Pertama kali bersama

1103 Kata
Bahran hanya terpaku menatap Hanum yang sedang memberikan pidato singkatnya tentang konsep yang diangkat oleh Bagas. Konsep yang bertemakan memberikan kebahagiaan pada penderita kanker. Kebetulan ibu Bagas adalah seorang dokter. Ia melihat bagaimana Hanum akrab dengan keluarga Bagas. Meski tangannya di genggam Cintia tapi matanya tak lepas memandang Hanum yang sedang bernyanyi bersama anak anak penderita kanker. Bahran ikut larut saat Hanum mengucapkan selamat ulang tahun pada anak penderita kanker. Ia ingat ibunya yang juga penderita kanker. Wanita itu menaruh harapan padanya, ia tahu keinginan ibunya yaitu memiliki seorang cucu. Awalnya, ibunya begitu kecewa ketika Cintia memilih membatalkan pernikahan. Ibunya jatuh sakit, ibunya baru pulih setelah tahu kalau pernikahan tidak jadi dibatalkan. Pengantinnya yang diganti. Bahran mengenalkan Hanum pada ibunya dan membiarkan istrinya bergaul dengan ibunya. Ia tetap komit dengan janjinya pada Cintia untuk menunggu hingga dua tahun setelah kontrak kerja Cintia selesai. Ia bahkan tak memandang sedikitpun Hanum, tak peduli apa yang dirasakan gadis itu. Ia hanya meninggalkan uang cukup banyak direkening gadis itu. Tapi sekalipun ia tak pernah mengajak istrinya berbicara. " Kenapa sayang ? " tanya Cintia sambil mengelus pipi Bahran. Hanum sempat melihat hal itu, tapi segera ia alihkan matanya dari pemandangan yang membuat hatinya berdenyut. " Tidak ada apa apa " jawab Bahran sambil tertunduk. Hatinya merasa tak nyaman ketika Bagas membimbing Hanum turun dari podium. Hanum pamit pada Bagas untuk pulang, awalnya Bagas berusaha menahan Hanum begitupun keluarga Bagas namun Hanum mengatakan ia akan balik ke tempatnya bekerja besok dan ada sesuatu yang harus ia ambil di apartemen kakaknya. Ketika tamu tamu menikmati hidangan, Bahran tidak lagi melihat keberadaan Hanum maupun Bagas, pikirannya berkecamuk. Apakah dua orang itu sengaja menyisih dari keramaian untuk menikmati waktu berdua. Matanya berusaha mencari cari sosok Hanum maupun Bagas. Bahran mencoba bertanya pada kerabat Bagas yang ia kenal. Jantungnya berdetak cepat saat mendengar jawaban Hani, sepupu Bagas. Kakak sepupunya itu sedang mengantarkan Hanum pulang. Bahran segera menuju mobilnya, ia melihat mobil Bagas melintas di depannya, dalam gerakan cepat ia masuk mobil dan memutar kemudi. Hampir saja ia kehilangan jejak mobil Bagas, ia terkejut ketika melihat arah mobil Bagas ke apartemen yang ditinggali Hanum selama ini. Jantungnya semakin berdetak kencang, apa Hanum akan mengajak Bagas masuk ke apartemen. Jika mereka hanya berdua, bisa bisa...nggak boleh itu terjadi !. Batin Bahran jadi ribut sendiri melihat Bagas membukakan pintu mobil untuk Hanum. Bahran menghirup nafas lega setelah melihat mobil Bagas pergi meninggalkan gerbang apartemen. Ia kemudian melajukan mobilnya menuju basement. Sebelum keluar ia mengirim pesan pada Cintia kalau ia ada rapat penting dengan pemegang saham. Bahran tak begitu sulit masuk, karna passwordnya masih sama saat ia beritahu Hanum bagaimana masuk ke dalam apartemen milik mereka. " Siapa ? " suara Hanum dari kamar. Bahran yang tertarik melihat diary Hanum yang berjudul dia yang ku cint, tak menjawan pertanyaan Hanum. Ia mulai membuka satu persatu lembar. Ia melihat sketsa dirinya dalam sebuah kertas yang terselip dalam diary. BUG ! BUG ! terdengar suara benda dipukul. " Aduuuuuh..." teriak Bahran sambil memegang keningnya yang di pukul Hanum. Hanum terkejut melihat suaminya yang memegang keningnya yang berdarah. " Kak Bahran, ngapain disini ? " Hanum segera membuang pemukul baseball yang selalu ia sediakan di kamar untuk berjaga jaga karena selama ini ia hidup sendiri. " Jangan banyak tanya tolongin ini " tunjuk Bahran pada keningnya. Hanum segera mencari kapas di kamar. Ia kembali dengan handuk kecil dan obat merah. Hanum mengajak Bahran duduk. Bahran menatap sepasang mata yang memandangnya cemas. Ada rasa membuncah di hatinya saat membaca kalimat Hanum yang memuji seorang pria yang jelas di sana tertulis namanya. " Au...! pelan pelan Hanum " rengek Bahran saat ia merasa tekanan jemari Hanum membuat perih lukanya. Ia menahan tangan Hanum bergerak di keningnya. " Jangan kekanakan, luka dikit doang " " Ini sakit Hanum " Bahran kembali menatap mata Hanum. Ia teringat bagaimana Hanum mencium bibirnya, rasanya ingin itu terjadi lagi. " Ya...sudah obatin sendiri " Hanum berusaha menarik tangannya dari tangan Bahran. Namun laki laki itu menahannya. " Tanggung jawab, apa kamu mau aku lapor polisi. Tega kamu pukul suami sendiri " oceh Bahran yang membuat Hanum terdiam. " Suami yang tak pernah pulang " lirih Hanum, giliran Bahran terdiam. Bayangan ketika ia meninggalkan Hanum di malam pertama mereka kembali berputar di kepala Bahran. Ia kembali teringat wajah sendu Hanum memandangnya pergi. " Num, buatkan saya makan " pinta Bahran ketika Hanum beranjak dari sofa. Hanum menoleh pada laki laki yang sedang membuka kemejanya. Ia mencari remote tv di atas meja. " Ekhm ! kak Bahran yang saya hormati, di kulkas nggak ada bahan makanan. lagian besok saya mau pergi, jadi sana gih beli makanan di luar " Hanum berbalik tapi sebelum ia sempat melangkahkan kaki, tangannya di tahan Bahran yang tiba tiba sudah berdiri di dekatnya. Kemeja itu kembali terpasang. " Kita belanja sekarang " ucapnya sambil menarik tangan Hanum agar mengikutinya. " Kakak kok suka maksa gini sih, kakak yang lapar kok aku yang repot. Tadi kan ada kak Cintia. Minta dia masak buat kakak, masak mie instan apa susahnya sih " cerocos Hanum dalam lift. " Kamu bisa diam nggak, berisik sekali lagi, aku cium mau ??!! " Hanum reflek menutup bibirnya, Bahran memandangnya dengan senyum. Ia kembali teringat bagaimana cara Hanum menciumnya dan ia membalasnya. Sepanjang jalan Hanum hanya diam, dia teringat saat kak Cintia memegang tangan Bahran. Ia yang sudah halal menyentuh Bahran sama sekali tak pernah menyentuh jemari itu. Hatinya sakit sekali saat Bahran membalas tatapan kakaknya. Tak ada yang salah disini, mereka saling menyintai sejak pertama kali bertemu, hanya dirinya yang salah menjatuhkan hatinya. " Kenapa diam ? " tanya Bahran sambil melemparkan sebuah permen. Hanum menoleh menatap sepasang mata suaminya yang sebentar lagi akan membawa nasib perkawinan mereka ke meja pengadilan. " Kenapa kita harus bertemu ya kak ? " tanya Hanum seperti terbawa dalam alam bawah sadarnya. ia ingat bagaimana pertama kali menyadari perasaannya pada laki laki disebelahnya. Suara deru mobil menyamarkan suara Hanum. " Kamu ngomong apa ? " Hanum melihat wajah yang mendekat padanya, ia lalu menoleh ke samping. " Nggak ada, lupakan saja " Malam itu Hanum membuatkan makan malam untuk Bahran, tadi saat belanja laki laki itu membeli banyak barang. Ia bilang ia akan tinggal di apartemen Hanum. Ia minta satu hari Hanum mengajarkannya membuat menu yang ia suka. Hanum tak bisa menolak ketika Bahran minta mereka tidur dalam satu kamar. Laki laki itu berjanji tidak akan terjadi apa apa. Ia tak tega membiarkan Hanum tidur di sofa dan dia pun tak bisa tidur di sofa. Sepanjang malam Hanum tak bisa tidur. Untuk terakhir kali Tuhan memberikan kesempatan berdekatan untuk orang yang ia cintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN