36 - Memohon

1462 Kata
Subuh tadi, Bambang bangun dari tidur tanpa tahu bahwa seluruh keluarganya telah minggat. Meski saat terbangun ia tak mendapati sang istri di sebelahnya, ia berpikir mungkin istrinya sedang tidur di kamar Angel atau Nera. Maka ia mengerjakan rutinitas pagi seperti biasanya. Hingga saat matahari mulai meninggi, Bambang tahu ada yang tidak beres. Dari kamar atas, sama sekali tak terdengar suara manusia berkegiatan. Dari kamar Angel, tak ada tanda-tanda seseorang. Apalagi dari arah dapur yang biasanya sudah sibuk sejak pagi, istrinya menyiapkan sarapan untuknya dan anggota keluarga lain. Bambang mulai memanggil-manggil istri dan kedua anaknya. Membuka setiap ruangan yang pintunya tertutup. Tapi, belum sempat ia menemukan satu orang pun dari keluarganya, telepon dari asistennya sudah berdering berulang kali. Mau tak mau, Bambang berangkat kerja dengan perut keroncongan. Sepanjang hari itu, Bambang sama sekali tak bisa fokus. Pasalnya, ponsel istri dan putrinya tak ada yamg bisa dihubungi. Ia berkali-kali melakukan kesalahan saking tak fokusnya. Karena itu, saat jam pulang kerja tiba, Bambang nekat mengendarai mobilnya ke kampus Nera sembari terus menghubungi ponsel salah satu dari istri atau anaknya. Beruntung, tepat saat ia tiba di depan gerbang utama kampus Nera, panggilan teleponnya pada sang istri dijawab. Lalu setelahnya, tentu saja istrinya memberitahukan hotel tempat mereka menginap setelah mendengar Bambang menangis dan memohon. Maka, tibalah Bambang di depan pintu kamar hotel mereka saat matahari sudah tergelincir ke arah barat. Laki-laki yang biasanya penuh wibawa itu, seketika berlutut begitu sang istri mempersilakan masuk. “Maafkan aku, Ma!” Bambang bertekuk lutut di hadapan istrinya. Penampilannya berantakan, apalagi wajahnya. Lesu dan kusut. “A-ayah ngapain?! Bangun, Yah!” Mama Nera menangkup lengan suaminya, menyuruhnya bangkit. Bambang menggeleng tegas. “Aku tahu aku salah. Mana ada suami dan ayah yang tega memukul istri anaknya. Aku tahu aku nggak becus jadi kepala keluarga, Ma!” Bambang masih bertahan di posisinya. Laki-laki yang kemarin garang membentak-bentak anak dan istrinya itu kini terlihat menyedihkan. “Tolong, kembalilah ke rumah, Ma…” Bambang menatap istrinya penuh harap, kedua bola mata itu terlihat memohon. Sementara Mama terlihat kebingungan menghadapi suaminya yang terus menerus merengek dan berlutut, Angel justru meringkuk di pojok kamar hotel. Gadis itu sudah ketakutan sejak Bambang datang tadi. Kengerian segera membayang di kedua bola matanya yang jernih. Sepertinya, kejadian pemukulan kemarin masih sangat membekas di kepalanya. “Jangan begini, Yah. Ayo bangun. Kita bicara sambil duduk, ya?” Mama masih merayu suaminya agar berhenti berlutut. Ia tak nyaman melihat suaminya terus menerus merendah di hadapannya. Setelah beberapa menit berada dalam posisi yang sama, mungkin Bambang juga sudah mulai kelelahan. Akhirnya ia bangkit dari duduknya. Wanita bertubuh semampai itu membimbing suaminya duduk di tepi tempat tidur. Laki-laki itu masih terlihat kusut, sama seperti saat ia pertama kali datang ke hotel ini. “Maafkan aku, Ma…” Bambang kembali merengek. “Iya, Yah. Iya. Mama juga minta maaf.” Mama memeluk sang suami erat. “Ma…” Bambang menatap sang istri penuh harap. “Pulang, ya?” “Nggak!” Seru Nera dari ambang pintu. Gadis itu entah sejak kapan sudah berdiri di sana. “Nera!” Mama berdiri. Matanya melotot terkejut. “Gimana Ayah bisa ada di sini?” Nera tak memedulikan sang mama. Ia menatap tajam ke arah Bambang. “Jangan bilang mama yang memberitahu ayah?” Gadis itu menoleh cepat. “Ra, dengar dulu, Nak…” Mama berusaha menenangkan putrinya yang berang. “Maafkan Ayah, Nak.” Belum sempat mama menyentuh pundak Nera, Bambang sudah berhambur memeluk putrinya. “Lepas!” Nera meronta. Pelukan Bambang yang memang tidak erat akhirnya tak bisa menahan tubuh putrinya. Gadis itu mundur selangkah ke belakang. “Ayah kira seberapa besar dampak dari amarah ayah? Lihat itu!” Nera menunjuk Angel yang masih gemetar di pojok kamar. “Kak Angel sampai ketakutan!” “Tapi Angel kan…” “Kenapa?!” Sergah Nera cepat. Ia sudah cukup lama bersabar dengan sikap ayahnya. “Kenapa Kak Angel, Yah?!” Bambang terdiam. Ia tak pernah melihat putrinya semarah ini. Bahkan saat dulu ia tak menyetujui jurusan kuliah pilihan putrinya, gadis itu tetap tenang. Saat dulu mereka sempat bertengkar ketika Nera berhasil diterima di fakultas kedokteran pun, Nera tak segeram ini. “Kami nggak bisa terus-terusan memaklumi sikap emosional Ayah! Melukai mental Nera dan Kak Angel. Ayah kira selama ini kami diam karena kami nggak terdampak apa-apa? Justru karena sangat berdampak, Yah!” Nera berteriak-teriak di hadapan ayahnya. Seluruh unek-unek yang bersarang di dadanya hampir saja tersembur keluar jika ia tak melihat Angel yang terus gemetar dan menangis. Nera meloncat melewati kasur. Memeluk kakaknya, berbisik lembut. “Kami nggak akan pulang sampai ayah benar-benar menyesal!” Pungkas Nera kemudian. “Ayah sangat menyesal, Nak…” “Nggak mungkin! Nera yakin, dalam waktu dekat ayah pasti kambuh lagi.” Nera menatap tajam ayahnya. Ia sungguh sudah muak dengan keegoisan ayahnya. Menganggap istri dan putrinya hanya sebatas manusia nomor dua dalam keluarga. Yang tak perlu didengar bicaranya, dimengerti perasaannya, apalagi dipahami keinginannya. “Ra…” Bambang berusaha mendekat. Ia tak bisa terus-terusan bertengkar dengan putrinya. “Pergi, Yah!” Nera berseru penuh amarah. “Kalau ayah benar-benar menyesal, setidaknya biarkan Kak Angel tenang!” Bambang lagi-lagi terdiam. Tadinya ia mengira Nera berteriak-teriak begitu karena sangat marah padanya. Tapi ia salah. Rupanya putri bungsunya itu tengah mengkhawatirkan kondisi mental sang kakak. Yang ternyata luput dari perhatian Bambang sebagai ayahnya. Bambang mundur selangkah. Menunduk. “Kalau begitu, ayah pulang dulu.” Bisiknya lirih. *** Rumah Bambang terlihat redup dari luar. Lampu terasnya menyala, tapi lampu ruang tamunya padam. Dan satu-satunya lampu yang menyala di dalam ruangan hanyalah lampu ruang kerja Bambang. Setelah pulang dari hotel, usai diusir oleh putrinya sendiri, Bambang sempat merenung beberapa saat. Sampai akhirnya, asistennya menelepon bahwa akan datang. Ia tak mungkin terus-menerus tidak fokus menangani kasus yang bisa menjatuhkan nama baiknya itu. Baginya, ini kasus serius. Amat serius. “Saya tidak berhasil mencari tahu dengan pasti apa yang melatarbelakangi Pramana untuk menuntut kasus ini. Karena dia baru memulai karirnya sebagai pengacara bertahun-tahun setelah Dokter Wirahadi meninggal di selnya.” Asisten Bambang itu menjelaskan. Mereka duduk berhadapan di ruang kerja Bambang. “Kamu sudah mencari tahu latar belakang keluarganya? Bisa saja dia berhutang budi pada Dokter Wirahadi.” Bambang mencoba alternatif alasan lain. “Tidak ada, Pak. Pramana sama sekali tidak punya hubungan dengan kasus Dokter Wirahadi, atau dengan personalnya.” Laki-laki itu menggeleng. Bambang menyandarkan punggungnya ke kursi. Mendongak, menatap langit-langit. Kalau ia tak bisa menemukan bukti kuat yang dipegang Pramana, ia harus menemukan hubungan sebab akibat dari tindakan pembelaan yang dilakukan pengacara muda itu. Sayangnya, Pramana seperti tahu cara bermain aman. “Tapi…” Bambang seketika menegakkan punggung. “Tapi kenapa?” “Saya punya firasat buruk, Pak.” “Maksudmu?” Bambang mengernyit. “Dulu, saat kita akhirnya membakar secara acak dokumen-dokumen milik Dokter Wirahadi, sepertinya kita tidak memeriksa apakah seluruh dokumen terbakar sempurna atau tidak. Malam itu ‘kan turun hujan lebat beberapa saat setelah kita menyalakan api?” “Ah, iya benar!” Bambang menepuk jidatnya. “Bagaimana kalau ternyata ada dokumen yang berhasil diselamatkan saat itu?” Asisten pengacara mulai terlihat gelisah. Jangan tanya bagaimana ekspresi Bambang, tentu saja ia jauh lebih khawatir dan takut. “Tapi siapa yang menyelamatkannya? Dokter Wirahadi waktu itu ‘kan sudah ditahan?” Bambang mengusap dagunya. Kepalanya dipenuhi memori tentang kejadian bertahun-tahun silam. “Itu yang tidak ditebak, Pak. Tapi, kalau benar-benar ada bukti yang berhasil diselamatkan oleh Pramana, riwayat kita bisa tamat, Pak!” Laki-laki itu mendelik, matanya menyorot ngeri. “Aku juga tahu!” Bambang mendesis. Tak perlu diberitahu pun ia sudah mengerti bahwa kasus kali ini tidak mudah. Sekali saja salah langkah, bisa-bisa dirinya yang masuk penjara. “Selidiki terus pergerakan Pramana. Ke mana dia pergi, bertemu dengan siapa, terus laporkan padaku.” Bambang memberi perintah. “Siap, Pak!” Ting tong… ting tong… Tepat saat asisten Bambang itu hendak beranjak keluar, bel rumah Bambang berbunyi. Ia bergegas ke pintu depan sekaligus mengantar asistennya keluar. “Loh, Fatih?” Alis Bambang terangkat begitu mengetahui tamu yang mendatangi rumahnya malam-malam. “Nera ada, Om?” Fatih menyapukan pandangan ke sekeliling. Sedikit bingung dengan kondisi rumah sahabat dekat orang tuanya itu. Rumah itu terlihat sepi dan sunyi. “Ah…” Bambang menoleh ke arah asistennya sesaat. Mengantar laki-laki muda itu dengan anggukan ringan. “Masuk dulu, Fatih.” Lalu ia kembali ke tamu barunya. Mempersilakan teman dekat putrinya masuk. Fatih menurut, duduk di salah kursi kosong sementara sang tuan rumah menyalakan lampu ruang tamu. “Kok gelap-gelapan gini rumahnya, Om?” Fatih membuka obrolan. “Iya, soalnya Om cuma sendiri di rumah.” Bambang duduk di seberang tamunya. “Loh? Yang lain ke mana?” “Fatih…” Tiba-tiba, wajah Bambang berubah serius. Pun nada suaranya terdengar begitu menekan. “Om, mau minta tolong sesuatu.” Meski begitu, ada sedih yang membayangi kedua bola mata tuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN