BAB 2 - Kemana Harus Pergi?

1297 Kata
Jelita terbangun seorang diri di ranjang pernikahan mereka. Ia menghela napas lalu terlentang—menatap langit-langit dengan tenang. Terkadang, mereka bercinta di pagi hari. Dan tidak dipungkiri bahwa saat ini Jelita sangat menginginkannya. Namun, ia semestinya sadar diri. Tidak seharusnya ia menginginkan sesuatu dari sang suami. Sejauh ini, dirinya memang tidak pernah meminta apapun selain di kamar itu, ketika sang suami menyentuhnya. Bagi Jelita, rumah itu sudah cukup. Tempat tinggal yang megah dan berkesan. Ditambah adanya pembantu yang selalu didatangkan saat hari kerja. Selebihnya, ia yang akan melakukan pekerjaan rumah. Tapi, itu bukan sesuatu yang sulit. Karena memang itu tempat tinggal untuknya. Sementara Dikara tinggal di pusat kota metropolitan, di sebuah penthouse yang berjarak satu jam dari rumahnya tinggal. Jelita berbaring sejenak di ranjang dan bertanya dalam hati apakah Dikara sudah pergi? Ia melirik jam di nakas. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Kemungkinan besar Dikara memang sudah pergi. Padahal, suaminya selalu tidur nyenyak setelah mereka bercinta. Dan sungguhan rutinitas itu membuat tubuh mereka sama-sama rileks. Namun, Dikara tidak pernah repot-repot membangunkannya di pagi hari. Ia selalu terbangun, mandi, berpakaian, lalu pergi begitu saja. Dan Jelita, selalu terlambat bangun dari suaminya. Jelita duduk dan beranjak dari ranjang. Ia buru-buru mandi dan berpakaian untuk memulai hari. Dengan balutan celana panjang krem serta atasan tanpa lengan berwarna lilac. Hampir sebagian isi lemarinya dipenuhi oleh pakaian bermerek pemberian Dikara. Setiap pulang, sang suami selalu menyodorkan paper bag berisi pakaian. Dan dengan manis berkata, “Aku membelikan ini untukmu. Dipakai, ya.” Setiap kali mengingat itu, Jelita selalu tersenyum. Ia mengikat rambut tebalnya. Lalu menuruni anak tangga. Namun, tiba-tiba langkah kakinya terhenti ketika masih melihat sang suami duduk di meja makan sambil membaca koran dengan secangkir kopi panas di hadapannya. Keterkejutan itu mungkin dirasakan oleh Dikara. Kontan, pria itu langsung bertanya, “ada apa?” “Oh, tidak adak,” jawab Jelita, pelan. Ia menggelengkan kepala lalu berjalan ke dapur untuk membuat kopi. “Mau sarapan, Mas?” tawar Jelita, meski ia tahu bahwa sang suami sangat jarang makan di rumah bersamanya. “Tidak. Aku akan segera berangkat. Ada janji dengan pengacara jam sembilan,” ucapnya datar. “Baiklah.” Jelita mengangguk sambil mulai memanggang roti. Dalam diam, ia ragu—haruskah ia bertanya soal perceraian itu? Sembari memegang cangkir kopi, Jelita diam-diam memandang ke arah sang suami yang masih membaca koran. Sesungguhnya, ia tidak memiliki keluarga. Ia terlahir sebagai anak yatim piatu. Sejak kecil, ia selalu berpindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan lainnya. Sejujurnya, Jelita sangat mencintai pernikahannya, meski sang suami tak pernah benar-benar ada di sisinya. Namun, ketika ia sakit atau terluka, nama Dikara lah yang akan menjadi walinya. Sesuatu yang tidak pernah ia miliki semasa hidupnya. Baginya, menulis nama wali di formulir rumah sakit adalah sesuatu yang besar. Ia sangat tidak ingin kehilangan itu. “Ada apa, Jelita? Tatapanmu membuatku merinding,” ujar Dikara, tiba-tiba. “Oh, maaf. Aku tidak bermaksud menatap Mas seperti itu,” sahutnya seraya tertunduk, mengambil roti dan bergabung di meja makan. Ia tahu, Dikara akan selalu menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak sopan. Tapi, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Apalagi, mereka baru saja merayakan ulang tahun pernikahan yang ketiga. Jelita pikir, mungkin ia bisa meminta seorang bayi. Ia yakin, anak mereka akan terlahir menggemaskan. “Jelita?” Melihat sikap wanita itu yang cukup berbeda, Dikara menghela nafas lalu melipat koran dan beranjak dari duduknya. “Ada apa? Katakan saja apa yang kau inginkan?” tanya Dikara, seolah tahu apa yang dipikirkan wanita itu. “T-tidak. Bukan begitu. Aku hanya berpikir … kita sudah menikah selama tiga tahun,” ucapnya, agak gugup. “Ya, lalu?” Dikara mengangguk sambil menghabiskan sisa kopinya. “Mas pernah bilang, kalau kita bisa punya bayi setelah usia pernikahan menginjak tiga tahun.” Akhirnya, Jelita mengungkapkan isi hatinya. “Aku? Aku tidak ingat pernah mengatakan itu.” Dikara mengerutkan dahi, menatap Jelita dengan intens. “Mas mengatakannya saat di rumah ibu, waktu ulang tahun pernikahan kita yang pertama,” kenang Jelita secara jelas. “Itu hanya untuk menyenangkan ibu saja. Apa kau mencoba hamil setelah malam tadi?” Dikara kini menatapnya dengan kening mengkerut. “Tidak. Aku masih menggunakan kontrasepsi,” jawab Jelita pelan. Dikara melirik jam tangan. Waktunya hampir habis. “Baik. Tetap pertahankan itu,” titah Dikara dengan nada tegas sambil berjalan menuju pintu. “Tidak akan ada bayi dalam pernikahan kita.” Dikara menatap tajam. “Dan aku serius, Jelita. Tidak boleh ada bayi dalam pernikahan ini. Paham?” “I-iya, Mas,” bisik Jelita, lirih. Seketika itu pula dadanya seolah dicengkram kuat. Ia hanya bisa menatap punggung sang suami yang mulai menjauh. Kalimat itu terngiang di kepala. “Tidak boleh ada bayi dalam pernikahan ini. Itu hanya untuk menyenangkan ibu saja.” Tapi Jelita sangat jelas, hari itu—Dikara menatapnya dan mengangguk seolah meyakinkan bahwa ucapannya serius. Mereka bisa saja memiliki bayi jika pernikahan ini bertahan selama tiga tahun. Namun, semua harapannya pupus. Pria yang begitu dicintai, tidak ingin memiliki anak bersamanya. Akhirnya, ketika Jelita harus bercerai dari pria itu, maka ia akan hidup sendirian lagi. Dan sebagian dari dirinya begitu bodoh, karena berpikir bahwa Dikara juga menginginkannya dan bisa menjadi keluarga seutuhnya. Kenyataannya, Jelita hanya istri kontrak. Ia hanya sebuah pelengkap yang digunakan untuk menciptakan reputasi Dikara sebagai penerus Darmawangsa. Tidak lebih dari itu. Jelita beranjak dan melangkah ke beranda. Mungkin sudah saatnya ia yang meminta perceraian itu sendiri. Salah satu dari mereka boleh mengajukan. Ada klausul dalam kontrak itu, jika dirinya yang meminta perceraian—maka ia tidak akan mendapatkan sepeserpun. Seluruh hidupnya kini tertambat di rumah itu. Berputar di sekitar pria itu. Bahkan, ia mati-matian belajar table manner, berdansa, mengikut kelas pernikahan bahkan merawat diri dan rambut. Semua itu ia lakukan agar pantas berada di sisi Dikara. Namun, satu hal yang tak akan pernah ia miliki selama pernikahan ini, yakni, pernikahan itu sendir dan hati seorang Dikara. Ia bahkan tidak pernah benar-benar mencium pria yang dicintainya. Segala hal sudah ia pelajari dan miliki … sampai perpisahan itu akan terjadi. Ia melangkah ke beranda, lalu duduk di sofa santai kesayangannya. Tempat itu, menjadi spot favoritnya untuk merenung. Udara sejuk di pagi hari selalu berhasil menenangkan pikiran. Di sana, ia merasa pikirannya seperti terangkat dan diterbangkan sejauh mungkin. Tiba-tiba saja, ia mengutuk dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa lebih menahan diri untuk tidak mengatakan keinginannya memiliki seorang bayi. Dirinya dan ‘keluarga utuh’ adalah dua hal yang tidak akan pernah terjadi. Meski keluarga Dikara menyukainya bahkan ia pun sangat akur dengan ibu, ayah mertua, dan iparnya. Tapi tetap saja, ia merasa asing. Mereka semua orang-orang baik, sederhana seperti dirinya. Dikara bukanlah pewaris yang lahir dari keluarga kaya raya. Ia membangun kekayaannya dari nol sejak usia 25 tahun. Ia menciptakan nama besar perusahaan dan memperluas jaringannya. Dikara senang berinvestasi di perusahaan kecil, mengembangkannya, lalu merekrut para programmer terbaik. Dan itulah dunianya. Kini, Dikara bisa bekerja dari belahan dunia manapun. Jelita menatap hiruk pikuk ibu kota dan mulai bertanya-tanya. Kemana ia akan pergi setelah pernikahan ini berakhir? Haruskah ia mencari jalan dari sekarang? Ia tahu, pertanyaan itu sudah membuat Dikara kesal. Ia bisa melihat dari ekspresi wajah sang suami tadi. Dan mungkin saja, pertanyaan itu akan menjadi awal dari perceraian mereka. Jelita menghela nafas panjang, menatap jalanan dan kembali bertanya—akankah suatu hari ia punya seseorang yang bisa memanggilnya Ibu? Seorang putri atau putra? Namun, itu hal yang mustahil. Sesuatu yang tak akan pernah terjadi. Ia tahu itu. “Tidak boleh ada bayi dalam pernikahan ini.” Ia menirukan ucapan itu dengan nada getir lalu mendesah. Sungguhan, Jelita ingin sekali memiliki seorang anak. Usianya sudah tidak lagi muda. Ia sudah menginjak usia 28 tahun. Mungkin, sudah saatnya ia pergi meninggalkan pria itu yang sudah memberinya kehidupan. Namun, saat yang bersamaan. Ia tidak tahu bagaimana harus melakukannya. Terlebih, ia sudah mulai mencintai suaminya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN