Marwa memacu mobilnya perlahan, membiarkan angin sore menyapu wajahnya melalui jendela yang sedikit terbuka. Suasana hatinya campur aduk. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi juga ingin tertawa—tertawa miris pada hidup yang selalu membawanya ke pusaran masa lalu. Di kaca spion, bayangan rumah besar itu makin menjauh, namun justru kenangannya makin dekat. Suara Najwa, pelukan hangatnya, jari kelingking mungil yang dikaitkan pada janji... menghantui pikirannya. Ia memarkirkan mobil di depan rumah Tante Hilda. Sebelum turun, ia sempat bercermin di kaca spion. Menghapus jejak lembab air mata yang membasahi pipinya. Ia sudah pernah melewati badai. Seharusnya gerimis kecil seperti ini bukan masalah baginya. Tante Hilda menyambutnya dengan cengiran lebar. “Cepet amat lo balik? Kagak betah ya lo

