50 - Mencari Farhan

1726 Kata
Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Mahasiswa tetap terlihat lalu lalang di bawah naungan langit biru yang cerah. Tak terlihat sedikit pun gumpalan awan putih di sana. Berjalan di bawah langit yang seperti itu, rasanya panas sekali. Terik dan menyengat. Karena itu, tak ada yang tahan berlama-lama di luar ruangan saat cuaca seperti ini. Begitu juga dengan Nera dan Aidan. Sepasang sejoli itu memutuskan untuk meninggalkan kampus beberapa menit lalu, namun urung keluar dari area kampus saking panasnya. Mereka memilih untuk berteduh sejenak di perpustaan sebelum melanjutkan perjalanan pulang. “Kak Aidan nggak ada acara setelah ini?” Tanya Nera. Mereka duduk di ruang diskusi perpustakaan. Saat libur semester begini, ruang diskusi terlihat lebih lengang. Aidan menggeleng. “Nggak ada.” Laki-laki itu duduk bersandar tembok, kakinya diluruskan. Melepas lelah. “Kak…” Nera duduk di hadapan Aidan. “Hm?” “Menurut Kak Aidan, mereka bakal balikin duitnya nggak?” Aidan tak langsung menjawab. Ia menatap langit-langit ruangan selama beberapa saat. Kemudian ia menarik nafas dalam, dan mulai bicara. “Kalau mereka masih sayang dengan diri mereka sendiri, harusnya mereka malu dan mengembalikan uang itu.” Suara Aidan lirih. Tapi karena ruang diskusi cukup sepi, suaranya jadi terdengar lebih keras dan tegas. Nera mengangguk-angguk. Baru kemarin ia bicara dengan Fatih soal kemungkinan ayahnya menerima suap, hari ini ia harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa salah satu anggota panitia melakukan praktik korupsi. Teringat hal itu, Nera jadi mendengus kesal. “Kenapa, Ra?” Tanya Aidan. “Kok bisa mereka sampai kepikiran buat pake duit kegiatan segitu banyak? Aku bener-bener nggak habis pikir, Kak.” Nera mengerutkan kening. Ia membuang muka, menatap jalanan di depan perpustakaan yang bercahaya terkena pantulan sinar matahari. Silau. “Pada dasarnya, manusia memang rakus, Ra.” Tutur Aidan. Suaranya terdengar tenang tapi seolah memiliki makna yang dalam. “Betul.” Nera menunduk, kepalanya mengangguk pelan. Sangat setuju. “Bedanya, ada orang-orang yang masih punya hati nurani, dan ada yang tidak.” Aidan menatap langit-langit ruang diskusi, pandangannya menerawang. “Mereka pikir, tindakan mereka tidak akan berdampak apapun pada orang lain. Padahal, kasus korupsi dalam skala kecil saja bisa menyebabkan kerusakan, apalagi skala besar?” Nera menatap Aidan. Sekali lagi, mengangguk pelan. “Meski dampaknya tidak terlihat secara nyata saat itu juga, tapi bisa terlihat dalam jangka panjang. Contoh…” Aidan memperbaiki duduknya. Tangki energinya perlahan-lahan mulai terisi. “Korupsi dalam skala kecil, katakanlah dalam organsisa kayak kita sekarang. Memang tidak berdampak apapun pada gerak kerja organisasi. Tapi saat tindakan itu dibiarkan, pelaku akan terus mengulanginya. Karena merasa aman, tidak ada sanksi apapun. Lalu, saat sudah terbiasa, dia akan memulai tindakannya dalam skala besar.” Nera mendengarkan Aidan dalam diam. Menatap laki-laki itu lekat. “Kita masih bicara soal pelaku saja, belum bicara soal orang-orang di sekitarnya. Karena perilaku itu, bisa saja secara tidak sadar diajarkan pada anak keturunannya.” Ujar Aidan sengit. “Belum lagi kita bicara soal orang-orang yang terkena imbas dari perbuatan itu.” Sambung Nera lirih. “Benar.” Aidan mengangguk. Suaranya sudah terdengar tenang. “Aku… benci sekali pada orang-orang seperti itu. Orang-orang egois yang hanya memikirkan perut mereka sendiri.” Tambahnya sembari menatap Nera lekat. Gadis itu menelan ludah. Aidan terlihat sedang berbicara padanya. Tapi mana mungkin? Ia tak pernah melakukan perbuatan jahat itu. Nera membuang muka. Jengah dengan tatapan Aidan yang tampak penuh kebencian. Ia sengaja tak menanggapi. Membiarkan atmosfer tegang di sekitar mereka mereda. “Kemarin…” Aidan kembali bersuara. “Kenapa nggak jadi ngajak ketemu?” Nera menoleh. Tatapan Aidan sudah kembali seperti semula. “Nggak apa-apa. Tadinya ragu, tapi jadi yakin buat nggak ketemu dulu.” “Hm? Kenapa?” Aidan mengangkat alis. “Padahal aku langsung siap-siap pergi loh kalau kemarin kamu ngajak ketemu.” “Ah, itu…” Nera menggaruk pipinya yang sebenarnya tidak gatal. “Aku… nggak bisa ngasi tahu alasannya.” Tiba-tiba, bayangan kejadian manis di taman kota kembali berkelebat. Membuat pipi gadis itu bersemu merah. Nera memegangi pipinya, panas. Aidan yang sedikit heran dengan perubahan sikap gadis di hadapannya jadi terus menatapnya. Membuat Nera semakin salah tingkah dan akhirnya membuang muka. “Pfft…” Aidan menahan tawa. Ia tahu apa yang membuat gadis itu bertingkah begitu. “Jangan bilang…” Aidan memajukan tubuhnya. Suaranya direndahkan. “Kamu masih terbayang-bayang kecupan singkat itu?” Nera melotot, pipinya terasa semakin panas. Buk! Tinjunya mendarat di bahu kiri Aidan. Laki-laki meringis, tapi kemudian terkekeh. “Mau lagi?” Tanyanya sembari mengerling nakal. Buk! Nera benar-benar hobi memukul Aidan. Kali ini bahkan suaranya terdengar lebih keras. Tapi detik berikutnya, dua sejoli itu sudah tertawa-tawa. Tentu saja tanpa suara terbahak-bahak, mereka sedang di perpustakaan. “Oh, iya.” Aidan mengusap ujung matanya. “Rapat sama dokter Anita kapan?” “Hm? Sekitar hari Kamis atau Jum’at.” Tawa Nera juga sudah reda. “Wah, kalau hari kamis sepertinya aku nggak bisa ikut. Nggak apa-apa, ya?” Aidan memasang tampang memelas. “Oh. Ya… nggak apa-apa, sih. ‘Kan ada Kak Wina.” Aidan tersenyum. “Makasih.” “Tapi… memangnya Kak Aidan ada urusan apa?” Tanya Nera dengan wajah serius. Ia ingat sekali, belakangan ini Aidan memang sering tak menghadiri kegiatan organisasi, padahal posisinya sangat penting. Kehadirannya seringkali dibutuhkan. “Urusan pribadi.” Wajah Aidan terlihat mengeras. “Maaf, aku nggak bisa bilang tentang detail urusannya.” Nera mengangguk. Ia menghargai keputusan Aidan. Dalam sebuah hubungan, memang ada hal-hal yang memang tak perlu diketahui oleh pasangan. Dan itu hak masing-masing untuk memilih apa yang boleh diketahui dan apa yang tidak. Seperti halnya Nera yang memilih untuk tidak menceritakan soal kegundahannya kemarin, pun Aidan memilih untuk tak memberi tahu Nera tentang urusan pribadinya. Menjadi pasangan bukan berarti tidak boleh memiliki privasi. Bukan berarti tak boleh memiliki kehidupan sendiri yang tidak melibatkan pasangan di dalamnya. Justru privasi itu perlu dijaga dengan baik, apalagi jika hubungan yang dibangun masih sebatas pacaran. Karena beberapa orang, terkadang memiliki kecenderungan untuk menjajah privasi dan hidup orang lain. *** Hari Kamis, panitia inti sepakat untuk menutupi masalah korupsi uang kegiatan dari dokter Anita. Tentunya untuk sementara waktu. Jika sampai tenggat waktu Rika dan Rio belum bisa mengembalikan uangnya, maka mau tidak mau, mereka berdua akan dilaporkan ke kemahasiswaan. Pukul delapan pagi, seperti biasa, Nera dan Izza sudah tiba di kampus. Sedang duduk bersebelahan di gazebo kampus, fokus menatap layar laptop. “Sip, beres!” Seru Nera senang. Ia baru saja selesai melakukan pemeriksaan akhir seluruh laporan evaluasi yang sudah ia susun bersama Izza. “Ra, kamu yakin kita nggak bakal bilang di awal soal tindakan Rio dan Rika itu?” Tanya Izza. “Menurutku, sih, begitu. Kalau menurutmu bagaimana?” Nera justru bertanya balik. Kini, dua gadis itu duduk berhadapan. Membiarkan layar laptop Izza tetap menyala. Izza menghela nafas. “Menurutku… sebaiknya kita beri tahu di awal. Kita beri tahu juga kalau mereka sudah diberi tenggat waktu untuk mengembalikan uang yang mereka pakai. Dengan begitu, siapa tahu dokter Anita bisa menegaskan pada mereka untuk benar-benar bertanggung jawab. Karena kalau kita baru bicara setelah mereka terlanjur lepas tanggung jawab, justru repot urusannya.” Jelas gadis berkerudung panjang itu. Nera memangku dagunya. Berpikir sejenak. Apa yang dikatakan Izza memang ada benarnya. Urusan itu sepertinya akan lebih rumit jika mereka baru jujur setelah pelaku terlanjur kabur. “Haaaaai… kalian sudah datang?” Wina berlari kecil dari arah utara. Kerudung warna ungu muda yang ia kenakan terlihat berkibar-kibar. “Sudah.” Sahur Nera dan Izza bersamaan. Wina duduk di hadapan dua gadis itu. “Katanya Aidan nggak bisa datang, ya? Ada urusan apa, sih, anak itu? Aku tanya dia nggak mau jawab.” Nera mengangkat bahu. “Sama. Mungkin urusan yang benar-benar pribadi.” Wina mengangguk-angguk. Sebenarnya ia tak terlalu peduli dengan urusan Aidan, hanya sedikit penasaran saja. “Eh, kalian lagi ngobrolin apa?” Wina mengintip layar laptop Izza. “Ini, Kak…” Izza bersuara. Gadis itu menanyakan hal yang sama dengan yang ia tanyakan pada Nera. “Ah, iya. Benar juga!” Bola mata Wina membulat. “Sepertinya memang lebih baik jujur di awal. Dokter Anita pasti akan bersikap bijak, kok.” “Menurut Kak Wina begitu?” Tanya Nera. Wina mengangguk mantap. “Beliau nggak akan bertindak gegabah. Pasti masalah ini akan beliau tinjau dari berbagai sudut. Nggak mungkin beliau akan menyalahkan seluruh panitia.” Nera menggigit bibirnya. Gadis itu masih terlihat menimbang-nimbang. “Ya sudah kalau gitu, kita bicara soal itu hari ini saja.” Wina dan Izza mengangguk mantap, sepakat. Di waktu yang sama, berbeda dengan kampus fakultas kedokteran yang tampak sepi saat ditinggal mahasiswanya liburan, kantor pengadilan negeri justru terlihat ramai. Satu jam lagi, sidang lanjutan kasus penggelapan dana NICU Rumah Sakit Suka Sembuh akan digelar. Seperti biasa, puluhan awak media sudah bersiap. Menyalakan peralatan yang mereka bawa. Memastikan tak ada kendala sehingga berita panas itu bisa mereka siarkan ke masyarakat tanpa tertunda. Di sudut gedung kantor pengadilan, Aidan terlihat sedang mengobrol di telepon dengan seseorang. Ia tak lagi ditemani oleh Reza. Karena laki-laki itu harus diamankan sebelum menjadi saksi dalam sidang nanti. “Kamu sudah tanya ibumu soal flashdisk itu, Dan?” Suara Pramana terdengar bersahutan dengan suara kendaraan bermotor. Sepertinya, jaksa muda itu sedang dalam perjalanan. “Sudah, Om. Ibu memang mendapatkan flashdisk itu dari seseorang, tapi ibu sudah nggak pernah bertemu dengannya sejak hari itu.” “Siapa nama orang itu? Identitasnya?” “Farhan. Orang itu memperkenalkan diri sebagai murid ayah, Om.” Jawab Aidan. Ia memang sudah berusaha mencari informasi soal laki-laki bernama Farhan itu, tapi nihil. Tak ada petunjuk apapun. Pramana terdengar berdecak, kesal. “Kalau murid ayahmu, berarti dia juga dokter anak?” “Sepertinya… begitu.” Jawab Aidan ragu. “Dan, dengarkan aku baik-baik.” Suara Pramana terdengar serius. Aidan menelan ludah. Bersiap menerima perintah. “Masih ada waktu satu jam, cari informasi tentang semua dokter anak yang terdaftar di kota ini. Biasanya, data tempat praktik, alamat email, atau nomor telepon tempat praktik mereka juga ada. Hubungi semua yang bernama Farhan. Tanyakan soal flashdisk itu. Kamu mengerti?” “Iya, paham, Om!” Jawab Aidan mantap. “Aku punya firasat, orang ini pasti mengetahui sesuatu. Tidak mungkin dia mengembalikan flashdisk yang sudah hangus terbakar ke keluarga pemiliknya. Dia pasti punya alasan untuk melakukan itu. Dan alasannya ini sepertinya bisa membantu kita di persidangan.” Aidan mengangguk mantap, kemudian sambungan telepon terputus. Laki-laki itu bergegas keluar gedung kantor pengadilan, menuju tempat penyedia layanan wifi grafis. Ia butuh koneksi internet yang cepat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN