Chapter 12

1795 Kata
“Byll” Panggil Delwyn begitu ia membuka pintu kamar Byll dan menemukan pria itu baru saja melepas kemejanya hendak mandi.    “Ada apa?” Tanya Byll. “Ayo main” Ajak Delwyn sembari berjalan masuk ke dalam Byll kemudian duduk di tempat tidur.    “Aku mau mandi” Ucap Byll yang secara tak langsung menolak ajakan Delwyn.    “Ayolah. Ayo main. Satu putaran saja” Bujuk Delwyn.    “Main apa?” Tanya Byll. “Basket” Jawab Delwyn. “Ya? Ya? Ya? Tiga putaran saja” Bujuknya.    “Tadi kau bilang satu putaran” Ucap Byll. “Kapan? Aku tidak pernah mengatakannya” Bantah Delwyn. “Sudahlah, ayo. Kau terlalu lama berpikir” Lanjutnya.    Ia pun langsung menarik Byll yang hanya mengenakan celana pendeknya keluar dari kamar menuju lapangan basket yang berada tak jauh dari taman belakang dimana di sana Will dan Conradinez telah menunggu mereka berdua di lapangan. Bahkan Macy juga berada di sana. Bedanya wanita paruh baya itu hanya duduk di sisi lapangan seraya menikmati camilan dan teh hijaunya.    “Sejak kapan kalian berkumpul di sini?” Tanya Byll. “Satu jam yang lalu” Jawab Conradinez. “Tadi kau pergi jadi kami pemanasan dulu” Sambung Delwyn.    “Aldrich belum pulang?” Tanya Byll. “Ya. Paling saat ini dia masih berurusan dengan istri-istrinya di kantor” Jawab Delwyn yang merujuk pada tumpukan kertas-kertas di atas meja Aldrich.    “Cepatlah, Boy” Seru Will. Delwyn dan Byll lantas segera berlari menuju lapangan.    “Siapa yang akan satu tim dengan Daddy?” Tanya Delwyn.    “Kau” Seru Byll dan Conradinez bersamaan pada Delwyn. “Tidak mau” Tolak Delwyn. “Kau saja” Lanjutnya seraya menunjuk Conradinez.    “Tidak mau. Kau saja” Tolak Conradinez. “Aku juga tidak mau. Kalau begitu kau saja Byll” Ucap Delwyn.    “Aku tidak mau. Kau saja” Tolak Byll. “Memangnya kenapa kalau kalian satu tim dengan Daddy?” Tanya Will.    “Daddy lambat” Jawab Delwyn spontan. Dan sedetik kemudian, ia pun langsung mendapat tatapan tajam dari sang Ayah. “Aku bercanda, Dad” Lanjutnya dengan cepat.    “El tidak bercanda, Dad. Dia selalu mengeluh seperti itu setiap kita selesai bermain” Sahut Conradinez yang langsung mendapat tatapan tajam dari Delwyn.    Dari pada itu, Delwyn yang merasakan tatapan mematikan sang Ayah pun segera berlari dari sana. Karena yang terjadi berikutnya adalah aksi kejar-kejaran antara Tom and Jerry seperti yang biasa kalian saksikan di layar televisi. Alhasil, hari ini mereka pun tak jadi bermain bola basket.    “Jangan dengarkan Con, Dad! Aku tak pernah mengatakan itu” Teriak Delwyn yang melarikan diri sementara Will mengejarnya di belakang sana.    “Berhenti berlari dan datang ke sini!” Pintah Will. “Aku benar-benar hanya bercanda, Dad!” Teriak Delwyn lagi. “Cepat ke sini!” Pintah Will lagi. Namun bukannya berhenti, Delwyn malah semakin mempercepat larinya.    “Tidak mau!” Teriak Delwyn. Sementara itu, Byll dan Conradinez terkekeh melihat kedua pria berbeda generasi tersebut. Walau Ayah mereka tak muda lagi, tapi tak dipungkiri kalau stamina pria paruh baya itu masih seperti anak muda.    “Berhenti mengerjai Daddy kalian” Ucap Macy saat Byll dan Conradinez menghampirinya.    “Kami tidak berniat seperti itu, Mom. Daddy saja yang terlalu serius” Ucap Conradinez.    “Mommy tahu kamu sengaja. Mommy selalu mendengarkan percakapan kalian” Ujar Macy.    “Iya, iya, kami tidak akan mengulanginya” Ucap Conradinez.    “Apa ini dari Aunty Rachel, Mom?” Tanya Byll yang diangguki sang Ibu.    “Kapan Aunty datang ke sini?” Tanya Conradinez. “Tadi pagi. Kamu dan Al sudah berada di kantor sedangkan Byll dan El masih tidur” Jawab Macy.    “Kapan-kapan aku akan pergi mengunjunginya” Ucap Conradinez. “Oh ya, Mom. Bagaimana kabar putri Aunty Rachel? Dia sudah kembali ke Indonesia?” Tanyanya.    “Belum” Jawab Macy. “Mommy juga tidak tahu kapan dia akan pulang. Tapi sepertinya masih agak lama” Lanjutnya.    “Siapa? Siapa yang akan pulang agak lama?” Tanya Will yang datang menghampiri mereka dengan nafas ngos-ngosan seraya menjewer sebelah telinga Delwyn yang terus mengaduh kesakitan sejak tadi.    “Putri Rachel” Jawab Macy yang hanya dibalas anggukan oleh Will.    “Dad! Lepaskan telingaku dulu!” Pintah Delwyn seraya mencoba melepas tangan Will  yang menjewer telinganya. “Mom! Mom! Tolong aku, Mom! Daddy mau melepas telingaku” Teriaknya meminta pertolongan pada sang Ibu.    “Lepaskan, Bee” Pintah Macy yang langsung dituruti oleh Will. “Aw!” Seru Delwyn seraya memegang telinganya yang pastinya sekarang telah memerah.    “Kapan kamu akan kembali ke Paris, Byll?” Tanya Will seraya duduk di samping Macy yang langsung mengelap keringat sang suami seolah tak terjadi apa-apa. Sementara Delwyn masih meratapi nasib telinganya yang masih sakit.    “Jika tidak ada yang terlalu mendesak, aku akan berangkat empat hari lagi” Jawab Byll.    “Lalu kamu kapan?” Tanya Will pada Delwyn. “Besok” Ketus Delwyn kemudian pergi dari sana. Namun sebelum pria itu benar-benar menghilang dari pandangan mereka, ia berhenti. “El marah sama Daddy” Kesalnya kemudian pergi melanjutkan langkahnya membuat mereka berempat menggelengkan kepala masing-masing.    Tak lama setelah kepergian Delwyn, ponsel Byll berbunyi. Ia pun segera mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Keningnya mengerut saat melihat kode nomor Paris kembali tertera di sana.    “Byll jawab telepon dulu, sekalian mau ke kamar” Pamitnya kemudian pergi dari sana setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya.    “Halo” Sapanya.        “Kenapa kau memblokir nomorku?” Tanya si penelepon yang tak lain adalah Lauren membuat Byll mendengus. Jika tahu yang menelepon adalah Lauren, ia tak akan pernah menjawabnya. Ia menjawab panggilan tersebut karena ia pikir mungkin saja itu telepon penting yang berasal dari kantor. Tapi nyatanya zonk.    “Kenapa kau terus meneleponku? Kau ingin menerorku?” Tanya Byll balik.    “Meneror?” Tanya Lauren kemudian terkekeh. “Untuk apa aku menerormu?” Lanjutnya.    “Lalu kenapa kau selalu meneleponku?” Tanya Byll lagi.    “Karena aku suka” Jawab Lauren. “Apa?” Tanya Byll tak mengerti. “Aku suka meneleponmu dan mendengar suaramu” Jawab Lauren membuat kerutan di kening Byll semakin dalam.    “Jangan bicara omong kosong” Pintah Byll seraya masuk ke dalam kamarnya.    “Siapa yang bicara omong kosong?” Tanya Lauren. “Cepatlah kembali ke Paris. Aku tak sabar ingin bertemu denganmu lagi” Lanjutnya.    “Berhenti meneleponku” Pintah Byll mengabaikan ucapan Lauren kemudian memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Setelah sambungan teleponnya terputus, ia lalu memblokir nomor tersebut.    “Dasar wanita gila” Maki Byll seraya menelepon Leah. “Halo” Sapa Leah di seberang sana. “Leah. Jika ada hal mendesak yang harus segera kuketahui, hubungi aku menggunakan telepon kantor. Paling tidak gunakan nomormu saja” Pintah Byll.    “Baik, Sir” Ucap Leah. Setelahnya, Byll pun memutuskan sambungan teleponnya kemudian melempar ponselnya ke tempat tidur seraya menghela nafas. Ia harap Lauren akan berhenti menghubunginya agar ia bisa hidup dengan aman dan tenang.    -------                          Di sebuah ruangan berukuran dua puluh kali dua puluh itu terdapat beberapa manekin yang dibaluti gaun-gaun indah. Sebuah mesin jahit berada di bagian timur ruangan. Puluhan lampu menerangi ruangan tersebut. Sementara di tengah ruangan tersebut terdapat seorang wanita yang tengah sibuk melakukan pekerjaannya. Dan wanita itu adalah Lauren.    Mata Lauren menatap fokus ke depan dengan tangan yang bekerja dengan rapi. Ia bahkan tak membiarkan seekor lalat pun mengganggu konsentrasinya. Saat ini ia tengah memotong kain untuk gaun pengantin Vanessa menjadi beberapa potongan.    Dan setelah potongan terakhir selesai dipotong, ia pun menyatukan potongan-potongan kain tersebut pada sebuah manekin dengan menyatukannya menggunakan beberapa jarum pentul.    Setelah semuanya menyatu, Lauren memeriksa kembali kain-kain tersebut dan memastikan bahwa tak ada yang salah sebelum ia mulai menjahitnya. Dan setelah memastikan bahwa semuanya aman, ia lantas berdiri tegak lalu meregangkan otot-otot tubuhnya yang sangat lelah.    Yang ia kerjakan hari ini bahkan baru dalaman gaun pengantin tersebut. Sementara untuk luarannya, ia berencana akan mengerjakannya besok.    Sudah cukup lama ia tak mengerjakan gaun pengantin sendiri seperti ini. Terakhir kali ia melakukannya beberapa bulan yang lalu. Itu pun karena pengantin wanitanya adalah putri seorang menteri. Untung saja ia menyewa seseorang untuk selalu membersihkan ruang kerja pribadinya ini agar tidak berdebu.    Dan sekarang, rasanya ia ingin langsung pulang dan berendam di dalam air hangat dengan aroma kesukaannya jika saja sebuah panggilan tak masuk ke ponselnya. Saat melihat nama si penelepon adalah Laura, ia pun segera menjawabnya.    “Ada apa?” Tanya Lauren to the point karena tak biasanya Laura meneleponnya saat jam kerja seperti ini.    “Maaf mengganggu Anda, Miss” Ucap Laura. “Tapi ada yang ingin bertemu dengan Anda dan beliau sekarang berada di butik” Lanjutnya.    “Siapa?” Tanya Lauren. “Perdana menteri bersama putrinya, Miss” Jawab Laura. “Beliau mengatakan ingin berbicara dengan Anda langsung” Lanjutnya.    “Baiklah, aku akan segera ke sana” Ucap Lauren kemudian memutuskan sambungan teleponnya.    Lauren lantas menghela nafas lelah. Niatnya untuk berendam di air hangat pun harus tertunda. Dengan malas, ia berdiri dari duduknya kemudian mengambil tasnya lalu pergi dari sana tanpa membereskan barang-barangnya lebih dulu. Ia pun sengaja melakukan itu karena ia tak suka melihat ruangan yang sangat bersih saat ia kembali bekerja nanti. Aneh, bukan?    Satu lagi, ruang kerja pribadinya ini memang tak berada di gedung yang sama dengan butiknya, jadi ia memerlukan waktu untuk bisa sampai di sana. Entah apa alasannya saat itu hingga membuat ruang kerjanya berada di lokasi yang berbeda dari butik maupun gedung produksinya.    Dan setelah beberapa menit berkendara, akhirnya ia sampai di butiknya dan melihat beberapa pengawal berada di depan pintu butik. Beberapa pejalan kaki bahkan sampai melihat-lihat butiknya untuk mencari tahu apa yang terjadi.    Tak ingin membuang waktu, ia pun segera masuk ke dalam untuk bertemu dengan sang perdana menteri dan putrinya itu. Namun saat ia hendak masuk ke dalam, seorang pengawal mencegat jalannya.    “Maaf, saat ini kau tidak bisa masuk” Ucap pengawal tersebut yang langsung mendapat tatapan tajam dari Lauren.    “Miss” Panggil Laura seraya menghampiri Lauren saat melihat wanita itu ditahan di depan pintu. “Dia Miss Lauren Michelle, orang yang ingin ditemui perdana menteri” Lanjutnya membuat pengawal yang menahannya tadi pun terlihat malu kemudian membiarkannya masuk.    “Silakan, Miss” Ucap Laura. Setelahnya, Lauren pun masuk ke dalam.    “Di mana mereka?” Tanya Lauren. “Saat ini perdana menteri dan putrinya berada di ruangan, Anda” Jawab Laura yang membuat Lauren menghentikan langkahnya kemudian menatap Laura. Pasalnya ia tak suka jika ada orang yang masuk ke dalam ruangannya tanpa izin darinya. Siapa pun itu. Dan Laura tahu hal itu dengan jelas.    “Maaf, Miss. Tapi perdana menteri memaksa untuk menunggu di ruangan Anda” Ucap Laura seraya menunduk takut.    Lauren pun menghela nafas mendengar hal itu. Ingin marah pun percuma. Semuanya telah terjadi. Ia lantas melanjutkan langkah menuju ruangannya.    “Maaf saya terlambat” Ucap Lauren begitu masuk ke dalam ruangannya seraya sedikit membungkuk pada perdana menteri Vincent Dutronc kemudian segera duduk di single sofanya.    “Tidak apa-apa” Jawab Vincent dengan nada tegasnya. “Perkenalkan, saya Lauren Michelle” Ucap Lauren seraya menyodorkan tangannya. “Vincent Dutronc” Balas Vincent. “Dan ini putriku, Sophie Dutronc” Lanjutnya. Lauren dan Sophie pun saling berkenalan. “Ada yang bisa saya bantu, Sir?” Tanya Lauren. “Beberapa bulan lagi putriku menikah dan putriku ingin kau yang mendesain gaun pengantinnya” Jawab Vincent membuat Lauren tersenyum. “Jika boleh tahu, kapan tepatnya pernikahan putri Anda?” Tanya Lauren. “Tiga bulan lagi” Jawab Vincent. “Tiga bulan lagi? Baiklah” Ucap Lauren menyanggupi tawaran tersebut. “Tapi saya tidak bisa menyelesaikannya hingga satu bulan ke depan karena saat ini saya juga tengah memiliki satu proyek. Jika Anda bersedia, saya akan menyelesaikannya dua bulan ke depan” Jelasnya. Vincent lalu menoleh kepada sang putri untuk meminta keputusan. Dan tanpa ragu, Sophie menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Lauren. “Baiklah” Ucap Vincent. Ucapan Vincent tersebut pun memberikan tanda pada Lauren bahwa hingga dua bulan ke depan, waktu istirahatnya akan kembali terganggu. -------                            Love you guys~           
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN