BAB 1 - Bercerai?
Selama tiga tahun, Jelita resmi menjadi istri Dikara. Malam itu, Dikara yang terbiasa pulang satu atau dua kali seminggu dari luar kota, akhirnya pulang. Ia merangkak ke atas ranjang, menarik tubuh sang istri ke dalam dekapan. Tangannya sibuk menyusuri jejak kulit lembut tersebut, sementara bibirnya mulai mengecup.
“Aku pulang,” bisiknya, sambil menanggalkan kain penghalang di tubuh Jelita. Disaat yang sama, bibir penuh itu mulai mencicipi kulit halusnya, menjelajahi tubuh depan sang wanita silih berganti, serta mencumbu sesuatu yang manis dan mengeras.
Awalnya, Jelita hanya bergumam seraya menghela napas. Namun, lambat laun, ia mulai terbawa suasana ketika ciuman pria itu semakin menggoda. Membangkitkan keinginan yang selama ini ia rindukan. Tak butuh waktu lama, Dikara mulai bergolak. Bibirnya terus menjelajah, seperti anak kecil yang tengah menikmati es krim. Seketika itu pula, tubuh Jelita memanas. Ia mengerang dalam nikmat dengan keadaan ruangan yang temaram.
Jelita menyelipkan jemarinya di rambut pria itu, membusungkan dadaa seolah meminta lebih dari yang ia terima. Meski pernikahan itu hanya sebatas kontrak. Tapi, sejujurnya ia sangat mencintai suaminya.
Dikara mulai mengerang ketika bibirnya mulai bergerak, mencicipi apa yang tertinggal dengan lembut.
“Apa kau menginginkanku, Jelita?” tanya Dikara, meskipun ia tahu pasti jawabannya.
Bayangkan saja, ia sudah terlanjur panas, basah, dan berada diambang kegilaan. Tapi pria itu masih saja bertanya?
Dikara memang sangat piawai di atas ranjang, sampai Jelita tak mampu menahan rasa lelah sesudahnya. Dan kini, ia menginginkan pria itu lebih dari apapun.
“Hmmm, aku menginginkanmu, Mas,” desah Jelita, tanpa ragu. Ia merasakan bibir panas sang suami yang terus menjelajahi sambil menggigit pelan. Tak lama, berhenti di balik cupingnya, mengecup titik sensitif yang sudah pasti membuat dirinya mabuk kepayang. Dikara tahu kelemahannya yang satu itu. Ketika tubuh mereka mulai saling mencari dan sesuatu yang keras menelusup masuk, Jelita tak mampu menahan pekikan.
Bahkan, ia merasakan senyuman sang suami yang menempel di lehernya. Dengan irama dan tempo yang lembut, Dikara mulai bermain. Ia tak pernah terburu-buru. Apalagi saat pertama kali mereka melakukannya. Dan Jelita tahu, suaminya sangat gentle. Itulah yang membuatnya jatuh hati.
Mereka mulai bergerak seirama, pelan, namun penuh rasa.
Tiga tahun menikah, membuat mereka paham kebutuhan satu sama lain. Mereka selalu menyatu, memberi dan menerima kenikmatan yang sama. Jelita tak pernah malu soal kebutuhan biologisnya. Justru, ia banyak belajar dari sang suami.
Ketika mencapai puncak. Jelita selalu menyebut nama Tuhan-nya. Sementara Dikara hanya bisa tersenyum seraya mengejeknya.
“Kau tahu, Jelita. Kalau kepuasan itu bukan pemberian Tuhan.”
Dikara menggeleng pelan, berpindah ke sisi Jelita, kemudian menarik tubuh sang istri untuk berada di tepi ranjang.
Sementara Jelita hanya bisa tersenyum. Ia tahu, malam panas itu belum berakhir. Ia pun membiarkan Dikara meraih pergelangan tangannya, memposisikan dirinya disana. Sekadar membayangkan apa yang akan terjadi saja, sudah membuat tubuhnya meremang. Ia menyukai sensasi ketika Dikara mulai menahan tubuh belakangnya lalu menerobos tanpa aba-aba.
Jelita tak pernah menolak ketika Dikara memimpin permain sesuai yang diinginkannya. Bahkan, ia selalu pasrah ketika tubuhnya dipindah sesuai keinginan pria itu.
“Kau sudah siap?” bisik Dikara, suaranya lembut dan bibirnya menyungging indah. Jelita hanya bisa menoleh ke belakang, memandang wajah tampan suaminya lalu mengangguk pelan.
“Siap, Mas.”
Tepat ketika pria itu mulai memasukinya dengan gerakan menggoda, Jelita menggeliat pelan. Tak lama, dorongan itu mulai terasa menusuk. Tangannya mengepal, bersama cengkraman sang suami yang terasa di pinggulnya. Pria itu seolah tak menginginkan tubuh mereka terpisahkan oleh jarak. Disaat yang sama, Jelita mulai meliuk, memberi sensasi yang dinantikan oleh sang suami.
“Ya, begitu. Bagus.”
Dikara mengerang. Ia mulai mempercepat tempo ketika tubuh Jelita mulai bereaksi. Ia pun merasakan rematan yang menggetarkan. Ia mengerang puas sebelum terbaring lemah di sisi sang wanita.
Begitupula dengan Jelita yang merebahkan diri di dadaa sang suami. Kemudian, ia mendonak, menatap wajah sang suami dalam kegelapan.
“Tidurlah,” titah Dikara dengan suara parau. Tak hanya bibir yang bicara, tangan pun berkelana. Tanpa aba-aba, sang suami menepuk bokongnya, pena. Jelita hanya bisa tertawa pelan sembari memejamkan mata. Sungguhan, ia sangat mencintai suaminya. Bahkan terkadang ia kerap menganggap Dikara merasakan hal yang sama.
Sikap Dikara yang hangat dan lembut di atas ranjang, selalu berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan. Tamparan ringan yang selalu menggoda, membuat atmosfer kemesraan terjalin diantara mereka.
Jelita sulit mengendalikan diri dan menjaga jarak ketika berada dalam pelukan sang suami. Entah itu saat di kamar ataupun acara-acara bisnis dan amal.
Tapi karena semua itulah, ia berada sampai di titik ini. Ia menikah dengan Dikara hanya untuk menjadi seorang istri di hadapan publik. Dikara sendiri selalu mengatakan bahwa Jelita sangat cantik seperti namanya. Bahkan, ia juga sangat cocok berada di sisinya. Mereka terikat kontrak pernikahan tanpa tenggat waktu. Namun, Dikara pernah bilang—kalau suatu saat nanti ia menceraikan Jelita, maka ia akan memberikan nafkah iddah yang layak.
Selama menjadi istri, Jelita hanya akan berdiri di sisi pria itu saat dibutuhkan. Dan wanita itu selalu patuh. Ia akan mengenakan gaun yang indah, menggandeng Dikara walau kerap menjadi buah bibir wanita-wanita yang iri. Mereka merasa bahwa Jelita tidak pantas ada di posisinya. Ia tidak pantas berada di sisi seorang Dikara Darmawangsa.
Namun, Jelita bukan wanita yang tidak berpendidikan. Meskipun ia hanya seorang istri, tapi ia tetap bekerja di rumah dengan laptop dan koneksi internet.
Pernikahan mereka diawali dengan Dikara yang berusaha mendekatinya. Bahkan, pria itu pernah berdiskusi dengan beberapa orang untuk pembelian properti saat kontrak sewa Jelita hampir habis. Tak hanya itu saja, Dikara juga menawarkan rumah ini untuk ditempatinya.
Larut dalam lamunan, Jelita memandang pria itu yang kini terlelap di sisinya lalu termenung. Ini bukan pertama kali ia memikirkan bagaimana cara menghadapi hari ketika Dikara benar-benar menginginkan perceraian. Meski Jelita sadar, mungkin hal itu terjadi tidak akan lama lagi.
Dikara pernah bilang pada ibunya saat tengah bermain dengan para keponakan, bahwa dirinya tak akan membicarakan soal anak sebelum usia pernikahan mereka lebih dari tiga tahun. Kala itu, usia pernikahan mereka baru berlangsung satu tahun. Dan Jelita cukup terkejut dengan ucapan semacam itu.
Dikara hanya tersenyum pada ibunya dengan kalimat yang cukup membuat Jelita tak bisa berkata-kata.
“Ibu baru bisa menanyakan perihal itu ketika usia pernikahan kami sudah menginjak tiga tahun.”
Ada satu hal dalam perjanjian kontrak pernikahan mereka. Dikara tidak pernah mengizinkan Jelita untuk mencium bibirnya. Meski pernikahan mereka sah lahir dan batin, namun ia menegaskan bahwa dirinya tidak akan pernah mencium bibir Jelita.
Satu kalimat itu terngiang kembali dalam lamunan Jelita.
“Aku menyukai seks dan pasti menginginkannya. Begitupun dirimu, kau adalah wanita yang pasti memiliki kebutuhan yang sama. Hubungan ini bisa dikatakan timbal balik.”
Selama tiga tahun. Aturan itu tetap berlaku. Suatu hari, Jelita pernah hampir mencium bibir suaminya ketika sesi bercinta. Namun, Dikara langsung berhenti. Ia beranjak lalu meninggalkan Jelita sendiri terpaku.
“Kita punya aturan, Jelita.”
Kalimat itu kembali terngiang di telinga.
Bahkan, Dikara mencoba menghindar. Pria itu sudah berpakaian lengkap dan hendak pergi. Saat itu, Jelita berusaha menahannya, meminta maaf sambil mengatakan bahwa dirinya hanya terbawa suasana. Tapi Dikara tak menggubris. Sejak itulah, Jelita tak berani lagi menyentuh bibir suaminya.
Waktu itu, pernikahan mereka baru seusia jagung. Akan tetapi, Jelita semudah itu jatuh cinta. Itu mengapa, ia ingin sekali mencium suaminya. Ingin merasakan bagaimana manisnya bibir seseorang yang ia cintai.
Nyatanya, meski pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. Dikara selalu bersikap baik, menawan, sopan, hangat, dan perhatian. Dan Jelita—seakan terjebak dalam angan-angan yang semu. Ia mengira kebaikan Dikara dikarenakan pria itu mencintanya. Tapi, kenyataan pahit langsung menghantamnya ketika mendengar percakapan Dikara dengan sahabat sekaligus pengacaranya, Billy.
“Pernikahan ini menguntungkanku. Aku akan menceraikannya saat menemukan wanita yang tepat.”
Dan kalimat itu, berhasil menghancurkan hatinya. Jelita harus mengingat posisinya. Bahwa pernikahan itu hanya sebatas kontrak, bukan karena cinta. Meski mereka selalu bercinta, bukan berarti Dikara mencinta.
Namun, Jelita sulit menerima kenyataan yang ada. Apalagi dengan sikap Dikara yang terlampau hangat seperti malam ini.
Ia sulit melupakan malam-malam ketika Dikara menyelinap ke atas ranjang dan berhasil memuaskannya. Seolah, itu bukan hanya pertemuan fisik, melainkan hati.
Tiga tahun sudah berlalu. Tepatnya, seminggu lalu mereka baru merayakan ulang tahun pernikahan yang ketiga. Sama persis seperti malam kedua, mereka merayakannya dengan makan malam. Jelita tahu, itu hanya sebagai formalitas saja. Namun, sisi lain dalam dirinya tak memungkiri bahwa ia menyukai setiap momennya. Menikmati kebohongan pernikahan yang tampak begitu sempurna.
***