Marissa benar-benar sakit, ia mengalami demam tinggi, disertai batuk pilek.
Penyebab utamanya mungkin saja karena ia pulang disaat hujan deras, tapi kondisi jiwanya saat ini pun sangat mempengaruhi keadaannya.
"Emak panggilkan bidan, ya?" Ucap Emak yang terlihat khawatir dengan kondisi Marissa.
"Nggak usah, Mak. Minum obat aja udah cukup." Marissa meminum obat yang diberikan feri dari warung, dekat rumah.
"Tapi badan kamu panas banget."
"Aku hanya kecapean aja. Istirahat sebentar, nanti sembuh sendiri."
"Ya, sudah. Istirahat lah,"
Emak menutupi tubuh Marissa dengan selimut hingga sebatas leher. Ia pun meninggalkan Marissa sendiri di kamar agar bisa beristirahat dengan tenang, sementara Aldan pun sudah tertidur bersama Feri.
Setelah Emak pergi meninggalkannya sendirian, Marissa tidak benar-benar tidur.
Meski ia merasa tubuhnya sangat lemas, ia tetap tidak bisa memejamkan kedua matanya.
Udara dingin kian memperparah keadaannya, tapi Marissa harus menghubungi Rea terlebih dahulu dan memberi kabar.
"Mbak Rea?" Ucap Marissa, begitu sambungan terhubung.
"Ya, Ris. Ada apa?" Tanya Rea dari seberang sana.
"Mbak, aku izin gak masuk kerja."
"Kenapa?" Terdengar nada khawatir dari seberang sana.
"Saya sakit." Balas Marisa.
"Loh, sakit apa? Tadi di butik baik-baik aja."
Awalnya keadaan Marissa memang baik-baik saja, apalagi sebelum ia berangkat ke rumah Moana di Jakarta Barat. Semuanya masih baik seperti biasanya.
"Iya. Tiba-tiba saja saya sakit, sekarang pun saya sudah ada di Bogor." Jelas Marissa.
"Ya sudah, kalau kamu sakit tidak perlu dipaksakan. Kamu istirahat saja dulu, untuk urusan pekerjaan biar dikerjakan yang lain saja."
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama. Semoga lekas sembuh ya, Ris. Kami sangat membutuhkanmu."
"Iya."
Panggilan pun berakhir. Rea memang termasuk salah satu Bos yang lumayan pengertian, meski begitu Rea selalu menerapkan kedisiplinan dan tanggung jawab pada setiap karyawannya. Termasuk Marissa. Untuk urusan gaji, Rea tidak tanggung-tanggung membayar dengan upah yang cukup besar jika pekerjaan bisa sesuai dengan keinginannya.
Marissa pun kembali membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur, usai menghubungi Rea. Tapi di layar ponsel, Marissa melihat notifikasi pesan masuk dari Randi.
Awalnya Marissa tidak berniat membaca pesan dari suaminya itu, tapi Randi mengirim hampir lima pesan padanya.
Marissa pun membaca satu persatu pesan singkat dari suaminya.
Marissa berdecak kesal usai pesan itu dibaca, isinya tidak lain dan tidak bukan Randi meminta uang padanya dengan alasan ia baru saja kena musibah, dompetnya hilang di ambil salah satu pekerja proyek yang bekerja bersamanya.
Marissa tentu saja tidak akan percaya begitu saja, sebab Randi pasti berbohong.
Ia pun mengabaikan pesan singkat itu dan kembali memejamkan matanya. Namun baru saja satu menit Marissa mencoba untuk tidur, ponselnya kembali berdering. Randi menghubunginya.
Satu panggilan, diabaikannya.
Marissa tidak ingin berdebat, apalagi dalam keadaan ia sakit seperti saat ini.
Randi tidak menyerah, ia kembali menghubungi Marissa hingga tiga panggilan, tapi Marisa tetap bersikukuh tidak menerima panggilan darinya.
Usai tiga panggilan tidak terjawab, ponselnya pun kembali diam. Artinya Randi tidak menghubunginya lagi, yang membuat Marissa bisa menghela nafas lega.
"Teh, udah tidur ya." Tiba-tiba terdengar suara Feri dari luar kamar.
"Teteh," panggilnya lagi.
"Iya, sebentar." Dengan susah payah, Marissa pun beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka pintu. Feri anak yang sangat santun, ia tidak akan berani mengganggu Marissa jika tidak ada keperluan yang sangat penting atau mendesak.
Marissa sudah paham bagaimana kebiasaan adiknya itu.
"Kenapa, Fer?" Tanya Marissa, begitu pintu terbuka.
"Mas Randi nelpon." Ucap Feri, sambil memberikan ponsel miliknya pada Marissa.
"Teteh lagi gak enak badan, mau istirahat." Tolak Marissa.
Feri tidak lantas menjawab ucapan Marisa, ia hanya menunjuk ponselnya, mengisyaratkan bahwa Randi sudah terhubung melalui ponselnya.
Marissa hanya menghela lemah dan mengambil ponsel milik Feri.
"Aku ada di depan TV." Ucap Feri, sebelum pergi meninggalkan Marissa.
Sebelum berbicara dengan Randi, Marisa harus mempersiapkan mentalnya terlebih dahulu, sebab tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali bertengkar seperti biasanya.
"Halo," ucap Marisa dengan suara pelan.
"Kamu tidak mau bicara denganku?" Tanya Randi. Dari nada bicaranya saja sudah terdengar sini.
"Aku sakit, Mas."
"Yang sakit badan kamu, mulut kamu tidak kan?"
Marisa menghela lemah. Seperti biasanya, Randi memang tidak pengertian dan selalu membuat dirinya terlihat bersalah.
"Ada perlu apa?" Tanya Marissa, langsung pada intinya.
"Aku rasa kamu sudah membaca pesanku tadi. Aku mau uang," jawab Randi. Ia pun mengatakan keinginannya secara langsung, tanpa berbelit.
"Aku gak punya uang, Mas. Sekarang aku ada di Bogor dan aku belum gajian."
"Aku hanya butuh lima ratus ribu, masa kamu tidak punya?"
"Mas, gajiku gak banyak dan kamu harusnya sadar semua kebutuhan Aldan aku yang tanggung." Marisa mulai merasa kesal, karena hampir setiap Minggu Randi meminta uang kepadanya.
Sebagai seorang suami, Randi sudah mengingkari kewajibannya memberi nafkah pada anak dan istrinya. Hanya nafkah batin saja yang diberikannya, itupun dengan paksaan.
"Aku gak minta uang banyak. Kamu pun harus sadar, semua keluargamu hanya jadi benalu di keluarga kita. Emak, Abah, Feri, semua tergantung padamu. Suruh mereka kerja! Jangan maunya di kasih uang terus."
"Mereka keluargaku, sudah menjadi tanggung jawabku untuk membantu mereka." Balas Marissa.
Randi tidak mau kalah, ia pun berdecak kesal dan siap memuntahkan amarahnya seperti biasa.
"Kamu tidak bertanggung jawab sepenuhnya pada mereka, yang harus kamu perhatikan adalah keluargamu sendiri. Feri sudah besar, sudah waktunya dia bekerja, jangan hanya mengandalkan kita saja!" Nada bicara Randi kian tak terkendali. Lagi-lagi pembahasan keluarga menjadi permasalahan yang tidak pernah ada habisnya.
"Feri juga sedang berusaha mencari pekerjaan, tapi di jaman seperti sekarang ini gak mudah cari kerja." Balas Marissa.
"Dia bisa bekerja bersamaku, kalau mau. Tapi kamu lihat sendiri kan, Feri terlalu pemilih dan ingin mencari pekerjaan. Sejak dulu kamu memang selalu berlaku tidak adil. Hanya keluargamu masa yang diperhatikan, tapi keluargaku tidak pernah kamu pedulikan!"
"Mas,"
"Aku minta uang lima ratus ribu, cepat transfer!" Perintah Randi seolah tidak ingin dibantah lagi.
"Tapi," belum sempat Marissa membalas ucapan Randi, lelaki itu sudah terlebih dulu mematikan sambungan.
Lagi-lagi, obrolan mereka berakhir seperti ini. Jika tidak berakhir dengan pertengkaran hebat, pastinya berakhir dengan Marissa mentransfer sejumlah uang yang diminta Randi.
Marisa kesal dengan sikap suaminya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keinginan Randi. Ucapan Randi tidak sepenuhnya salah, karena selama ini marisa memang lebih memperhatikan keluarganya, dibanding keluarga Randi. Marisa pun selalu membela Feri yang sampai saat ini belum bekerja dan masih bergantung padanya. Feri memang sudah lulus sekolah sejak satu tahun lalu, tapi sampai hari ini ia pun belum mencari pekerjaan.
Banyak tawaran bekerja yang datang padanya, tapi Feri selalu menolak dengan alasan tidak cocok. Entah jenis pekerjaan apa yang cocok dengannya, Marissa pun tidak tau.