bab 5

1052 Kata
Jarak tempuh Jakarta-Bogor menggunakan kereta api memerlukan waktu sekitar satu jam empat puluh menit. Dari stasiun menuju rumah memerlukan waktu kurang lebih tiga puluh menit menggunakan ojek pangkalan. Ya, di daerahku masih menggunakan ojek pangkalan, tidak seperti di kota-kota besar lainnya yang sudah serba canggih. Bogor memang termasuk salah satu kota besar di negara ini, tapi karena tempat tinggalku cukup terpelosok dan jauh dari keramaian kota, akses menuju rumah pun tidak terjangkau oleh ojek-ojek online. Dengan membayar upah sebesar tiga puluh ribu rupiah untuk jarak tempuh yang lumayan jauh dan kondisi jalan berlubanh parah, Bang ojek mengucapkan berulang kali terima kasih saat aku lebihkan sepuluh ribu dari ketentuan harga yang sudah kami sepakati sebelumnya. "Terima kasih, Teh." Ucapnya lagi, sebelum ia pergi kembali ke pangkalan ojek. Panggilan Teteh di daerah Bogor, khususnya Jawa Barat memang sangat lumrah ketika seseorang tidak mengenal nama. Sebutan itu diperuntukan untuk wanita dewasa, contohnya seperti aku. Aku tidak merasa keberatan setiap kali orang memanggilku dengan sebutan apapun. Bahkan nama sekalipun. Dari pemberhentian, aku masih memerlukan waktu beberapa menit berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Hujan gerimis langsung menyambutku, tapi kali ini aku tidak merasa senang begitu air hujan mengguyur tubuhku. Aku justru merasakan hawa dingin hingga menusuk ke tulang. "Emak," Panggilku, begitu aku sampai didepan rumah. "Aldan, Emak!" Panggilku lagi. Mungkin karena suara gemericik hujan, suaraku tersamarkan hingga mereka tidak mendengarnya. "Abah!" Aku memanggil semua nama keluargaku. "Iya," Akhirnya terdengar jawaban dari dalam rumah dan seseorang membuka pintu. "Marissa," Ibu terlihat terkejut melihat kehadiranku. "Kenapa hujan-hujanan." Ibu tidak langsung mempersilahkanku masuk, tapi ia justru kembali masuk kedalam rumah dengan tergesa. Tidak berselang lama, Ibu kembali muncul dan membawa handuk untukku. "Badanmu basah kuyup." Ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan handuk. "Iya. Tiba-tiba aja hujan, kebetulan juga aku gak bawa payung." Balasku. "Masuk. Ibu buatkan teh hangat." Ibu menarik tubuhku masuk kedalam rumah. Suasana rumah tidak berubah, sama seperti beberapa bulan lalu saat aku pergi meninggalkan rumah dan Aldan untuk pertama kalinya. Rumahku tidak terlalu besar, tidak juga penuh dengan barang-barang. Di ruang utama saja hanya ada kursi berbentuk huruf L dan sedikit hiasan agar rumah tidak terkesan kosong. Di ruang keluarga tidak terdapat sofa atau sejenisnya. Ruangan tersebut kosong, dan hanya ada kasur lusuh yang sering digunakan keluargaku untuk menonton acara televisi. Sebelah kanan dan kiri, terdapat kamar. Kamar yang sering digunakan aku dan Aldan. Dan mas Randi juga tentunya. Sementara dua kamar lainnya digunakan Fery, Emak dan Abah. Sebelum masuk kedalam kamar untuk mengganti pakaian, aku melirik ke arah ruang keluarga dimana Aldan dan Fery tengah tidur bersama. Mereka saling berpelukan dalam satu selimut yang sama, membuatku ingin segera bergabung bersama. Kamar yang sudah lama kutinggalkan pun masih tetap sama. Hanya sprei nya saja yang sudah berubah, mungkin Emak sudah menggantinya beberapa waktu lalu karena masih tercium bau harum memenuhi kamar. Aku mengganti pakaian yang sudah basah kuyup dengan pakaian yang ada dalam lemari. Pakaian rumah memang pakaian terbaik dan paling nyaman. Dalam keadaan setengah telanjang, aku memperhatikan beberapa bagian tubuhku dimana terdapat beberapa bercak merah dan memar. Di bagian depan tubuh, di area sensitif pun terdapat beberapa bercak merah. Hatiku kembali teriris sakit. Seharusnya di perjalanan tadi aku menjatuhkan diri saja, hingga aku tidak perlu merasakan sakit yang kinu menyerang hati daj jiwaku. Aku benar-benar merasa kotor dan hina. Bagaimana aku mempertanggung jawabkan nasibku saat ini? Keinginan hidup pun sudah tidak ada. "Mamah," tiba-tiba terdengar suara merdu yang memanggil namaku. Suara yang sangat kurindukan selama ini. Pintu terbuka, dimana sosok kecil itu pun muncul dan langsung berlari memelukku. "Mamah," ucapnya lagi. Aku membalas pelukan Aldan, menundukan tubuhku agar sejajar dengannya. "Aldan. Mamah kangen," tak hentinya aku mencium kedua pipi Aldan yang gembul. Bau harus tubuhnya semerbak memenuhi Indra penciumanku. Salah satu bau harum yang paling aku sukai didunia ini. "Aldan juga," balasnya. Kedua tangan Aldan bergelayut di leher. Posisi kami sangat berdekatan, bahkan hanya berjarak beberapa senti saja. "Ayah mana?" Tanya Aldan. "Ayah gak ikut pulang?" Lanjutnya. "Nggak. Ayah masih sibuk kerja, nanti dia nyusul." Balasku. "Aldan udah makan?" "Udah, makan pakai sayur." "Hebat sekali anak Mamah ini. Pinter makannya, pakai sayur." Aldan mengangguk dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia sangat senang mendengar pujianku. "Ris, teh panas nya sudah siap. Diminum dulu, nanti keburu dingin lagi." Ucap Ibu, yang juga ada di depan pintu kamar. "Iya." Aku melepas pelukan Aldan dan menggendongnya, membawa Aldan ke ruang keluarga dimana Ibu menyediakan teh hangat untukku. Di ruang keluarga rupanya Abah dan Feri sudah menunggu. "Kenapa gak bilang aku kalau mau pulang. Kan, bisa aku jemput di stasiun." Ucap Feri, setengah protes. "Rencananya mau pulang Minggu depan, tapi karena Minggu depan ada pekerjaan mendadak, jadi pulangnya dipercepat." Balasku. Aku duduk tepat di samping Feri. "Berapa lama liburnya?" Tanya Abah. "Satu Minggu." Jawabku asal. "Kenapa satu Minggu? Kecepetan." Protes Feri. "Nanti di bicarakan lagi sama Mbak Rea, kalau mau nambah cuti." Balasku. Kehangatan keluarga membuatku sadar. Aku masih memiliki mereka didunia ini. Jika aku tiba-tiba memutuskan bunuh diri, lalu siapa yang akan bertanggung jawab pada mereka semua. Abah dan Emak yang sudah sangat sepuh Feri yang masih sangat muda dan membutuhkan banyak biaya agar tidak bernasib sama sepertiku. Lalu Aldan, malaikat kecilku. Siapa yang akan menjaga mereka kalau aku mati konyol. Aku bertanggung jawab penuh atas mereka, jika aku pergi bisa di pastikan semuanya akan kacau dan kemungkinan terburuk akan terjadi. Yaitu, mereka akan hidup lebih sengsara lagi. Ditengah obrolan hangat bersama Emak, Abah dan Feri, tiba-tiba saja ponsel berdering. Nama Randi muncul di layar ponsel. Aku segera membalik layar ponsel hingga menghadap ke lantai. Aku tidak berniat menerima panggilan dari Mas Randi. "Kenapa gak diangkat?" Tanya Emak. "Nanti saja. Gak penting-penting banget." Balasku. Untung saja Emak tidak melihat nama yang tertera di layar ponsel. Jika ia tau aku mengabaikan Mas Randi, mungkin mereka akan mulai mencurigai keadaan rumah tanggaku. "Bagaimana kabar Randi? Kalian baik-baik aja kan?" Tanya Abah. Baru saja aku menghela lega karena Emak tidak menyinggung Randi saat kami ngobrol, tiba-tiba saja Abah mengingatkan. "Hubungan kami baik-baik aja." Jawabku. Sebisa mungkin aku tidak menunjukan keanehan saat menjawabnya. "Randi masih sering pulang dan mengirim uang setiap minggunya." Aku kian meyakinkan keluargaku, bahwa hubungan kami baik-baik saja. Padahal kenyataannya tidak. "Syukurlah. Mungkin sekarang dia sudah berubah." Balas emak. Tidak ada kata berubah dalam kamus Randi. Dia tetap Randi yang sama. Keras kepala, pemarah dan sering menghamburkan uang untuk wanita lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN