Di kantor Billy, Dikara terlihat mondar-mandir. Ia tampak sibuk berbicara melalui telepon. Padahal, waktu belum menunjukkan jam produktif. Entah mengapa, ia merasa sedikit kesal pagi ini. Ia bahkan belum berhasil mengajukan surat cerai, tapi Jelita sudah membuatnya terkejut dengan pertanyaan soal memiliki bayi dalam hubungan pernikahan mereka.
“Ada apa denganmu? Kau terlihat gelisah?” tanya Billy setelah Dikara selesai berbicara melalui telepon. Billy diam-diam mengamati sahabatnya ketika sedang mondar-mandir tadi. Itu sebabnya, ia bertanya.
“Apa Jelita marah ketika kau mengatakan soal perceraian?”
“Tidak. Aku bahkan belum sempat mengatakannya,” gumam Dikara.
“Apa? Kenapa tidak? Bukankah itu rencanamu hari ini?” tanya Billy dengan ekspresi terkejut.
“Aku cuma tidak tega. Dia terlihat bahagia semalam, bahkan dia tertawa. Tapi, pagi ini …”
Dikara menghela nafas berat, “... dia meminta seorang bayi.”
“Apa?!”
Billy terkesiap. Ia menatap sahabatnya dengan raut tak percaya.
“Ya, reaksiku pun seperti itu,” sahut Dikara, datar.
“Lalu?”
“Bagaimana bisa aku mengajukan perceraian setelah dia berkata seperti itu? Dia pasti akan berpikir bahwa aku melakukannya karena dia membicarakan soal bayi. Itu bukan alasan yang tepat. Aku tidak sekejam itu.”
“Kau bilang sendiri kalau wanita itu jatuh cinta padamu, Dik. Kau tidak ingat, ketika dia memelukmu di ulang tahun pernikahan kedua kalian? Dia membisikkan kata cinta bukan?”
“Ya, aku ingat,” gumamnya.
Senyum kecil itu muncul di wajah Dikara saat ditarik kembali pada memori malam itu. Jelita tampak manis ketika memeluknya erat, menepuk dadanya dan menghela nafas sambil berkata, ‘aku mencintaimu, Mas.’
Hanya dia satu-satunya yang memanggilnya dengan sebutan itu. Orang lain selalu bersikap formal padanya dengan panggilan Tuan.
“Seharusnya kau ajukan perceraian sejak itu. Sekarang kau lihat situasinya sekarang, ‘kan?”
“Aku belum siap waktu itu.”
Dikara menghela nafas lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Memang benar, ia tidak siap. Meski ia sadar bahwa pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. Tetap saja, ia tidak bisa memandang Jelita dengan cara yang lain.
“Aku harus segera menceraikannya. Tapi, tidak bisa hari ini.”
“Kau tahu … semakin cepat, semakin baik. Lagipula, perceraian yang tidak disertai permusuhan tidak butuh waktu lebih dari enam minggu. Jadi, lebih baik kau mulai memikirkannya. Atau … kau menunggu dia memintanya?”
“Tidak. Perceraian itu harus terucap dari mulutku,” gumamnya.
“Lalu tunggu apa lagi?”
“Aku akan menyelesaikannya hari ini. Aku ingat dia selalu ingin berlibur ke suatu tempat. Tidak sulit untuk tahu itu, sebab dia selalu menjadikannya sebagai background di ponselnya.”
“Kalau begitu, rencanakan saja. Kau masih menyimpan paspornya, ‘kan?” tanya Billy.
“Ya, masih. Aku akan mengatur semuanya—penerbangan, akomodasi, dan tour travel yang dia inginkan.”
Dikara mengangguk yakin. Keputusannya kini sudah bulat.
“Kau tahu, ini terlihat seperti kau ingin mengusirnya secara halus dari kehidupanmu, ‘kan?”
“Hmmmm. Karena aku ini orang baik.”
Meski kenyataannya tidak terlihat seperti itu. Jelita tidak memiliki siapapun di dunia ini. Ditinggalkan di panti asuhan lalu tumbuh sebagai anak negara. Sungguh mengejutkan, bagaimana Jelita bisa tumbuh menjadi sosok yang luar biasa.
Dikara mengesampingkan pikirannya, kemudian beranjak.
“Kapan berkas perceraian itu siap?”
“Secepat mungkin. Kalau kau memberitahuku nafkah iddah yang ingin dimasukkan ke dalam berkas tersebut. Aku bisa menyusunnya mulai hari ini, jadwalku kosong tidak ada sidang. Apa yang akan kau berikan?”
“Rumah yang selama ini dia tempati dan uang tunai dua ratus milyar. Seharusnya itu cukup. Lalu, masukkan juga liburan impian itu dengan seluruh biaya aku yang tanggung. Aku akan pastikan semuanya kelas VIP.”
Dikara ingin memanjakannya untuk yang terakhir kali. Karena Jelita memang pantas mendapatkannya.
“Kau yakin mau melakukan semua ini, Dik? Kau bisa saja—”
“Tidak. Ini satu-satunya cara. Kita harus berpisah. Ini jalan terbaik untuk kebahagiaannya. Dia akan paham bahwa keputusanku untuk bercerai, agar dia bahagia dengan masa depannya.
“Ini bisa jadi boomerang, kau tahu? Aku cukup yakin bahwa ada sisi emosional dalam diri istrimu itu.”
“Hmmmm, aku belum pernah melihatnya,” ucap Dikara seraya menggeleng.
“Dia terlalu manis untuk marah dan berteriak. Paling dia hanya menatapku dan menyetujuinya,” lanjutnya.
Itulah yang Dikara harapkan. Ia tidak ingin adanya permusuhan atau pertentangan setelahnya.
“Aku ingin semuanya berlangsung tenang dan jauh dari sorotan media.”
“Jadi, kapan kau akan menceraikannya? Apa kau sendiri yang akan menyerahkan dokumen itu? Atau aku harus bertindak sebagai orang jahat dalam kisah istri manismu ini?” tanya Billy, mengejek.
“Aku tahu kau tidak menyukainya, Billy. Tapi, kita tidak bisa terus mempertahankan pernikahan ini. Ini tidak adil—dan kau tahu itu. Aku tidak pernah bisa mengatakan bahwa aku mencintainya, jadi sudah waktunya untuk bercerai,” ujar Dikara dengan tegas.
“Jika kau bisa menyiapkan dokumennya sebelum besok, kita akan pergi ke penthousenya dan memberitahu itu pada Jelita. Dan kau, sebagai sahabatku yang akan memberikan dokumennya.”
“Baiklah. Aku tidak akan menghalanginya kalau dia mencoba menamparmu.”
“Percayalah, dia tidak akan melakukannya,” ucap Dikara penuh keyakinan. Jelita bukan tipe wanita impulsif dan agresif. Ia tidak akan melakukan itu.
“Tapi, patah hati bisa membuat siapapun kehilangan kendali. Kalau begitu, aku akan menyiapkan dokumennya malam ini. Sebaiknya kau tanda tangani sebelum pergi, jadi aku bisa ajukan langsung hari itu juga. Proses ini akan memakan waktu selama enam minggu, ya.”
Dikara hanya mengangguk sebelum kembali ke kantornya. Ini akan menjadi hari yang panjang dan juga melelahkan. Bahkan pikirannya masih teringat kalimat itu. Seorang bayi. Jelita menginginkan bayi dari pernikahan kontrak ini? Itu tidak masuk akal. Tidak adil membawa seorang anak dalam hubungan yang semu seperti ini.
Untuk itu, ia tidak hanya menolak kehadiran bayi tersebut. Tapi juga akan langsung menceraikannya, agar Jelita memahami alasan dibalik semua ini. Ia menghabiskan hari itu untuk mengatur tiket penerbangan, akomodasi, dan memilih tour travel impian yang Jelita inginkan. Tur kebun anggur, naik balon udara, berkuda, berlayar di yacht mewah hingga perawatan spa seharian penuh. Maka, Dikara dengan sabar memilih hotel terbaik dan memastikan semuanya kelas satu.
Segalanya ia siapkan berdasarkan cerita Jelita pada ibunya. Kalimat ibunya kembali terngiang.
“Ajak istrimu liburan, Nak. Buat suasana romantis, habiskan waktu bersamanya.”
Dikara tahu maksud itu. Ibunya, ingin mereka memiliki anak dan pulang dalam keadaan Jelita yang sedang mengandung.
Dikara menatap daftar kegiatan yang telah diatur lalu mencetak jadwalnya. Satu bulan penuh di Italia. Jelita pasti menyukainya. Itu adalah tempat impiannya dan wanita itu akan tahu bahwa Dikara sudah berusaha memberikan sesuatu yang terbaik. Selama tiga tahun pernikahan, mereka tidak pernah benar-benar berlibur. Jadwal Dikara selalu sibuk, entah itu urusan bisnis atau acara amal, baik di dalam maupun luar negeri.
Dikara mengambil paspor dari brankas dan membolak-baliknya. Ia telah menghabiskan banyak malam bersama Jelita yang begitu cantik dan tersenyum manis. Senyuman itulah yang mampu mencairkan hati pria manapun. Dan justru itu, Dikara merasa harus menceraikannya.
Dikara ingin Jelita bahagia. Dan mungkin saja, wanita itu tidak bahagia karena pernikahan kontrak mereka yang dipenuhi aturan dan batasan. Tapi, ternyata batasan itu bukanlah sebuah penghalang. Karena, Jelita tetap jatuh cinta padanya.
Sudah waktunya mengakhiri semua kebohongan ini, demi masa depan yang lebih baik untuk wanita itu. Dikara tahu Jelita tidak akan menyukai hal ini. Dan mungkin saja, wanita itu akan sangat patah hati. Tapi inilah yang terbaik. Ia tidak bisa bertahan dalam pernikahan ini jika dirinya tidak bisa memberikan apa yang Jelita inginkan.
***