51 - Sidang Ketiga

1617 Kata
Ruang BEM, tak hanya berfungsi sebagai tempat rapat organisasi atau kepanitiaan. Seringkali, jika tidak ada kegiatan, ruang BEM menjadi tempat para anggota BEM berkumpul dan saling bertukar informasi. Itu, sih, bahasa halusnya. Bahasa kasarnya adalah bergosip. Di ruang BEM, gosip apapun akan cepat menyebar. Dari satu angkatan ke angkatan lainnya, dari jurusan satu ke jurusan lainnya. Karena ukuran ruangan yang cukup sempit, gosip yang sedang hangat dibicarakan di sudut kanan, bisa sampai ke sudut kiri tanpa perantara. Hari ini, ruang BEM sedang beralih fungsi menjadi fungsi tersiernya. Gara-gara seorang mahasiswa yang tadi sedang menonton sesuatu di laptopnya, berteriak kencang. “Loh! Ini ‘kan Kak Aidan?” Suaranya menggema ke seluruh ruangan. Jari telunjuknya mengarah ke layar laptopnya. “Kenapa Kak Aidan?” Salah seorang mahasiswa menanggapi. “Sini, deh, coba lihat.” Ia memanggil kawannya itu. Tapi, tanpa dikomando, beberapa mahasiswa lain yang juga berada di ruang BEM ikut mendekat. “Ini apa?” Tanya salah satu dari mereka. “Itu loh kasus korupsi NICU yang lagi rame. Kok ada Kak Aidan, ya? Bentar, bentar. Aku gedein suaranya.” Jemari mahasiswa itu menekan-nekan tombol keyboard laptopnya. “Sebelum hari ini, saya tidak tahu dari mana flashdisk itu berasal.” Suara Aidan terdengar lamat-lamat dari speaker laptop. Semua mahasiswa yang ada di ruang BEM mendengarkan seksama. Beberapa terlihat mengangguk-angguk, membenarkan bahwa itu memang Aidan yang mereka kenal. Lagipula, semua mahasiswa yang ada di ruangan itu, tak ada yang tak mengenal sosok ketua BEM FK itu. “Wah, kok bisa Kak Aidan ada di sana?” Seorang mahasiswa lain berkomentar hal yang serupa. Tapi tak ada yang menjawab, karena memang tak ada yang tahu. “Saya hanya secara tak sengaja menemukan benda itu beberapa tahun lalu. Dan beruntung, beberapa waktu kemudian saya bertemu Om Reza yang ternyata adalah seorang ahli restorasi data.” Suara Aidan tenang. Seperti biasa, kemampuan berbicaranya di depan publik itu memang cukup baik. Di tempatnya duduk, Reza mengangguk mantap. Ia baru saja kembali ke kursinya, usai memberikan kesaksian. Lalu, pihak Bambang mulai mempertanyakan asal muasal flashdisk yang diserahkan Pramana sebagai bukti. Karena itu, Aidan dipanggil. “Jangan berbelit-belit, langsung ke intinya!” Dari tempatnya duduk, Bambang meradang. Ia sudah tahu pihaknya sedang berada di ujung tanduk. Tepat di belakang kursi Bambang, Baskara juga hadir. Wajahnya sudah pucat, keringat dingin bercucuran. Ia tak menyangka, file asli proposal pembangunan NICU itu ternyata tersimpan rapih di dalam flashdisk yang gagal terbakar. Bahkan, video dan foto dokumentasi selama rapat dan proses pembangunan pun ada di sana. Ini benar-benar serangan mematikan yang dikirimkan pihak Pramana pada pihak Bambang. “Baiklah…” Aidan memperbaiki duduknya. Ia menarik nafas dalam. “Beberapa menit lalu, akhirnya saya bisa terhubung dengan penemu flashdisk itu. Sayangnya, saya belum berhasil membawanya ke sidang ini.” Seketika, ruang sidang riuh. Beberapa menyoraki Aidan yang ternyata tak bisa memberi saksi apapun. Belasan kamera segera menyoroti wajahnya. Tapi laki-laki itu tak gentar sama sekali. Dengan serangan pertama dari Reza tadi, harusnya posisi Bambang sudah tidak aman. “Hadirin dimohon tenang!” Seorang panitera berseru tegas. Perlahan, suara riuh mulai reda. “Yang Mulia…” Saat ruangan sidang tak lagi ramai, Pramana bersuara. Ia berdiri dari duduknya. “Silakan…” Sang hakim ketua mengangguk takzim. “Izinkan saya menghadirkan saksi ahli selanjutnya sembari menunggu saksi yang sedang dihubungi oleh anak muda itu.” Pramana memberi usul. Majelis hakim terlihat berdiskusi, menanggapi usulan Pramana. Di tempatnya duduk, Bambang terlihat semakin gelisah. Berulang kali ia memberi kode pada hakim ketua untuk menolak. Tapi tak mungkin bisa, menghadirkan saksi ahli adalah hak Pramana. Tak mungkin majelis hakim menolak permintaan itu. “Baiklah. Panggil saksi ahlimu selanjutnya.” Pramana tersenyum. Aidan dipersilakan meninggalkan tempat. Ia beranjak dari duduknya, kembali ke kursi. Bergabung bersama Reza. “Wah, Kak Aidan jadi saksi, ya?” Salah seorang mahasiswa nyeletuk. “Kayaknya gitu.” Yang lain menimpali. “Kok bisa, ya?” Yang lain mengutarakan rasa penasaran. “Ssssttt…” Mahasiswa yang duduk paling depan mendekatkan jari telunjuk ke bibir. “Jangan berisik! Dengarkan aja sampe selesai.” Tegurnya. Seketika, ruang BEM kembali senyap. Hanya suara tayangan sidang di layar laptop yang terdengar. Di sana, layar laptop mahasiswa tadi menampilkan Handoko yang sedang berjalan ke tengah ruang sidang. Duduk di kursi saksi, kemudian disumpah. Handoko terlihat berwibawa dan penuh percaya diri. *** “Syukurlah kita bicara sejak awal, itu benar-benar keputusan yang baik.” Komentar Izza. Ia baru saja keluar dari ruangan dokter Anita. “Iya. Yah, meski rapat jadi panjang dan rumit, setidaknya dokter Anita ada di pihak kita.” Nera menimpali. Ia berjalan beriringan dengan Izza. Matanya melirik ke belakang, tempat Rika dan Rio juga berjalan bersisian. Tiga puluh menit lalu, Rika dan Rio akhirnya dipanggil ke ruangan dokter Anita. Mereka diberi peringatan untuk benar-benar bertanggung jawab atas tindakan mereka. Dan sepertinya, efek gertakan yang diberikan dokter Anita jauh lebih hebat. Pasangan mahasiswa itu terlihat murung sepanjang pertemuan tadi. “Setelah ini… kalian mau ke mana?” Wina yang bertanya. Izza dan Nera saling pandang. “Kita mau ke ruang BEM dulu, Kak. Mau naruh proposal ini di sana aja.” Izza menunjukkan tumpukan kertas di tangannya. “Kalau gitu kita pisah si sini, ya? Aku masih ada urusan lain.” Wina melambaikan tangan, kemudian ia memisahkan diri dari rombongan. Sesampainya di depan ruang BEM, Nera menoleh ke belakang. “Rika, Rio, tenang aja. Masalah ini nggak akan bocor keluar. Tapi, kalian harus benar-benar menepati janji kalian dengan dokter Anita tadi.” Rika mendengus. Wajahnya menyiratkan kebencian yang dalam. “Ngapain, sih, kamu harus lapor segala ke dokter Anita? Kamu nggak kasihan sama kita? Kalau sampai ada apa-apa sama pendidikan kita gimana? Kamu nggak mikir sampai sana?” Tanyanya sengit. Darah Nera seketika mendidih. “Hei, kamu nggak ngaca bicara begitu?!” Semburnya cepat. Matanya melotot marah. “Waktu kalian pake duit kegiatan, mikir nggak? Gimana kalau sampai kita kekurangan duit? Gimana kalau kegiatan jadi nggak berjalan lancar? Seandainya nggak ketahuan sama Izza dan malah ketahuan sama dokter Anita, kalian mikir nggak bakal nyelakain temen-temen yang nggak bersalah?” Izza yang berdiri di sebelahnya segera mendekat, mengusap punggung Nera. “Sabar, Ra. Bisa saja di dalam lagi ada temen-temen lain.” Nera mendengus. “Kalian yang salah kok kalian yang nyolot!” Pungkas Nera kesal. Ia segera balik badan, tak lagi memedulikan dua sejoli yang sedang menggerutu itu. “Wah, datang datang!” Seorang mahasiswa terdengar memekik dari dalam ruang BEM. Nera mengernyit. “Siapa yang datang? Kita?” Izza mengedikkan bahu. Kemudian berjalan cepat masuk ke dalam ruangan. Di dalam sana, tidak kurang dari sepuluh mahasiswa sedang duduk bergerombol. Menonton sesuatu yang sedang tayang di layar laptop yang ada di hadapan mereka. “Kalian nonton apa?” Tanya Izza ke kerumunan. “Oh, ini… sidang NICU itu, loh, Kak.” Salah seorang mahasiswa menjawab. “Ah…” “Kamu tahu?” Izza menatap Nera. “Hm… begitulah.” Jawabnya sambil lalu. Nera mendekat ke kerumunan, ikut menonton. “Eh?” Pekiknya tiba-tiba. Membuat kerumunan mahasiswa itu menoleh padanya. “Kenapa?” Tanya salah seorang mahasiswa. “Aku kenal orang itu.” Nera menunjuk laki-laki yang sedang duduk di kursi saksi. Memberikan kesaksian. “Oh ya?” Tanya seorang mahasiswa, wajahnya terlihat antusias. Nera mengangguk mantap. “Iya. Itu papanya temenku.” “Dokter Farhan?” Yang lain ikut bertanya. “Iya. Dokter anak, ‘kan? Iya. Dia itu papanya temenku.” Nera meyakinkan. Kemudian, layar laptop bergerak, menyoroti wajah Bambang yang terlihat berkedut marah. “Nah, kalo itu…” Kalimat Nera tertahan. Ia teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu, saat instagramnya diserbu puluhan komentar kebencian. Sayangnya, ia sudah terlambat. Kerumunan itu sudah terlanjur penasaran. “Kamu juga kenal? Siapa? Siapa?” Nera menelan ludah. Ia melirik Izza yang berdiri di sebelahnya. Rupanya, gadis itu juga tengah menatapnya. Menunggu kelanjutan kalimatnya. “Itu… ah, bukan siapa-siapa.” Jawab Nera akhirnya. Ia tidak yakin untuk memberitahu banyak orang tentang fakta itu. Komentar-komentar kebencian itu masih sering menghantuinya. “Yaaaah...” Keluh semua orang serentak. “Nggak seru!” Kerumunan mahasiswa itu kembali melihat ke layar laptop. Di sana, Farhan masih memberikan kesaksian. Nera menyimak dari tempatnya. Ia benar-benar tak menyangka ternyata sepasang sahabat itu, ayahnya dan Farhan, akan berseteru di ruang sidang. Meski kesaksian Farhan tak menyerang telak Bambang, tapi tetap saja ia tak berada di kubu yang sama dengan sahabatnya itu. Tentu saja bagi Farhan, memutuskan untuk bersedia menjadi saksi di persidangan hari itu sangatlah berat. Melawan sahabatnya sendiri. Artinya, mungkin menghancurkan tali persahabatan yang sudah bertahun-tahun dibangun. Namun, hati nurani Farhan tak bisa berbohong. Ia harus membuat pilihan, dan tentunya pilihan yang benar. Maka memberi kesaksian yang benar adalah pilihannya hari itu. Beberapa menit berlalu, Farhan terlihat beranjak dari kursi. Mundur ke belakang. Sepertinya kesaksiannya sudah selesai. Terbukti dari riuhnya kerumunan hadirin mengomentari kesaksiannya barusan. Namun, keriuhan itu tidak ada artinya dibanding bom molotov yang akan dilemparkan Pramana sebentar lagi. “Yang mulia…” Pramana kembali berdiri. “Kamu belum selesai?” Sang hakim ketua menatap Pramana heran. Sejujurnya, ia sudah muak dengan persidangan ini. Hasil akhirnya sudah pasti, bahkan masyarakat juga sudah bisa menilai. Tak ada harapan untuk Bambang. Pengacara kondang itu kalah telak. Tapi, ia masih berharap di detik-detik terakhir persidangan, Bambang bisa melakukan sesuatu. “Ah, maafkan saya.” Pramana jadi malu sendiri. Ia lupa dengan aturan sidang. Hakim ketua itu mendengus, pelan. “Silakan tanggapanmu.” Katanya pada pihak Bambang. Laki-laki yang rambutnya beruban sebagian itu terlihat berdehem pelan. Mengambil beberapa lembar kertas, kemudian berdiri. “Kami juga akan menghadirkan saksi ahli, Yang Mulia. Tentu saja untuk memvalidasi bahwa dokumen yang kami miliki juga asli.” Ujar Bambang dengan penuh percaya diri. “Baiklah, persilakan dia masuk.” Bambang tersenyum. Mengangguk pada seorang petugas yang ada di dekat pintu masuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN