel yang menggigil, menangis di pelukan mamanya. Wajahnya terlihat ketakutan, sorot matanya nanar menatap ke depan. Di depan mereka, Bambang sedang berdiri dengan d**a kembang kempis. Deru nafasnya terdengar memburu. Wajahnya terlihat gelap.
Bambang mengangkat tangan kanannya. Siap melemparkan sebuah figura berisi foto Angel yang sedang tertawa riang.
Nera segera memahami situasi. Ia meloncat ke depan, menahan gerakan tangan Bambang dengan sekuat tenaga.
“Berhenti, Ayah!” Pekiknya. Gadis itu melotot tajam. “Ada apa ini?!”
“Menjauh, Nera!” Mama meraung. Menyuruh anaknya menyingkir.
Nera melirik mamanya dengan ujung mata. Rupanya, wanita itu sudah dihajar habis-habisan. Rambutnya acak-acakan, pipinya merah, sudut bibirnya meneteskan darah segar. Saat baru tiba tadek, Nera tak sempat melihat kondisi wajah mamanya yang ternyata sangat memprihatikan.
“Kau juga!” Bambang mendesis. Kedua matanya memancarkan kemarahan yang luar biasa. “Kenapa kamu nggak mau nurut, sih?! Kalau saja kamu mau jadi pengacara seperti ayah!”
“Ayah kenapa? Apa yang bikin ayah marah?” Nera tahu, kemarahan Bambang bukan disebabkan dirinya yang mengambil jalan berbeda dengan sang ayah.
Bambang mendengus. Namun, ia menurunkan tangan kanannya. Melemparkan figura itu sembarangan. Untung saja tidak pecah.
Hening sesaat. Jantung Nera berdegup kencang. Meski tadi ia terlihat sama sekali tak gentar, sesungguhnya ia juga merasa takut. Menghadang ayahnya yang sedang marah dan siap menghancurkan apapun di depan mata, tentu saja itu sama dengan melemparkan diri ke rawa berisi buaya. Bunuh diri.
Sesaat, Nera mengira bahwa situasi tegang tadi sudah mereda. Sayangnya, tindakan nekatnya itu sebenarnya menjadi pemantik untuk sumbu api amarah Bambang lainnya.
“Dasar pembangkang!” Suara Bambang menggelegar. Dan tiba-tiba…
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Nera. Saking kerasnya, hingga membuat gadis itu terhuyung.
Panas. Perih. Itulah yang ia rasakan di pipi kirinya saat ini. Nera menoleh, menatap ayahnya tak percaya. Tubuhnya bergetar. Air mata segera menggenang di pelupuk matanya. Ia pikir, usai menampar pipi putri kandungnya sendiri, Bambang akan menyesal dan minta maaf. Namun, sorot mata laki-laki itu sama sekali tidak berubah. Gelap dan dipenuhi amarah. Maka, tak ada pilihan lain.
Nera meloncat mundur, berdiri menghalangi tubuh mama dan kakaknya. “Naik ke atas, Ma! Masuk ke kamar Nera!” Teriaknya.
“A-apa?!” Mama terlihat kebingungan.
“Masuk ke kamar Nera, sekarang!” Suara Nera memenuhi setiap sudut rumah.
“Hei, mau ke mana kalian?!” Bambang berteriak marah.
Melihat ayahnya berteriak demikian, itu artinya mama dan kakaknya sudah beranjak. Tak ada waktu untuk Nera menoleh ke belakang.
Bambang bergerak menuju tangga, Nera menghadangnya.
“Minggir, Ra!” Desisnya.
“Enggak!” Nera ngotot. Sorot matanya tajam. Ia menghadang Bambang dengan tubuhnya.
“Minggir, Nera!” Bambang berteriak. Membuat langkah Angel dan mamanya terhenti.
“Terus, Ma!” Nera balas berteriak.
“Dasar pembangkang!” Hampir saja sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Nera, untung saja gadis itu sempat menahan gerakan tangan Bambang. “Gara-gara kalian! Gara-gara kakakmu yang nggak normal itu, gara-gara kamu yang selalu sok punya kuasa atas hidupmu, gara-gara mamamu yang sama sekali nggak bisa diandalkan! Gara-gara kalian ayah harus berusaha sendirian!” Bambang berang. Nafasnya ngos-ngosan.
“Ayah bicara apa, sih?!” Nera menghempaskan tangan Bambang. Nafasnya juga tak kalah memburu. “Ayah kenapa? Ada masalah apa? Apa susahnya, sih, dibicarakan baik-baik?!”
“Mau bicara seperti apapun kalian nggak akan mengerti!”
Brak!
Terdengar suara pintu kamar tertutup dari lantai atas. Pertanda bahwa Angel dan mamanya telah aman di dalam kamar Nera. Maka kini gilirannya untuk menyelamatkan diri sebelum Bambang semakin membabi buta. Ia juga sudah kewalahan menahan amarah ayahnya yang sepertinya semakin meluap-luap hanya dengan melihat kehadirannya.
Dalam sekali gerakan, Nera sudah meloncat ke anak tangga kedua, kemudian berlari dengan langkah lebar menuju kamarnya.
“Hei, mau ke mana kamu?!” Bambang berteriak geram, menyusul di belakang. Namun, tubuhnya yang sudah tua cukup menyulitkan gerakannya.
Brak!
Nera berhasil masuk kamar. Mengunci pintunya cepat. Di sana, Angel dan mamanya masih saling berpelukan. Dua orang itu bertangisan, tubuh Angel pun masih menggigil.
Nera segera menghampiri, memeluk dua wanita kesayangannya.
Brak! Brak! Brak!
“Buka pintunya!” Teriakan Bambang menggelegar. Rupanya, ia berhasil menyusul.
“Sssttt. Kita aman di sini. Tutup telinga, Kak. Jangan dengarkan.” Nera berbisik pada kakaknya.
“Buka pintunya perempuan-perempuan nggak berguna!” Bambang semakin kesetanan.
Nera menggigit bibir. Ia melirik jam weker di kamarnya. Sebentar lagi ayahnya pasti kelelahan dan berhenti menggedor pintu. Mereka hanya perlu diam dan bertahan sedikit lebih lama. Nera berharap, semoga pintu kamarnya juga mau bertahan jauh lebih lama lagi.