49 - Korupsi

1753 Kata
“Selanjutnya, laporan yang paling sensitif, nih…” Nera memberi intro. Sedikit terkekeh. Panitia lain yang hadir juga ikut tertawa pelan. “Dari bendaraha.” “Sepertinya… laporan dari bendahara bakal panjang, deh.” Seorang wanita berkacamata terlihat mengangkat tangan. Ialah sang bendaraha. “Iya, nggak apa-apa. Karena itu laporan dari bendahara ditaruh paling akhir, supaya kita punya banyak waktu untuk membahasnya.” Aidan menanggapi. “Oke, baiklah.” Sang bendahara, sebut saja Rika, bersiap memulai pemaparannya. Ia menancapkan kabel proyektor ke laptopnya, membuat dinding putih ruang BEM menampilkan laporan evaluasi yang sudah ia susun. “Rik, catatan kuitansi dan lain-lain ada, ‘kan?” Tanya Aidan, tepat sebelum Rika mulai bicara. “Oh, iya, lupa.” Gadis itu mengaduk isi tasnya. Mengeluarkan sebuah buku berukuran cukup besar dan tebal. “Ini, Kak.” Aidan menerima buku itu. “Kuitansi pencairan dana dari sponsor juga ada di sini, ‘kan?” Tanyanya sembari membuka halaman pertama. Rika terlihat menelan ludah. Kemudian melirik seorang laki-laki di sebelahnya. “A-ada, Kak.” Nera menyipitkan mata, menatap sepasang mahasiswa itu bergantian. Ia melirik Izza yang duduk di sampingnya. Seketika, mereka bertatapan. Rupanya, mereka sedang memikirkan hal yang sama. Ada yang mencurigakan dari dua mahasiswa itu. “Rio…” Panggil Nera. Sekali lagi, menghentikan Rika memulai laporannya. “Kamu bertanggung jawab buat cari sponsor, ‘kan, ya?” “Iya. Kenapa?” Laki-laki yang duduk di sebelah Rika menjawab. Wajahnya terlihat tenang. Nera mulai meragukan kecurigaannya. Merasa dirinya bereaksi berlebihan. “Kamu bawa proposal sponsor, ‘kan?” Tanya Nera. “Oh, bawa.” Laki-laki itu meraih tasnya, mengeluarkan setumpuk dokumen kemudian menyerahkannya pada Nera. “Ini… sudah semuanya?” Tanya Nera lagi. “Iya.” “Oke. Silakan dimulai, Rik.” Aidan mempersilakan. Pemaparan dari bendahara pun dimulai. Aidan, Nera, dan Izza memperhatikan dengan seksama laporan yang ditampilkan oleh proyektor kemudian menyamakannya dengan buku dan proposal yang ada di tangannya. Rika menulis laporan evaluasi dengan sangat rinci dan rapih. Membuat Aidan lebih mudah melakukan pengecekan dengan laporan yang tertulis di buku besar. “Dan total pengeluaran adalah…” Rika menyebutkan angka yang cukup besar, mencapai ratusan juta. Itu memang angka yang besar, tapi sesuai dengan skala acara yang mereka adakan. Ruang BEM seketika hening, Nera, Izza, dan Aidan masih memeriksa proposal dan buku besar yang ada di tangan mereka. Mendiskusikan beberapa hal sebelum menanggapi laporan dari Rika. “Sepertinya sudah sesuai.” Aidan berbisik. “Sebentar, Kak…” Nera memberi isyarat dengan tangannya. Ia ingin memastikan kecurigaannya salah. Jadi ia memeriksa sekali lagi laporan yang tertera di buku dan yang ditampilkan Rika. “Eh?” Tiba-tiba Izza bersuara. “Kenapa, Za?” Nera menanggapinya cepat. “Kita… ada panwil Mataram, ‘kan?” Tanya Izza pada seluruh mahasiswa di ruang BEM. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. “Ada.” Aidan yang menjawab. Beberapa orang di ruangan itu terlihat mengangguk setuju. Hari itu, yang hadir untuk rapat evaluasi tentunya tidak semua panitia. Ruang BEM tidak akan cukup menampung keseluruhan panitia yang berjumlah lebih dari lima puluh orang. Lagipula, semakin banyak orang justru akan semakin tidak kondusif rapat yang diadakan. Karena itu, Nera dan Aidan setuju untuk hanya mengundang ketua dan satu anggota dari masing-masing divisi saja. “Coba tampilkan pengeluaran panwil, Rik.” Pinta Izza pada Rika. Sekali lagi, Rika terlihat menelan ludah sebelum akhirnya menyanggupi. “Oke.” Gambar di dinding ruang BEM terlihat bergerak. Rincian pengeluaran panitia wilayah yang diminta Izza tampak di sana. “Aku mau lihat panwil Mataram.” Pinta Izza lagi. Rika menurut. Menampilkan pengeluaran untuk panitia wilayah Mataram seperti yang diminta Izza. “Satu juta lima ratus?” Izza membulatkan matanya. “Seriously?” Tanyanya dengan penekanan. Kali ini, ia menatap Rika dengan dahi berkerut. “Iya. Itu yang dilaporkan panwil Mataram.” Jawab Rika cepat. “Mana?” Izza mengambil buku besar dari tangan Aidan. “Mana coba laporan tiket pesawat ke Mataram di sini? Mana?” Ia membuka lembar demi lembar buku besar itu. Menunjukkan bahwa tak ada satupun tiket ke Mataram yang terekam di sana. Rika melirik Rio sesaat. “Ada, kok. Seharusnya ada.” Gadis berkacamata itu maju. Mengambil buku besar. “Mungkin jatuh entah di mana. Tapi seharusnya ada.” “Oke. Kalaupun seharusnya ada, masa iya satu juta lima ratus, Rik?” Izza menatap Rika lekat. Wajahnya terlihat kesal sekali. Selama berbulan-bulan bekerja sama dengan Izza, ini pertama kalinya bagi Nera melihat gadis itu menampakkan kemarahan. “Tapi emang beneran segitu, Za. Ada, kok, tiket pesawat dengan harga segitu ke Mataram.” Rika terlihat tak mau kalah. Izza mendengus. “Oke. Aku akan panggil panwil Mataram ke sini sekarang.” Gadis itu segera mengambil ponsel dari sakunya. Menjauh sejenak dari kerumunan, menelepon seseorang. “Jangan ada yang keluar ruangan sebelum masalah ini selesai, ya?” Aidan memberi peringatan. “Tetap tenang semuanya. Kita hanya akan melakukan pengecekan. Beberapa hari lagi kita akan maju ke dokter Anita. Kalau ada masalah begini, harus kita selesaikan dulu, ‘kan?” Beberapa orang terlihat mengangguk setuju. Atmosfer di ruangan masih tegang, tapi sebagian panitia yang hadir mulai terlihat tenang. Nera terdiam. Masih menatap Rika dan Rio bergantian. Sepasang mahasiswa itu terlihat tenang. Mereka terlihat menunjukkan ekspresi apapun. Izza sudah kembali dari menelepon. “Gimana?” Tanya Nera. “Iya. Dia langsung ke sini.” Wajah Izza masih terlihat kesal. “Rik…” Bahkan, suaranya pun terdengar penuh kekesalan. “Ya?” Sahut Rika. Tak ada sedikit pun kekhawatiran di wajahnya. “Kamu tahu ‘kan kalau aku orang Mataram?” Rika terlihat terkejut. Tapi, ia buru-buru memperbaiki raut wajahnya. “Oh ya? Aku… baru tahu.” Izza mendengus kesal. Seandainya saja Rika mencantumkan bukti tiket pesawat dengan harga seperti yang tertera di laporan, urusan ini tidak akan panjang. Tapi karena bukti itu pun tidak ada, jadi masalah ini harus diusut sampai tuntas. Karena jika benar kecurigaan Izza, uang yang dikorupsi hampir mencapai sepuluh juta rupiah. Tentu itu bukan uang yang sedikit. Beberapa menit menunggu, panwil Mataram yang ditelepon Izza tadi akhirnya datang. “Ada apa, ya?” Tanyanya dengan wajah polos. “Kamu pesan tiket pesawat ke Mataram pakai aplikasi, ‘kan?” Tanya Izza tanpa basa-basi. “Iya, kenapa?” “Pinjam ponselmu. Masih ada ‘kan riwayatnya di ponselmu?” Izza menengadahkan tangannya. “Ah, itu…” Mahasiswa itu terlihat melirik Rio. Nera dan Izza segera menangkap gelagat mencurigakan itu. Mereka menatap dua orang itu lekat. “Waktu itu… Rio yang pesankan.” “Apa?!” Izza melotot tak percaya. “Tiket pulang pergi?” “Iya.” “Panwil Mataram nggak cuma kamu ‘kan?” “Iya. Ada tiga orang.” “Dan tiga-tiganya yang memesankan tiket adalah Rio yang notabene bukan panwil Mataram?” Izza menatap Rio tak berkedip. Amarah terlihat jelas berkobar-kobar di kedua bola matanya. Kecurigaannya hampir benar. Panwil Mataram itu mengangguk. Wajahnya terlihat tak nyaman dan merasa bersalah. Seketika, atmosfer ruang BEM semakin memanas dan tegang. Semua mata tertuju pada Rio. Di tempatnya duduk, Rio hanya menunduk. Entah bagaimana ekspresinya saat ini. Ia tak berani mengangkat wajahnya. Pun tak berani mengatakan sepatah kata pun saat dibentak oleh Izza. “Tunjukkan riwayat pemesananmu, Rio!” Sungguh, ini pertama kalinya Izza terlihat sangat emosional. Nera sampai tak berani menyelak. “Kalau tidak, aku akan bawa masalah ini ke dokter Anita.” Desis gadis berkerudung itu marah. Laki-laki yang tadi terlihat begitu tenang itu akhirnya mengangkat kepala. Dan… Rio menangis! Wajahnya berurai air mata. “Maafkan aku, teman-teman…” Suaranya parau. Bahunya berguncang. Rio kembali tertunduk. Tenggelam dalam tangisannya. Entah, apakah itu air mata ketulusan atau sekedar air mata buaya. Tapi yang pasti, masalah ini harus diselesaikan. Dengan cara apapun. *** Matahari sudah meninggi, mendekati atas kepala. Tak ada yang menyangka bahwa rapat evaluasi kali ini akan berlangsung sangat lama. Gara-gara masalah keuangan, rapat yang diperkirakan selesai dalam satu jam justru molor sampai tiga jam. Rio akhirnya mengaku bahwa ia tanpa sengaja memakai uang kegiatan. Ya, ia mengaku melakukannya tanpa sengaja. Awalnya, uang itu terpakai saat Rio dan Rika mampir ke mall sepulang dari mendatangi perusahaan sponsor. Lalu, terpakai lagi secara tidak sengaja saat keduanya lagi-lagi mampir ke restoran cepat saji. Setelah dua kali tanpa sengaja memakai uang kegiatan, selanjutnya mereka jadi menggampangkan hal itu. Sampai akhirnya, mereka berdua memakai uang kegiatan sebanyak tujuh juta rupiah. Itu jumlah yang cukup banyak. Tapi mengingat kejadian itu sudah berlangsung sejak awal persiapan kegiatan, maka tak heran mereka jadi gelap mata dan menghabiskan begitu banyak uang. Ya, kejadian semacam itu seringkali tak direncanakan. Awalnya tak sengaja, kedua kali pun sama. Tapi karena tak berefek apa-apa, tak ada yang menyadarinya juga, maka yang ketiga dan seterusnya mereka jadi melakukannya tanpa berpikir panjang. Dari masalah ini juga jadi ketahuan, bahwa ternyata Rika dan Rio adalah sepasang kekasih. Keduanya sering mampir untuk kencan ke restoran mahal dan mall-mall di sekitar kota setelah melakukan kegiatan organisasi. Dan tentunya, semua itu mereka lakukan dengan menggunakan uang organisasi. Miris memang, tapi itu benar-benar terjadi. Nera memijit pelipisnya, pening. Ruang BEM sudah sepi, tersisa dirinya, Izza, Aidan, dan Wina yang baru tiba setengah jam lalu. “Ini benar-benar di luar dugaan.” Bisik Wina pelan. Tadinya, ia tak bisa datang rapat karena ada urusan lain. Tapi ia memutuskan bergabung saat mampir ke ruang BEM dan mendapati atmosfer rapat evaluasi itu sangat menegangkan. “Aku juga sama sekali nggak menyangka bakal ada yang korupsi.” Sambung Izza. Emosinya sudah terlihat stabil. Ia hanya menggeleng-geleng tak percaya. Nera menghela nafas panjang. “Aku nggak yakin dia bakal ganti.” Lirihnya kemudian. “Terus gimana?” Tanya Aidan. Sejak tadi, laki-laki itu lebih banyak terlihat diam. Seolah memberi kesempatan untuk Nera dan Izza menyelesaikan masalah di kepanitiaan. “Kita beri tenggat waktu saja. Kalau sampai tenggat waktu mereka belum bisa mengembalikan uang yang mereka pakai, terpaksa harus kita laporkan ke kemahasiswaan.” Nera berpendapat. Ia menatap orang di ruangan itu satu persatu. Melihat reaksi mereka. “Begitu?” Aidan mengangkat alis. “Tapi ‘kan kita nggak kekurangan uang? Kegiatan tetap berjalan dengan lancar. Bahkan kalau berdasarkan laporan Rika tadi, uang kita lebih, lho!” Nera mengerjap-ngerjapkan matanya. Sedikit terkejut dengan reaksi Aidan. Tapi, bisa saja itu hanya untuk mengujinya. “Iya.” Nera yang menjawab. “Tapi, korupsi benar-benar nggak bisa dimaafkan, Kak. Itu bisa jadi kebiasaan dan dampaknya sangat merusak.” Aidan tak menjawab. Ia justru menatap Nera tanpa ekspresi. Membuat gadis itu merasa aneh dengan reaksi Aidan. “Aku setuju, sih, sama Nera.” Suara Izza memecah hening. Pun membuyarkan kecanggungan yang tiba-tiba dirasakan Nera. “Baiklah kalau begitu.” Pungkas Aidan cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN