bab 7

1138 Kata
Notifikasi transfer berhasil. Lima ratus ribu sudah masuk ke rekening Randi. Hati Marissa sesak, kenapa ia harus berganti posisi dengan suaminya? Bukankah seharusnya suami yang menjadi tulang punggung keluarga? Tapi dalam rumah tangganya hal tersebut justru terbalik. Obat yang diberikan Feri benar-benar manjur. Perlahan suhu tubuhnya mulai normal seperti biasa, hanya meninggalkan flu dan batuk saja yang masih dirasakannya. Marissa akhirnya bisa memejamkan kedua matanya dan tertidur lelap. Entah dalam keadaan sadar atau tidak, Marissa masih bisa merasakan sentuhan seorang lelaki yang telah menghancurkan harga dirinya. Seharusnya Marissa membenci, hingga ingin membunuhnya. Tapi anehnya sentuhan itu justru semakin diingatnya, menjadi sebuah momen mengesankan. Apa dia sudah gila? Entahlah. Marissa tidak tau. Hanya saja dalam bayangan mimpi saja, ia masih bisa merasakan bagaimana El menyentuhnya. "Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik?" Tahya Emak. Pagi sekali, Emak sudah datang ke kamar yang ditempati Marissa. Emak juga membawa bubur ayam untuk sarapan dan tidak lupa membawa obat yang sama. Seperti yang diberikan Feri semalam. "Aldan mana?" Tanya Marissa, karena ia tidak melihat Aldan bersama Emak. "Dia sudah berangkat ke sekolah." Marisa menghela lemah. Seharusnya ia yang mengantar Aldan sekolah, karena momen seperti ini sangat jarang terjadi. "Jam berapa Aldan pulang?" Perlahan, Marissa pun bangkit dari tempat tidurnya. "Jam sepuluh." Marisa melihat jam dinding yang ada di sebelah kanannya dan waktu masih menunjukan pukul delapan pagi. Masih ada waktu untuknya bersiap-siap dan menjemput Aldan. "Sarapan dulu, habis itu minum obat. Kamu harus banyak istirahat." "Iya." Jawab Marissa. Meski enggan, tapi Marisa tetap menghargai perhatian Emak. Ia pun meraih mangkuk berisi bubur dan mulai menyantapnya secara perlahan. Saat satu tangannya tengah memegang mangkok dan satunya lagi memegang sendok, tiba-tiba saja ponsel Marisa berdering. Panggilan masuk dari nomor baru muncul di layar ponselnya. Marisa hanya melirik sekilas, ia mengabaikan panggilan tersebut karena nomor yang tertera tidak memiliki nama. Artinya panggilan tersebut bisa saja dari orang iseng, atau orang yang tidak memiliki kepentingan padanya. "Kenapa gak dijawab?" Tanya Emak, karena ponsel Marisa kembali berdering untuk kedua kalinya. "Biar saja. Aku gak kenal nomornya." Jawab Marisa. "Mungkin saja ada hal penting, karena nomor tersebut menghubungimu lebih dari satu kali." Marisa menaruh mangkuk bubur yang baru dimakannya beberapa suap saja. Benar ucapan Emak, mungkin saja orang yang menghubunginya ingin mengatakan sesuatu yang penting karena sudah tiga kali menghubunginya. Marisa pun membuka layar ponsel, rupanya nomor tersebut tidak hanya menghubunginya tapi juga mengirim beberapa pesan singkat. Marisa membaca setiap pesan yang dikirim nomor tersebut, hingga ia membaca pesan pertama yang dikirimnya. Marisa tersedak, begitu membaca pesan dari nomor tersebut dimana ia menyebutkan namanya.. "Pelan-pelan." Emak menyodorkan gelas berisi air hangat untuknya. Tapi jantung Marisa terasa sesak, entah karena tersedak bubur atau justru karena pesan singkat yang menyebutkan nama dari si pemilik nomor itu. "Makannya gak dihabiskan?" Tanya Emak, karena Marisa tidak menyentuh mangkok buburnya lagi. "Nggak. Aku udah kenyang," balasnya. "Ya sudah. Emak mau ke dapur, kamu istirahat saja." Marisa mengangguk lemah dan kembali membaringkan tubuhnya. Sejujurnya ia tengah menutupi kekhawatiran yang kini tengah dirasakannya, ia tidak mau Emak sampai curiga. Usai Emak pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kamar, Marisa kembali dibuat terkejut karena ponselnya berdering untuk kesekian kalinya. Melihat nomor El muncul di layar ponselnya, membuat Marisa merasakan hawa panas dan dingin secara bersamaan. Aura lelaki itu masih terasa mencekam dan membuat bulu kuduknya merinding. Marisa melempar ponsel menjauh darinya, meski hanya sebuah panggilan namun Marisa sudah merasa ketakutan. Panggilan tidak kunjung berhenti, bahkan terus menerus dan berulang. Nada dering ponsel menggaung berulang kali, tanpa jeda. Lima menit berlaku, tapi ponselnya masih terus berbunyi. Sebenarnya apa mau lelaki itu? Tidak cukupkah ia sudah mengotori harga dirinya? Marisa pun kembali menangis. "Ris, gak jemput Aldan?" Terdengar suara Emak dari arah luar kamar. Marisa tidak tertidur, ia masih membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kedua mata tertutup. "Feri saja, Mak. Kepalaku sakit," bals Marisa, masih tanpa beranjak sedikitpun. Ia benar-benar kehilangan tenaga. Teror El Nandar benar-benar menakutkan. Beberapa waktu berlalu, Marisa pun mendengar suara Aldan di luar kamar. Sepertinya anak itu sudah pulang sekolah. Marisa segera merapikan penampilannya yang pastinya terlihat mengenaskan. Mata sembab, rambut acak-acakan dan wajah memerah. Jika boleh memilih, tentu saja Marisa ingin tetap berdiam diri di atas tempat tidur dan tidak melakukan apapun. Tapi suara Aldan begitu mengusiknya dan ingin segera menemui anak itu. Marisa pun keluar dari kamar, untuk menghampiri Aldan. "Aldan," panggil Marisa, begitu melihat Aldan yang tengah berganti pakaian dibantu oleh Feri. "Mamah," Aldan berlari menghampiri Marisa, bahkan sebelum ia menyelesaikan ganti baju. "Belajar apa hari ini?" Tanya Marisa. Ia mensejajarkan diri dengan Aldan, agar bisa melihat wajah sang anak. "Belajar mewarnai." Aldan nampak antusias, menceritakan apa saja yang dipelajarinya dia sekolah. Usia Aldan saat ini belum genap lima tahun. Ia masih sekolah di taman kanak-kanak, yang berlokasi cukup jauh dari kediaman Marisa. Untuk urusan pendidikan, Marisa menginginkan yang terbaik untuk Aldan. Marisa sengaja memilih sekolah yang berlokasi cukup jauh dari kediamannya yang memiliki fasilitas lebih baik dari sekolah yang ada di sekitar rumah tempat tinggalnya. Selain memilih sekolah yang memiliki standar kualitas bagus, Marisa pun sengaja menyekolahkan Aldan jauh dari tempat tinggalnya, yaitu untuk menghindari gunjingan para tetangga yang bisa saja mengganggu atau mengusik ketenangan Aldan. Aldan lahir setelah empat bulan Marisa dan Randi menikah. Ya, Aldan memang hadir di luar nikah. Meski begitu, Marisa tidak ingin Aldan menjadi bahan bulan-bulanan para tetangga yang mAsih saja menggunjingnya hingga hari ini. Satu kesalahan yang dilakukannya dulu, sangat berdampak buruk pada kehidupan Aldan saat ini. Tak jarang Aldan sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, hanya karena ia lahir selang empat bulan setelah kedua orang tuanya menikah. Momen kebersamaan Aldan dan Marisa semakin berkurang, terlebih setelah Marisa memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Sebuah pengorbanan untuk memperbaiki kehidupannya, memang tidak sebanding dengan hasil yang saat ini belum terlihat. Impian Marisa setelah menikah, yaitu ingin memiliki kehidupan yang layak dan memiliki rumah sendiri. Namun setelah empat tahun menjalani hidup berumah tangga, keinginannya itu tidak kunjung terwujud. Jangankan memiliki rumah, untuk kehidupan sehari-harinya saja masih kurang. Tapi setelah Marisa bekerja, perlahan kehidupannya mulai membaik meski ia harus menukarnya dengan pengorbanan yang tidak sedikit. "Makan yang banyak, ya?" Marisa menyuapi Aldan dengan perlahan. "Biar cepat besar." Ucap Marisa lagi. "Iya. Biar bisa bantu mamah cari uang." Marisa mengerutkan kening. "Siapa yang bilang seperti itu?" Tanya Marisa, heran. "Ayah." Jawab Aldan polos. "Ayah bilang, Aldan harus makan banyak biar cepat besar. Kalau sudah besar, bisa bantu Mamah cari uang." Jelas Aldan. Penjelasan Aldan sungguh mencengangkan. Bagaimana bisa anak sekecil itu sudah tau istilah mencari uang? Usianya masih terlalu dini untuk mengetahui permasalahan yang hanya dipahami orang dewasa dan Marisa pun tidak habis pikir mengapa Randi mengatakan hal tersebut pada anak mereka yang baru berusia empat tahun. Seharusnya Randi menceritakan dongeng-dongeng sebelum tidur dan mengajarkan banyak hal positif pada Aldan. Tapi Randi sudah mendikte anak kecil itu dengan uang, uang dan uang. Kekecewaan Mariasa kian bertambah dan menumbuhkan rasa benci secara perlahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN