“Wah, ada hubungan apa sama si Bambang, Kak?” Tulis salah seorang pengikut Nera di sosia medial.
“Hm?” Nera mengernyit. Ia baru saja menemukan komentar yang cukup menarik yang mampir di foto keluarganya. Alih-alih hujatan dan ujaran kebencian seperti yang lain, komentar itu justru menyebut dengan jelas nama ayah Nera.
“Anaknya? Tapi, nggak mirip, deh.” Komentar lain terlihat ikut meramaikan.
Nera terus menggulirkan jempolnya di atas layar ponsel. Membaca sekilas komentar-komentar yang mampir. Lalu, ia membuka pesan masuk. Isinya sama, ujaran kebencian tak berdasar dan pertanyaan soal hubungannya dengan Bambang.
“Kenapa ayah jadi terkenal gini, sih?” Nera menggumam. Ya, ia tak terlalu tertarik dengan kalimat-kalimat hujatan yang ditulis pengguna media sosial. Ia justru lebih tertarik dengan alasan publik tiba-tiba menyoroti keberadaan Bambang di salah satu foto yang sudah lama ia unggah.
“Kenapa, Ra?” Aidan bertanya.
“Eh? Ini… Ah, sebentar. Mau ngecek sesuatu.” Nera memutuskan untuk tak memberitahu Aidan tentang apa yang terjadi pada media sosialnya. Ia memilih memastikan sendiri duduk perkara yang sedang terjadi di dunia maya. “Sebentar, ya, Kak.” Nera memberi isyarat dengan tangannya, ia sedang tak ingin diganggu.
Nera sedang dalam mode fokus dan serius. Dan Aidan menghargai itu. Ia tak mengajak Nera bicara sama sekali. Bahkan ketika seorang pramusaji datang membawakan pesanan mereka, Aidan memberi isyarat agar pramusaji itu tak perlu menghiraukan Nera.
Beberapa menit berlalu, Nera masih fokus dengan layar ponselnya. Alisnya sampai bertaut. Bibirnya mengerucut. Aidan masih dengan sabar menunggu gadis itu selesai dengan sesuatu yang dicarinya.
Ada alasan mengapa Nera jadi sangat fokus begitu. Ia menemukan sebuah artikel berita yang memuat foto keluarganya. Tentu saja foto itu dicomot begitu saja dari laman media sosialnya. Tanpa izin, tanpa pemberitahuan apapun. Yah, begitulah dampak buruk dari mengunggah foto ke media sosial. Terlebih jika akun media sosial memang diatur untuk publik. Maka, siapapun berhak mengakses foto yang diunggah. Meski tentu saja, tidak ada yang membenarkan untuk menyalahgunakan foto orang lain yang sudah dipublikasikan.
Alis Nera semakin bertaut erat saat membaca judul artikel tersebut. “Bambang Herlambang, pengacara terduga penerima suap ternyata memiliki hubungan khusus dengan seorang selebgram?”
“Apa-apaan ini?!” Nera protes dalam hati. Lalu, ia membaca dengan seksama isi berita itu. Sayangnya, hingga selesai membaca kalimat terakhir artikel berita itu, tak ada satupun yang menjelaskan mengapa ayahnya mendapat julukan ‘pengacara penerima suap’.
Nera mencoba mencari berita dari sumber lain. Meski ia telah menemukan alasan pengguna media sosial menyerangnya tanpa dasar, tapi ia justru memiliki sebuah pertanyaan lain tentang julukan untuk sang ayah.
“Ra…” Aidan memanggil pelan.
“Hm?” Sahut Nera tak acuh.
“Makanannya keburu dingin.”
“Makan duluan saja, Kak.” Nera masih tak mengangkat wajahnya dari layar ponsel.
“Oke.” Aidan mengangguk. Toh, sejak tadi ia memang sudah lapar.
Di saat Nera sibuk memeriksa belasan hingga puluhan artikel berita, Aidan justru makan dengan lahap. Ia sedang menikmati ekspresi wajah Nera yang berubah-ubah. Terkejut, marah, tiba-tiba terkejut lagi, antusias, dan seterusnya. Tanpa sadar, Aidan menyeringai. Ia bisa menebak apa yang terjadi saat ini. Para awak media yang senang menggoreng berita itu sedang mengeluarkan jurus-jurus terbaik. Menghubung-hubungkan kejadian heboh beberapa hari ini dengan apapun yang bisa membuatnya semakin menarik. Lalu, memberi judul yang kontroversial agar para pengguna internet tergugah untuk mengakses artikel berita tersebut. Hingga pada titik tertentu, orang-orang tak bersalah yang dikaitkan dengan hal itu ikut-ikutan diserang secara verbal oleh pengguna internet yang tak bertanggung jawab. Termasuk Nera.
Di hadapan Aidan, Nera menghela nafas berkali-kali. Kini, ia sudah tahu duduk perkaranya. Persoalan ayahnya yang tiba-tiba mengamuk dan masalah akun media sosialnya yang mendadak jadi sasaran komentar kebencian.
Nera tertunduk sejenak. Menarik nafas dalam untuk kemudian mulai mengangkat wajahnya. Bersitatap dengan Aidan yang secepat kilat mengubah ekspresi wajahnya.
Laki-laki itu, sejak tadi tak bisa menghilangkan seringai kepuasan dari wajahnya. Bukan, bukan karena menu makan malamnya yang luar biasa lezat. Lagipula, ia tidak makan. Aidan hanya memesan segelas es jeruk. Laki-laki itu terlihat senang justru karena melihat gadis di hadapannya tampak frustasi. Aidan sudah bisa menebak arah angin berhembus. Ya, para pengguna internet itu sudah mulai melancarkan serangan pada putri Bambang Herlambang.
“Sudah selesai?” Aidan cepat menembakkan topik. Agar Nera tidak fokus pada perubahan wajahnya yang berlangsung hanya sepersekian detik.
Nera mengangguk. Meraih gelas air minum, kemudian meneguknya.
“Ada apa?” Aidan bertanya lagi.
Tak langsung menjawab, Nera justru menghembuskan nafas panjang. “Aku cerita sambil makan, ya, Kak? Kak Aidan nggak ada urusan mendesak malam ini, ‘kan?”
“Iya. Ceritalah. Aku nggak ada urusan, kok.” Aidan tersenyum lembut. Senyum yang amat sangat berbeda dengan seringai puasnya tadi.
“Pipiku yang memar ini, karena ditampar.”
Aidan mendelik. Ia sungguh tak percaya bahwa kalimat pertama yang akan keluar dari bibir Nera adalah fakta soal penganiayaan.
“Di-ditampar siapa?” Aidan mengerjap-ngerjap, mengusir keterkejutannya.
Nera mendongak, menatap Aidan. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri untuk mengungkapkan hal yang sangat privasi. Aib keluarganya sendiri.
Untuk yang kesekian kalinya, Nera menghela nafas. “Ayahku.”
“Apa?!” Aidan tak bisa menahan diri. Ini benar-benar fakta besar baginya. Bambang menampar putrinya sendiri!
Apa pengacara sombong itu sudah kehilangan akal sehat karena tahu dirinya akan kalah? Batin Aidan.
Nera mengangguk mantap, meyakinkan bahwa yang Aidan dengar adalah fakta.
“K-kok bisa?”
“Awalnya, aku nggak tahu kenapa ayah begitu. Tapi, setelah barusan aku menelusuri beberapa hal, sepertinya aku tahu apa yang membuat ayah begitu.” Suara Nera terdengar tenang saat menjelaskan. Ini membuat Aidan merasa sedikit heran, karena melihat ekspresi gadis itu tadi, Nera terlihat sangat frustasi.
“Ternyata kenapa? Pasti sesuatu yang sangat besar.” Aidan terlihat bersimpati.
“Kak Aidan tahu kalau ayahku tuh pengacara?”
“Oh ya?” Aidan membulatkan matanya.
Nera mengangguk. “Kalau Kak Aidan tahu nama Bambang Herlambang, salah satu pengacara kondang dari kota ini, dialah ayahku.” Gadis berambut hitam itu mendongak. Menatap Aidan dengan bola matanya yang jernih.
“Wah, keren, dong?” Aidan tak tahu, apakah ekspresi tidak terkejut dan tidak bersimpatinya berhasil ia tutupi. Yang pasti, ia sudah berusaha.
“Iya, keren sekali. Mereka yang tahu bagaimana latar belakang hidupku, pasti kagum atau iri karena mereka kira aku sangat beruntung.”
Aidan tak merespon. Ia memilih meneguk es jeruknya. Lagipula, semakin berlebihan ia merespon, mungkin Nera akan semakin menyadari ada hal yang ia tutupi.
“Tapi sayangnya, tidak ada hidup yang sempurna.” Nera menggeleng. Gadis itu mempermainkan nasi di piringnya. Rasa lapar yang tadi seperti mengaduk perutnya, mendadai hilang.
Aidan masih tak merespon. Tapi ia tetap memasang wajah simpati dan seolah mendengarkan cerita kekasihnya dengan penuh perhatian.
“Sejak dulu, ayah hampir selalu memenangkan kasus yang dia tangani. Karena itu, ayah termasuk salah satu pengacara yang disegani dan memiliki bayaran tinggi. Tapi belakangan ini, ada kasus yang sedang ditangani ayah dan sepertinya proses persidangannya tidak berjalan lancar. Karena itu ayah jadi melampiaskannya pada kami. Aku, kakakku, dan mama.”
“Hm? Tidak berjalan lancar?”
“Entahlah, sepertinya ayah akan kalah di persidangan? Atau… hal yang lain. Pokoknya, sepertinya ayah nggak bisa memenangkan kasus kali ini.” Nera menyuapkan sesendok penuh nasi dan rendang daging favoritnya ke dalam mulut. Menikmati sensasi rasa pedas, gurih, sedikit manis, dan rasa lainnya yang dihasilkan aneka rempah.
“Apa biasanya ayahmu begitu? Maksudku, melampiaskan amarahnya saat ada hal-hal yang tidak berjalan sesuai keinginannya?” Aidan bertanya hati-hati. Sebenarnya, pertanyaan yang ia ajukan juga untuk menguji seberapa besar kepercayaan Nera padanya.
Nera terdiam, menatap Aidan beberapa saat, kemudian mengangguk.
“Memangnya kasus apa yang sedang ditangani ayahmu?”
“Hm? Kasus… penggelapan dana.”
Aidan mengangguk-angguk seperti burung kutilang, lalu gegas menyeruput es jeruknya. Sial! Ia kesulitan sekali mengatur ekspresinya. Semoga saja gelas es jeruk yang berembun mampu menutupi seringai lebarnya yang muncul tanpa bisa ditahan.
“Lalu, sekarang kamu dan mamamu nginap di hotel?” Aidan melanjutkan obrolan setelah ekspresinya berubah lebih baik.
“Iya, entah sampai kapan. Yang pasti setelah keadaan membaik.” Nera pun terlihat lebih tenang. Ia makan dengan lebih lahap dari sebelumnya. “Oh ya, mungkin besok aku bakal terlambat ke kampus soalnya aku bakal mampir ke rumah dulu, Kak. Kak Aidan bisa back up posisiku dulu?”
“Oke, santai aja.” Aidan mengibaskan tangan. “Ra, kalau butuh apa-apa bilang aja, ya? Aku siap bantu.” Bahkan, meski kamu cuma sekedar butuh teman bicara, bilang aku aja. Aku akan selalu berusaha ada untukmu.” Laki-laki berwajah tegas itu tersenyum lembut. Tangan kanannya menyentuh tangan kiri Nera yang bebas. Membuat pipi gadis itu bersemu merah, lalu tersenyum malu-malu.
Dua sejoli itu masih bertahan di sana hingga Nera menghabiskan makan malamnya. Mengobrol hal-hal ringan sejenak, lalu beranjak pulang saat gelap semakin pekat menyelimuti malam.
***
“Terima kasih, ya, Kak.” Nera turun dari boncengan motor Aidan. Tersenyum lebar.
“Sama-sama.” Aidan balas tersenyum.
“Aku masuk, ya, Kak?”
Aidan mengangguk. Membiarkan kekasihnya berbalik. Namun, belum sempat Nera melangkah, tangan Aidan sudah menahannya.
“Kenapa?”
“Ingat, ya, Ra. Kamu punya aku, jangan kamu pikul sendiri bebanmu.” Aidan menatap kedua bola mata jernih milik Nera lekat. Meyakinkannya.
Nera mengangguk, kemudian berhambur memeluk kekasihnya. Ada air mata yang menetes, hampir membasahi baju Aidan. Cepat-cepat ia usap.
“Aku… bersyukur sekali bisa bertemu Kak Aidan.” Suara Nera bergetar. Ada haru yang membuncah di dalam dadanya.