Fatih memegang kemudi dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah tangan lainnya terus-menerus ia gigit pelan. Kebiasaan ganjil yang sering Fatih lakukan setiap kali berpikir keras.
“Tolong bawa keluarga Om pulang ke sini.”
Kalimat dan raut muka Bambang yang memohon dengan penuh pengharapan terus terngiang di benak Fatih. Ia tak menyangka, akan ada masa di mana ia melihat laki-laki yang biasanya terlihat tegar bagai tembok baja itu melemah. Tak ubahnya tanaman layu yang berharap hujan segera turun.
Fatih memutar kemudi, membelokkan mobilnya sejauh seratus delapan puluh derajat. Berbalik arah. Ia batal mendatangi hotel tempat Nera menginap. Ia batal memenuhi permohonan Bambang. Ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya daripada permohonan Bambang. Lagipula, meminta Nera mengubah keputusannya itu sangat sulit. Meminta gadis itu mengubah jurusan kuliah saja tidak bisa dilakukan Bambang, apalagi sekedar memintanya pulang ke rumah. Jawabannya sudah pasti Nera tidak mau.
Fatih terus mengemudikan mobilnya selama beberapa menit. Hingga kemudian berhenti di halaman depan rumahnya. Ya, Fatih pulang kembali. Ia juga batal menyelesaikan urusannya dengan Nera. Urusan lain, bukan soal permohonan Bambang.
“Kok sudah pulang?” Farhan, Papa Fatih menyambut putranya di ruang tengah. “Katanya mau ke rumah Om Bambang? Biasanya kamu ‘kan lama kalau udah ketemu Nera.”
“Nggak jadi ketemu, Pa.” Fatih duduk di sebelah ayahnya yang terlihat sedang membaca buku.
“Kenapa?” Laki-laki yang tetap terlihat tampan di usianya yang menjelang separuh abad itu mengernyit. Membuat kerutan-kerutan di dahinya semakin jelas terlihat.
“Pa, Papa dulu pernah kerja di Rumah Sakit Suka Sembuh ‘kan?” Tanya Fatih. Ia terlihat antusias.
“Iya, kenapa?” Farhan menutup bukunya. Ikut tertarik dengan topik obrolan yang diangkat putranya.
“Berarti Papa tahu soal kasus NICU itu?”
Farhan sedikit tersentak demi mendengar pertanyaan Fatih. Ia tak menyangka topik itu yang membuat putranya tertarik.
“Kasus apa?” Meski begitu, Farhan mencoba untuk tidak asal menebak dan bereaksi.
“Kasus penggelapan dana. Masa Papa nggak baca atau nonton berita? Kasus itu ‘kan diangkat lagi.”
Farhan berdehem pelan. “Papa udah lama nggak ngikuti berita. Meng-update ilmu kedokteran aja udah menyita waktu apalagi kalau harus menyimak berita. Nggak akan ada habisnya.”
“Tapi Papa tahu ‘kan kejadian itu?”
Farhan menatap putranya lekat. “Kenapa kamu tertarik dengan kasus itu?”
“Oke, berarti Papa tahu.”
“Jangan asal menyimpulkan.” Farhan menyergah pelan.
“Tapi Papa tahu ‘kan?” Fatih menodong. Sorot matanya terlihat antusias.
Farhan terlihat berpikir sejenak. Kemudian mengangguk. Anggukan yang terlihat sangat berat dan berdasarkan pertimbangan yang dipikirkan baik-baik.
“Wah, sungguh, Pa?” Mata Fatih membulat. “Fatih penasaran dengan kasus itu belakangan ini. Apalagi ternyata menyeret nama Om Bambang sejauh ini. Ah, kasihan Nera kalau teringat berita-berita nggak jelas itu. Papa juga tahu berita itu ‘kan?”
“Iya.” Jawab Farhan singkat.
Fatih menatap papanya. Meneliti ekspresi laki-laki yang terlihat sangat mirip dengannya itu. Itu… ekspresi yang ganjil. Fatih tak bisa menebak apa yang ada di benak papanya.
“Waktu kejadian itu, pasti rumah sakit tempat papa kerja heboh banget, ya?” Fatih membuka topik lain. Menggali lebih dalam keterlibatan papanya dengan kasus itu. Atau, mengorek lebih jauh makna di balik ekspresi papanya yang tak biasa.
“Iya. Para petinggi rumah sakit kalang kabut. Tapi, nggak berdampak ke pelayanan. Di ranah pelayanan semua berjalan lancar. Setidaknya, itu yang terjadi di ruang lingkup kerja Papa.”
Fatih mengangguk-angguk.
“Kalau gitu, Papa kenal sama dokter yang terlibat?” Fatih menembak langsung ke inti pembicaraan.
“Hm?” Farhan menoleh. “Ah… Dokter Wirahadi?”
“Iya.”
“Kenal. Dia… supervisor Papa waktu itu.”
“Apa?!”
Fatih melotot. Mulutnya ternganga. Jelas sudah arti dari ekspresi ganjil yang ditunjukkan papanya. Laki-laki itu pasti mengetahui sesuatu. Entah apapun itu. Mungkin, sesuatu yang tidak diketahui orang lain atau tidak boleh diketahui orang lain.
***
Delapan tahun lalu, Farhan hanya seorang dokter residen tahun ketiga. Belajar dan memberi pelayanan di bawah pengawasan Wirahadi. Supervisor baik hati, cerdas, dan sangat visioner. Ia senang berada di bawah bimbingan dokter anak yang cukup senior itu. Menimba sebanyak mungkin ilmu darinya. Namun, baru beberapa bulan berjalan, Wirahadi tersandung kasus. Padahal Farhan tahu betul visi misi Wirahadi dalam membangun ruang NICU itu. Farhan adalah salah satu orang yang bersedih atas kasus itu.
Malam itu, saat langit kota tertutup awan. Tak ada satu bintang pun yang terlihat. Bahkan bulan purnama yang seharusnya bersinar terang, hanya terlihat samar-samar di balik awan. Farhan yang sedang kelelahan setelah berjaga selama lebih dari dua puluh empat jam itu berjalan gontai di lorong rumah sakit. Tujuannya hanya satu, mengambil laporannya yang berada di ruangan Wirahadi. Karena sejak Wirahadi berurusan dengan kasus penggelapan dana itu, supervisor untuk Farhan sudah diganti.
“Haaaah…” Farhan menghela nafas panjang. Tangan kanannya memijit tengkuknya yang terasa kaku. Langkahnya gontai. Ia lelah sekali.
Farhan sudah hampir tiba di ruangan Wirahadi, ia tinggal berbelok di depan. Namun, langkah gontainya itu seketika terhenti. Mata ngantuknya pun mendadak segar. Farhan melihat beberapa sosok laki-laki keluar dari ruangan Wirahadi. Membawa kardus yang entah berisi apa. Farhan merapat ke dinding, menyembunyikan dirinya. Sementara kedua matanya tetap awas memperhatikan gerakan sosok-sosok di hadapannya.
Dua laki-laki terlihat keluar dari ruangan Wirahadi, masing-masing membawa kardus. Lalu, hanya dengan satu komando dari laki-laki yang menunggu di luar, dua sosok itu berjalan cepat salam senyap meninggalkan ruangan.
Farhan mematung di tempatnya. Sorot matanya nanar. Ia merasa baru saja menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihat orang lain.
Beruntung, Farhan segera dapat menguasai diri. Ia segera berlari keluar rumah sakit melewati pintu samping. Mengikuti tiga sosok laki-laki tadi yang keluar lewat pintu belakang. Tepat saat Farhan tiba di tempat parkir rumah sakit, tiga sosok itu sudah meluncur di jalanan menggunakan sebuah mobil berwarna hitam.
“Sial!” Farhan mengumpat. Tapi ia gegas berlari menuju tempat motornya diparkir. Meloncat ke atasnya kemudian melakukan manuver cepat, mengeluarkan motornya dari tempat parkir. Ia tak boleh kehilangan jejak mereka.
Saat itu, Farhan tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Ia hanya didorong rasa penasaran. Bahkan sepanjang jalan mengikuti mobil hitam itu, ia belum bisa menebak apa yang sebenarnya ingin dilakukan tiga orang itu dengan isi kardus yang dibawa dari ruangan Wirahadi.
Beberapa menit berkendara, mobil hitam itu memasuki area yang minim pencahayaan. Farhan mulai khawatir. Salah satu dari tiga orang itu mungkin saja mulai menyadari kehadirannya. Maka ia mematikan lampu motornya. Berbekal lampu jalan yang jarang, Farhan berhasil mengikuti lampu belakang mobil yang berkilat merah.
Mobil itu akhirnya berhenti di sebuah lapangan luas. Farhan ikut menghentikan motornya. Berjarak sekitar lima puluh meter. Lalu ia segera berlari mendekat, menunduk dan menyembunyikan tubuhnya di antara pepohonan.
Tiga orang itu keluar dari mobil, membawa kardus yang tadi. Hingga tiba di tengah lapangan, dua laki-laki menumpahkan isi kardus. Puluhan lembar kertas jatuh ke tanah. Benda-benda lain juga terlihat, tapi Farhan tak bisa memastikan apa benda-benda itu.
Farhan memicingkan mata, berharap penglihatannya sedikit saja lebih jelas. Dan tiba-tiba, blar! Tiga orang itu membakar tumpukan kertas dan benda-benda di hadapan mereka. Api segera berkobar, menjilat-jilat kegelapan. Farhan terbelalak di tempatnya. Ia semakin yakin, sesuatu yang mereka bakar pastilah bernilai besar. Mungkin, mereka sedang ingin melenyapkan sesuatu.
Tak lama setelah api berkorbar, hujan mengguyur lapangan itu. Deras, membuat baju jaga Farhan basah kuyup. Tapi ia tetap tak beranjak dari sana. Ia menunggu waktu untuk bisa mendekat. Mungkin ada sesuatu yang bisa ia ketahui dengan melihat puing-puing sisa kebakaran itu.
Tiga orang berpakaian hitam itu berlari masuk saat hujan semakin deras. Masuk ke dalam mobil, kemudian tak setelahnya mobil itu melaju pesat. Meninggalkan kobaran api yang semakin lama semakin meredup.
Persis ketika mobil hitam itu hilang di kelokan jalan, Farhan berlari menerjang hujan. Menghampiri kobaran api yang semakin padam. Hingga akhirnya, hanya tersisa jilatan api kecil yang lemah.
“Ukh!” Farhan menginjak sisa api itu. Memadamkannya. Kemudian dengan sebelah kakinya, ia menyibak tumpukan sisa kebakaran.
Sayangnya, kobaran api besar tadi telah hampir membakar seluruh kertas yang ada. Hanya tersisa potongan-potongan kecil saja. Yang tidak dapat terbaca jelas. Tapi Farhan tak menyerah, ia terus menyibak. Hingga akhirnya, kakinya menendang sesuatu. Sebuah flashdisk yang hangus sebagian.
Farhan memungut benda kecil itu. Mengusap kotoran dari permukaannya. Menatapnya sejenak, kemudian gegas menyimpannya dalam saku.
Dalam waktu sekian detik itu, Farhan telah menyimpulkan dan memutuskan. Apa yang mungkin terjadi di hadapannya dan ke mana ia akan membawa flashdisk itu.