33

1460 Kata
Pukul delapan malam. Angel sudah tertidur di kamar Nera. Mama mengusap kepala putri sulungnya lembut. “Kamu nggak tidur juga, Ra?” Tanyanya. “Enggak, Ma. Kita harus pergi dari sini. Mengungsi sementara. Nera takut besok pagi bangun tidur, bukannya minta maaf, ayah malah begitu lagi.” Wajah gadis itu terlihat gelisah. Ia tak memedulikan pipinya yang masih terasa nyeri. “Mau ngungsi ke mana, Nak?” “Ke hotel.” “Apa?” Mama mengernyit. Kerutan di dahinya semakin terlihat jelas. “Iya. Tenang aja, Ma. Nera ada uang, kok. Uang bulanan yang ayah kasih sering ada sisa. Jadi Nera tabung di rekening Nera sendiri.” Nera tersenyum, yang justru membuat mata kirinya menyipit karena tertekan oleh pipi yang memar. Mama menghela nafas. “Kenapa nggak tetap di sini saja, Ra?” Wanita itu beranjak perlahan agar tak menimbulkan suara, duduk di tepi tempat tidur. “Besok, ayahmu pasti akan menyesali perbuatannya.” Nera menggeleng tegas. “Pertama, Mama harus diobati. Lihat wajah Mama, lebam dan berdarah. Lalu, Nera juga harus diobati. Kedua, belum tentu besok ayah sudah membaik. Kalau ayah masih marah dan kesal lalu memukuli Mama dan Kak Angel sementara Nera nggak di rumah, gimana? Nggak ada yang tahu apa penyebab ayah begitu, Ma.” Mama tak menjawab. Wanita hanya tertunduk lesu. Kejadian seperti ini bukan hanya terjadi kali ini saja. Setiap kali Bambang marah, entah karena persoalan di luar rumah atau di dalam rumah, ia selalu melampiaskannya pada istri dan anak-anaknya. Meski frekuensinya sangat jarang terjadi, Bambang tidak pernah merasa perlu meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Melihat mamanya hanya terdiam, Nera segera mengambil inisiatif. “Nera turun dulu, ya, Ma. Cek situasi. Kalo aman, Nera langsung pesan kamar hotel dan taksi.” Mama mengangguk lemah. Nera segera beranjak dari kursinya. Keluar kamar lalu menuruni anak tangga dengan langkah pelan. Sebenarnya ia tak meminta persetujuan mamanya. Karena menurutnya, hanya itu satu-satunya jalan terbaik menyelamatkan diri saat ini. Nera sangat berhati-hati agar tak menimbulkan suara, khawatir ayahnya masih terjaga. Tadi, Bambang bertahan sekitar lima menit menggedor-gedor pintu kamarnya. Berteriak-teriak, menendang, dan segala usaha lainnya ia lakukan untuk memaksa pintu itu terbuka. Beruntung, pintu itu sepertinya terbuat dari bahan yang baik dan pemasangannya juga tepat. Karena pintu kayu itu berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Menghalangi segala gangguan dari luar. Nera sudah sampai di lantai satu rumahnya. Lampu di ruang tengah masih menyala. Ia terus berjalan pelan, mengintip ruang kerja ayahnya. Gelap. Ruang tamu juga sudah gelap. Maka, satu-satunya kemungkinan tempat Bambang berada saat ini adalah kamarnya. Nera masih berjalan pelan, menghampiri kamar orang tuanya. Kamar itu tidaj memiliki ventilasi di atas pintu. Sehingga sulit mengetahui apakah lampu kamar itu masih menyala atau tidak jika sekelilingnya masih gelap. Dalam satu gerakan cepat, Nera mematikan lampu tengah. Dan ternyata, lampu kamar orang tuanya itu sudah menyala redup. Pertanda penghuni kamarnya mungkin saja sudah tidur. Demi memastikan kesimpulannya, Nera membuka pintu. Tidak terkunci! Pintu kayu itu terbuka pelan, mempertunjukkan isi di dalamnya. Di sana, di ranjang besar yang ada di tengah ruangan. Bambang sudah terlelap dengan masih mengenakan pakaian kerjanya. Nera menghela nafas lega. Buru-buru menutup pintu kemudian memesan taksi online. Untunglah saat ini sudah banyak aplikasi ponsel yang menyediakan jasa pemesanan taksi atau ojek online. Benar-benar inovasi yang sesuai kebutuhan. *** Nera berhasil membawa keluar mama dan kakaknya. Taksi yang ia pesan secara online datang dalam waktu yang cukup cepat sejak ia memesan. Angel terpaksa dibangunkan, untungnya ia juga mudah diajak bekerja sama. Taksi yang mereka tumpangi memasuki halaman sebuah rumah sakit. Berhenti tepat di depan pintu instalasi gawat darurat. “Harus banget, ya, ke rumah sakit, Ra?” Mama terlihat enggan. “Iya, harus.” Keputusan Nera sudah tak bisa ditawar. “Ayo turun, Ma!” Usai membayar ongkos taksi, mereka bertiga turun. Angel yang sudah lama tidak keluar rumah terlihat antusias. Seolah kejadian mengerikan yang mereka alami tadi hanyalah mimpi buruk belaka. Bahkan, sorot ketakutan yang tadi masih membayang di matanya pun sirna. Digantikan oleh binar-binar kebahagiaan. Dan Mama menyadari itu. “Angel seneng?” Tanyanya dengan senyum terkembang. “Iya. Iya.” Gadis itu memekik girang. Sorot matanya semakin bercahaya. Nera tersenyum. Mudah sekali mengubah suasana hati kakaknya itu. Bertiga, mereka melewati pintu IGD. Bertemu dengan seorang satpam. Nera menyampaikan tujuan mereka datang. Satpam itu segera mengarahkan mereka ke ruang triage. Sepuluh menit menunggu, seorang dokter mendatangi Nera dan mamanya yang terlihat terluka di bagian wajah. Bertanya berbagai macam hal, memeriksa setiap inchi wajah mereka yang terluka, mencatat hasil pemeriksaan. “Nggak perlu observasi semalaman di IGD, ya, Dok?” Nera bertanya usai dokter menyelesaikan rangkaian pemeriksaan. “Nggak perlu. Itu luka ringan. Kita akan lakukan perawatan, observasi tiga puluh menit, kemudian sudah boleh pulang.” Nera mengangguk. Ia segera memesan kamar hotel untuk mereka menginap. Tak lama berselang, dua orang perawat perempuan menghampiri mereka dengan membawa berbagai macam peralatan untuk perawatan luka. Karena mama terlihat takut, Nera mengajukan diri lebih dulu. Menjelang pukul sembilan malam, rombongan ibu dan anak itu keluar dari IGD. Luka-luka di wajah Nera dan mamanya sudah mendapatkan perawatan. Mereka juga harus meminum obat-obatan yang diresepkan dokter. “Mau beli makan malam dulu atau langsung ke hotel?” Nera menawarkan. “Langsung ke hotel aja. Kakakmu sudah ngantuk banget.” Nera mengangguk. Terlihat Angel sudah berulang kali menguap. Meski matanya tetap berbinar, tapi tingkahnya sudah lebih banyak diam. Ia kembali memesan taksi online, kali ini tujuannya ke hotel terdekat. Dan selama di perjalanan, Nera berulang kali mencoba menghubungi Aidan. Rasanya ia membutuhkan seseorang untuk diajak bicara saat ini. Seseorang yang bisa diajak untuk berbagi beban, seseorang yang mungkin saja bisa dijadikan sandaran. Dan saat ini, Nera tak terpikirkan siapapun kecuali Aidan. *** “Ma, Nera pergi dulu, ya? Nanti Nera bawakan makan malam.” Gadis itu berpamitan. Beberapa menit lalu mereka akhirnya tiba di kamar hotel. Bukan hotel mewah, tapi tentu saja layak untuk dijadikan tempat bermalam. “Mau ke mana?” “Mau ketemu temen.” “Ya sudah, hati-hati.” Nera mengangguk kemudian segera berlalu. Gadis berambut hitam legam itu menyusuri lorong hotel dengan langkah cepat. Kecepatannya semakin bertambah begitu ia keluar dari lift. Nera berlari keluar lobi hotel. “Ra!” Aidan melambaikan tangan. Laki-laki itu sudah menunggu sejak beberapa menit lalu. Bagai menemukan oase di tengah padang pasir, Nera segera berlari menghampiri kekasihnya. Untung saja, ia tidak refleks memeluk Aidan. Pasti akan malu sekali rasanya. Karena tempat Aidan menunggu, masih dilalui banyak orang. “Ada apa?” Tanya Aidan begitu Nera sampai di hadapannya. Ia menyodorkan helm yang biasa dipinjam Nera. “Kak Aidan sudah makan?” Nera meraih helm bogo berwarna toska itu. “Sudah. Kenapa?” “Hm… mau temani aku makan malam nggak?” “Boleh. Ayo aja.” Nera bergegas naik ke boncengan motor. Dalam sekejap, motor bebek itu sudah melaju di jalanan. Menuju sebuah rumah makan Padang tak jauh dari hotel tempat Nera dan keluarganya menginap. “Syukurlah, nggak terlalu ramai.” Komentar Nera begitu mereka tiba di rumah makan. Gadis itu turun dari motor, melepas helm bogonya kemudian setengah berlari menuju kasir. Memesan makan malamnya. Perutnya keroncongan. “Buru-buru amat, Ra?” Goda Aidan. Sejak tadi, ia memperhatikan gerakan kekasihnya yang gesit. “Kelaparan, Kak.” “Eh!” Aidan tersadar. “Ini kenapa?” Tangan kanannya menyentuh pipi Nera yang lebam dan bengkak. “Ah, ini…” Nera segera menghindar. Takut nyeri. “Inilah alasan aku ngajak Kak Aidan ketemu.” Aidan memahami situasi. Ia duduk dengan takzim di kursinya. Siap mendengarkan cerita yang terurai dari bibir gadis itu. “Ceritalah. Aku akan mendengarkan.” Ujarnya sembari tersenyum lembut. Terlepas dari perasaannya pada gadis itu, Aidan memang seorang teman bicara yang menyenangkan. Sembari menunggu pesanannya datang, Nera akhirnya menceritakan semua kejadian yang terjadi di rumahnya. Sama sekali tidak ia tutup-tutupi. Ia merasa senang akhirnya memiliki seseorang yang dapat diandalkan saat dirinya butuh tempat bersandar. Ia merasa bersyukur memiliki Aidan di sisinya. Bahkan, saat pramusaji datang membawakan makan malamnya, Nera tetap melanjutkan ceritanya. Hanya berhenti sejenak untuk mengucapkan terima kasih. Namun, kalimat-kalimatnya akhirnya harus tetap terputus oleh bunyi pemberitahuan di ponselnya yang datang bertubi-tubi. “Ada apa, sih?” Gumamnya kesal. Pemberitahuan yang datang berbondong-bondong seperti itu biasanya terjadi hanya ketika ia baru saja mengunggah foto di i********:. Namun malam itu ia sama sekali belum membuka akun instagramnya. Seharusnya tidak ada alasan bagi ponselnya untuk terus berdering. “Kenapa, Ra?” Aidan ikut mengintip ke layar ponsel kekasihnya. Nera membuka pemberitahuan-pemberitahuan itu dengan cepat. Tiba-tiba, sorot matanya berubah. Alis matanya bertaut. Wajahnya terlihat sangat terkejut. Rupanya, akun i********: miliknya sedang diserang oleh puluhan bahkan mungkin ratusan orang. Ujaran-ujaran kebencian menumpuk di kolom komentar. Hujatan-hujatan dengan kalimat mengerikan yang tak pantas untuk diucapkan terpampang begitu jelas di sana. Puluhan bahkan ratusan komentar itu hanya menghampiri unggahan foto-foto tertentu. Yaitu, foto-foto dirinya dan keluarganya. Termasuk ayahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN