34. Kami menunggu asap yang masih memenuhi keadaan sekitar. Asap itu menggumpal dan menutupi pandangan kami. Rasanya sulit sekali kami melihat sekitar. Tidak ada tanda-tanda asap akan hilang. Aku mencoba meluruskan tanganku ke depan, merasakan angin. Angin juga berhembus sangat pelan. Sehingga asap-asap ini bergerak sedikit demi sedikit. Andai ada yang menciptakan angin, mungkin asap ini akan hilang. Ketika kami tengah menunggu sembari memakan bekal. Kami mendengar langkah tergesa-gesa menuju kemari. “Ada monyet, Kapten.” Asep menunjuk monyet tadi. Monyet itu berdiri tepat di hadapan kami. Mereka menggerakkan tangan yang mungkin gerakkan meminta izin. Aku hanya mengangguk saja meskipun tidak mengerti apa yang dia maksud. *** Puluhan monyet mati tepat berada di depanku. Batu hitam itu