Dikara tak henti-hentinya mondar-mandir di lorong luar ruang mediasi. Langkahnya cepat dan tegang, seolah setiap derap kaki mewakili amarah yang tak bisa ia redam. Dikara Darmawangsa bukan hanya kesal, melainkan murka. Tidak hanya pada orang-orang di ruangan tadi, tapi pada dirinya sendiri. Pagi itu, saat dirinya menatap cermin sebelum berangkat, ia sudah berjanji akan bersikap tenang. Ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk tetap rasional, menghadapi Juwita dengan kepala dingin. Namun, janji itu seketika runtuh begitu saja. Obsesi lamanya terhadap Jelita kembali meronta, menguasai akal sehatnya dan membuat semuanya seperti bom yang meledak di hadapan semua orang. Ia menekuk wajah sambil mengerang lirih. Kata-kata Juwita barusan masih terngiang jelas, wanita itu tidak pernah mendekatin

