“Hahahaha!” Aidan tertawa di atas motornya yang sedang melaju kencang. “Hancur kau, Bambang! Hancur!” Ia berteriak, memaki-maki. Untung saja suaranya jadi samar terdengar. Bercampur dengan suara deru kendaraan bermotor yang bersahut-sahutan. Kalau tidak, Aidan pasti sudah dikira orang gila.
Aidan menginjak rem begitu bertemu lampu lalu lintas yang menyala merah. Kilat cahaya merahnya terlihat mewakili luapan amarah yang tampak di kedua mata Aidan. Laki-laki itu menatap tajam ke depan. Seolah Bambang benar-benar ada di hadapannya. Tapi, ia menahan diri untuk memaki. Puluhan kendaraan berhenti di sekelilingnya. Suaranya pasti terdengar setidaknya satu-dua meter ke sekitarnya.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Aidan memutar gas, melajukan motornya kembali ke kos.
“Karma akan datang, Bambang! Tunggu saja, kau juga akan mati di penjara!” Aidan kembali berteriak, sampai suaranya serak. Ia bagai kesetanan meluncurkan sumpah serapah pada orang yang bahkan tak mungkin bisa mendengar suaranya. Tapi setidaknya, amarah yang terus ia pendam itu berakhir merangsek keluar lewat kata-kata makiannya.
Aidan kembali menghentikan motornya di persimpangan terakhir sebelum memasuki gang tempat kosnya. Laki-laki itu sudah terlihat lebih tenang. Meski dadanya masih kembang kempis dengan cepat, wajahnya sudah terlihat jauh baik.
“Haaah…” Ia menghela nafas di balik kaca helm. “Tapi perjalananku masih panjang. Bambang pasti bukan lawan yang mudah.” Aidan bicara sendiri. Kemudian kembali memacu motornya dengan kecepatan sedang.
***
“Kamu beneran nggak apa-apa, Ra?” Suara Fatih di seberang telepon terdengar khawatir.
“Iya, nggak apa-apa.” Nera tersenyum, meski tentu saja Fatih tak dapat melihat senyumnya.
“Aku nggak nyangka akunmu bakal diserang begitu. Kamu sudah tahu kenapa?”
Nera mengangguk. “Iya. Kayaknya karena kasus yang lagi ditangani Ayah.”
“Kenapa baru sekarang kejadian begini, ya, Ra? Bukannya ayahmu udah sering menangani kasus kontroversial? Apalagi foto yang diserang itu foto lama, ‘kan?”
Nera terdiam sejenak. Teringat dengan salah satu judul berita yang menuduh ayahnya sebagai penerima suap. “Kamu… baca berita tentang Ayah sampai mana?”
“Hm? Maksudmu?”
Nera berhenti melangkah. Ia berdiri di dekat kursi taman hotel yang kosong dan dingin. Gadis itu memilih duduk di sana. Sedikit tersentak karena sensasi dinginnya. Ya, ia belum masuk ke hotel. Tadi, saat Aidan sudah hilang dari pandangan, saat ia baru tiba di lobi hotel, telepon dari Fatih masuk.
“Aku… baca berita yang menurutku sedikit menuduh ayah. Kamu… baca juga nggak?”
“Berita yang mana?”
“Yang bilang kalau ayahku menerima suap dari pelaku penggelapan dana sebenarnya.” Nera bicara di telepon sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
“Ah… Iya, aku baca.” Suara Fatih terdengar melemah.
“Menurutmu, mungkin nggak kalau ayahku benar-benar melakukan itu?” Nera menggigit bibir. Sebenarnya, sejak tadi pertanyaan itu sudah memenuhi kepalanya. Meski berita-berita di media memang sering dilebihkan, tapi tak mungkin ada asap tanpa ada api. Pasti ada sesuatu yang membuat para jurnalis mempertanyakan kesimpulan sepihak mereka.
Di ujung telepon, Fatih tak menjawab. Laki-laki itu sedang sibuk memilih kata-kata yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Nera. Ia tak ingin menyakiti hati gadis itu pun tak ingin memberi harapan.
Angin malam yang dingin membelai pipi Nera. Namun tetap mampu menghalau gundah di dadanya. Gadis itu masih terlihat gelisah. Meski begitu, ia tetap sabar menunggu jawaban dari Fatih.
“Dunia yang digeluti ayahmu…” suara Fatih mulai terdengar, meski ragu-ragu. “Memang dunia yang sangat rawan godaan. Seorang pengacara harus membela siapapun klien yang membayarnya. Baik klien itu dalam posisi yang pantas dibela, atau tidak. Aku yakin, pengacara yang bijak akan memilih klien yang berada di posisi yang benar bukan klien yang mampu membayar lebih besar.”
Nera tertunduk. Jawaban Fatih sangat diplomatis. Tidak benar-benar menjawab pertanyaan Nera, pun tidak melenceng dari inti pertanyaannya.
“Kalau… ayah benar-benar melakukan itu, apa mungkin ayah bakal dipenjara jika ketahuan, Tih?” Kerongkongan Nera tercekat, ia tak mampu membayangkan hal itu terjadi. Tapi, mengingat artikel berita yang ia baca tadi, sepertinya hal itu bisa saja terjadi.
Di ujung telepon, Fatih menelan ludah. Laki-laki itu mengusap wajahnya yang pias. Ia tak menyangka, tujuannya menelepon Nera untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja justru berujung obrolan rumit begini.
“Kalau… ayah sampai dipenjara, apa yang akan terjadi denganku, Tih?” Nera menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Gadis itu menggigit bibir, berharap air mata yang sejak tadi sudah menggenang urung untuk meluncur jatuh. Sayangnya, butiran air mata itu teramat nakal. Mereka meluruh tiba-tiba, menderas tanpa bisa dihentikan.
“Ra…” Panggil Fatih. Suaranya lebih terdengar seperti berbisik. “Jangan overthinking, kemungkinan itu masih jauh. Bahkan bisa saja tidak mungkin terjadi. Kamu… jalani dulu apa yang ada di depan mata.”
Nera mengangguk. Ia mengusap wajahnya kasar, membersihkan sisa-sisa air mata.
“Terima kasih, ya, Tih.” Suara Nera masih bergetar. Maka ia memilih untuk hanya mengucapkan terima kasih. Jika lebih dari itu, entahlah, sepertinya ia akan kembali menangis.
“Sama-sama.”
“Aku tutup, ya? Mama mungkin lagi nunggu.” Nera beranjak. Siap kembali ke kamar hotelnya.
“Iya. Selamat istirahat, Ra.”
Nera tersenyum tipis, mengangguk kemudian menguluk salam dan memutus sambungan telepon.
Gadis itu beranjak dari duduknya. Menyeka pipinya yang basah, memperbaiki ekspresi wajahnya, lalu melangkah masuk ke lobi. Ia berjalan melewati beberapa pekerja hotel, menyapa mereka dengan tersenyum ramah. Ia sengaja melakukan itu, agar air mukanya yang tadi sedih bisa berubah bahagia secara natural. Agar mamanya tak khawatir.
Sayangnya, semua usahanya itu sia-sia belaka. Karena begitu ia masuk ke kamar hotel, rasa sedih yang berusaha ia tutupi justru berubah menjadi amarah.
“Mama… akan kembali ke rumah, Ra.” Wanita paruh baya berparas ayu itu menyambut putri bungsunya. Bukan dengan sambutan hangat, tapi dengan kalimat yang membuat rahang Nera mengetat.
“Apa?!” Nera melotot. “Mama mau dipukuli lagi sama ayah?!”
“Bukan begitu, Nak. Mama sudah puluhan tahun hidup dengan ayahmu. Ayahmu pasti sudah menyesali perbuatannya saat mengetahui kita nggak ada di rumah.” Bujuk Mama sembari mengusap punggung putrinya lembut.
“Kalau memang ayah menyesal, seharusnya ayah menyesal dari dulu dan berubah. Tapi sekarang apa? Ayah selalu mengulangi perbuatannya, Ma!” Nera memberi tekanan pada intonasi suaranya.
“Tapi kita ‘kan nggak pernah sampai minggat begini. Mungkin akan menimbulkan efek jera yang lebih hebat untuk ayahmu.” Mama masih tak mau kalah. Ia merasa intuisinya benar tentang sang suami.
“Itu ‘kan baru mungkin, Ma. Masih dugaan. Bagaimana kalau ternyata ketika mama sampai rumah ayah justru semakin marah?” Nera menantang mamanya. “Apa Mama bisa menjamin keamanan Kak Angel kalau kembali ke sana sekarang? Apa Mama juga bisa menjamin keselamatan diri Mama?”
Wanita yang rambutnya setengah beruban itu tak menjawab. Ia sadar betul kapasitas dirinya. Bertahun-tahun fokus merawat putri sulungnya, membuatnya kehilangan kekuatan dalam keluarga. Ia lupa membangun perannya sebagai ibu, menguatkan posisinya sebagai rekan sang suami. Ia bahkan sering lupa untuk merawat putri bungsunya, yang sekarang entah bagaimana bisa tumbuh dengan baik.
“Pembicaraan ini Nera anggap selesai, Ma. Kita akan tetap di sini sampai Nera bisa memastikan bahwa ayah benar-benar tidak akan menyakiti kita lagi.”
Nera berjalan ke kamar mandi, melewati mamanya yang tertunduk, melewati Angel yang tidur pulas di atas kasur. Jauh di lubuk hati Nera, ia merasa bersalah telah membentak-bentak mamanya. Tapi tak ada pilihan lain, ia tak mungkin mengiyakan keinginan sang mama.
Nera masuk ke kamar mandi. Melepas pakaiannya, mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Gadis itu butuh untuk menyegarkan diri. Karena hari ini, sudah terlalu banyak hal yang terjadi.