Setelah berhari-hari tak berpapasan, akhirnya kami kembali bertemu di meja makan. Kak Gian menyendok nasi goreng teri yang kubuat ke dalam piringnya sendiri, menuangkan jus jeruk dua gelas untuk kami, lalu menyodorkan ke depanku. "Maaf dan terima kasih banyak, Ki," ucapnya begitu duduk di kursi. Penampilan Kak Gian seperti tak terurus, lingkaran hitam makin jelas dan rambutnya panjang dari terakhir yang kulihat. "Sudah lama kita tidak bertatap muka. Aku jarang pulang ke apartemen, tidak sering mengirimimu pesan." "Lantas Kakak merasa bersalah?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat, mencoba membalasnya seacuh mungkin. "Kalau hanya sekadar basa-basi, lebih baik nggak usah. Karena buat apa juga? Sudah terlanjur hambar setelah Kak Gian bilang nggak bisa memaksakan perasaan ke aku. Berbohong