5. Aku berjalan mendekatinya. Wajahku masih memasang mimik kesal. Pandangan kebencian terus memancar dari kedua mataku. Sepertinya laki-laki itu sudah tidak punya hati. Bukannya takut atau merasa iba, dia malah tersenyum genit. “Apa kamu tidak bisa menghargai seseorang?” ketika sampai di depannya, aku bertanya dengan penuh kebencian. “Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memintamu melayaniku. Bukankah itu kewajiban dari pekerjaanmu?” Laki-laki sialan itu berkata dengan nada bijak dan aku tahu dia hanya berpura-pura saja. Aku tidak menggubrisnya dan mencoba menanyakan apa yang dia inginkan. Dia tersenyum lagi lalu memintaku masuk. “Sebelum aku masuk, aku ingin kita membuat perjanjian terlebih dulu.” Aku masih tetap diam di tempat dan tidak mau menuruti keinginannya. “Boleh. Per