Akhirnya, dua putra kembarnya diizinkan masuk ke kamar rawat. Juwita tersenyum menyambut kedatangan mereka dan berusaha menunjukkan raut bahagia, tetapi hatinya seketika tersayat ketika senyum itu tidak terbalas seperti biasanya. Wajah ceria yang selalu menemaninya kini berubah menjadi cemas. Ia bisa membaca jelas ketakutan mereka, bisa merasakan betapa panjang waktu yang mereka lewati ketika dirinya tidak sadarkan diri. Zayan, putranya yang pertama mendekat. Ia menggenggam tangan sang ibu dengan erat, matanya berkilau karena air mata yang hampir jatuh. “Ibu?” suaranya bergetar, penuh keraguan. “Ibu baik-baik saja,” jawab Juwita lembut. Ia meremas tangan kecil itu, mencoba menyalurkan kekuatan yang masih tersisa. “Ibu pernah terluka lebih parah dari ini. Ingat, kalau Ibu ini kuat. Sama

