BAB 6 - Tiga Syarat Sebelum Berpisah

1318 Kata
Pagi harinya, tepat pukul sembilan—Jelita memasuki kantor Billy. Ia membeku sejenak, memandang tajam pria itu tanpa ragu. Namun, Billy justru menyambutnya dengan senyuman seolah tidak terjadi apa-apa. “Hai, selamat pagi, Nona Jelita.” “Pagi,” balas Jelita tanpa ekspresi. Setelahnya, ia melangkah tanpa ragu—kembali menatap pria itu dengan sinis. “Aku telah merevisi dokumen perceraian ini. Dikara harus menyetujuinya. Jika tidak, maka kita tindak lanjuti jalur hukum saja,” lanjutnya seraya mencondongkan tubuh lalu meletakan dokumen itu di atas meja. “Apa maksudnya?” Billy tampak terkejut dengan ucapan itu. “Perceraian itu hanya garis final. Lagipula, kau sudah mendapatkan hakmu selama tiga tahun terakhir ini.” “Begitukah?” Jelita berdecak kemudian membalik halaman bagian yang menyebutkan bahwa seluruh hak baru bisa didapatkan sehari setelah perceraian itu sah, tepatnya sehari setelah Dikara mengirimnya ke Italia. “Aku rasa pernyataan itu tidak berarti apapun.” “Tapi dokumen itu tetap sah secara hukum,” sanggah Billy. “Oh, ya? Lalu kapan aku bisa menempati rumah itu? Sementara Dikara sendiri mengirimku keluar negeri, mungkin berharap aku tidak akan pernah kembali?” tanya Jelita seraya mengangkat satu alisnya. “Apa maksudmu, Nona Jelita? Aku tidak paham,” ujar Billy dengan suara tertahan. “Oh, ya. Kau tidak tahu? Aku ini bukan wanita bodoh yang tidak bisa membaca bahwa liburan ini hanya sekali jalan. Tidak ada tiket untuk kembali. Hanya selembar tiket menuju Italia selama sebulan. Dia akan mengirimku pergi … untuk selamanya. Jadi, rumah itu? Kapan aku bisa menempatinya kalau tidak diizinkan untuk kembali? Aku rasa dia tidak pernah mengira kalau aku bisa cepat memahami situasi yang telah dia rencanakan.” “Nona Jelita, itu tidak seperti yang kau pikirkan,” ujar Billy, mencoba membela diri. “Lalu seperti apa yang harus kupikirkan? Jika dia memang mau menyingkirkanku, maka aku akan pergi. Tapi, aku punya tiga syarat sebelum dia benar-benar mengirimku jauh. Jika aku harus hilang dari kehidupannya bahkan menghilang dari jejaring sosial media, aku rasa—aku berhak meminta imbalan,” ucap Jelita seraya Billy hanya diam tak mampu menanggapi. “Pertama, aku ingin rumah itu diuangkan dan dia boleh mempertahankan rumah itu, melakukan apapun sesuka hatinya,” ucap Jelita dengan tegas. “...” “Baginya itu hanya sekadar properti, bukan tempat tinggal yang berarti. Tapi bagiku, itu tempat tinggal yang tidak pernah menjadi rumah. Nilainya hanya uang, jadi aku mau dalam bentuk uang saja. Aku ingin semua ini diselesaikan seminggu sebelum berangkat, agar aku tidak menjadi gelandangan di negeri orang.” Tatapan Jelita mampu menusuk Billy. Lihat saja bagaimana pria itu kini tampak gelisa. Dan Billy seolah tahu bahwa Jelita sedang berusaha untuk menjadi wanita tegas. “Kedua, aku ingin Dikara mengantar ke bandara, bukan dengan supirnya. Dia harus datang, mengantarku, membawakan koper sampai aku masuk ke dalam bandara. Jika dia memang ingin aku pergi, maka dia harus menghadapinya sendiri.” Jelita menunjuk pada klausul tersebut. “Aku rasa, aku berhak meminta untuk terakhir kalinya.” “...” “Dan yang ketiga ….” Nada suara Jelita merendah, seperti menyimpan luka yang tidak pernah ia tunjukkan. “Aku ingin dia memberikan ciuman terakhirnya di bandara. Hanya sekali saja, sebagai ucapan perpisahan.” Jelita nyaris membenci dirinya sendiri karena meminta hal impulsif seperti itu. Tapi salahkan Dikara, karena berani mengusirnya, tanpa peringatan, penjelasan, dan kejujuran. Tiket satu arah itu mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Maka, Jelita harus membalasnya dengan cara yang sama. Ia akan memaksa Dikara melakukan apa yang tidak ia sukai—yaitu menunjukkan kasih sayangnya di depan umum. Billy hanya mampu memandang Jelita tanpa ekspresi. Ia tahu betul, bahwa kontrak yang tertulis soal ‘tanpa ciuman’ ditulis oleh Dikara sendiri. “Dia tidak akan melakukannya, Jelita,” ucap Billy, menggeleng pelan. “Oh, tentu saja dia akan melakukannya. Dia itu seorang milyader. Sementara aku? Aku hanya seorang anak yatim piatu yang kesepian tapi dengan kejam dimanfaatkan olehnya. Begitulah narasinya jika dibawa ke pengadilan.” Jelita kembali mempertegas. Sementara Billy hanya mampu menatapnya tajam. “Ternyata kau sepicik itu, ya, Nona? Sampai-sampai rela menyeretnya ke pengadilan hanya untuk sebuah ciuman?” “Ya. Ternyata aku bisa sepicik dan semarah itu karena merasa diperlakukan tidak adil oleh suami sendiri yang ingin menghapus diriku dari kehidupannya, dari negara ini, dan dari teman-temanku sendiri. Dia tega mengirimku ke negeri asing, ke tempat dimana aku tidak mengerti bahasanya. Aku rasa, permintaan itu hanyalah hal kecil baginya.” Wajah Billy semakin terlihat kesal. Tapi, Jelita tak gentar dan tetap membusungkan d**a. Menatap dengan tatapan paling tajam. “Aku tidak peduli dengan ekspresimu itu, Billy. Ini hanya sebuah ciuman. Setelah itu, aku akan pergi dan menghilang dari hidupnya. Aku tidak akan pernah kembali lagi. Dan publik, akan melihatnya sebagai suami yang perhatian—mengantar istrinya pergi untuk berlibur. Jika ada yang melihat, tidak akan ada reputasi yang hancur. Justru, mungkin publik akan melihat itu sebagai bentuk kasih sayang seorang suami,” ucap Jelita kali ini dengan nada tinggi. “Hanya sebuah ciuman sebelum berpisah. Aku rasa itu permintaan yang wajar. Jika dia setuju, aku akan menandatanganinya sekarang juga, di hadapanmu!” “Sekarang?” Billy mengulangi ucapan itu. “Ya, aku akan pergi sesuai keinginannya. Dia tidak akan pernah melihat lagi. Terakhir kali dia akan melihatku, hanya di bandara. Aku akan menunggunya. Hubungi dia soal itu.” Ucapan itu terhenti, Jelita berjalan menuju sofa di ruang tersebut dan duduk dengan anggun. Jelita sadar ini hanya sebuah gertakan yang cukup emosional. Ia tidak pernah benar-benar berniat untuk membawa perkara ini ke pengadilan. Namun, Dikara tidak perlu tahu soal itu. Billy memandangnya dalam diam. “Aku belum pernah melihat sisimu yang seperti ini, Nona,” ucapnya, pelan. “Tidak ada yang pernah melihatnya. Hanya saja kalian lupa, kalau aku ini hidup sebatang kara. Aku bisa bertahan menghadapi situasi apapun, termasuk diusir dari negara ini. Tapi, aku akan pergi dengan syarat yang kuajukan, bukan dari Dikara. Terdengar suara hela napas berat dari Billy sebelum akhirnya menelepon Dikara. Pria itu langsung menjelaskan kalau Jelita ada di kantornya dan merevisi dokumen perceraian itu. Bahkan, Billy juga membacakan tiga syarat yang diajukan oleh Jelita. Sementara itu, sang wanita disana hanya menatap dan menunggu cukup lama. Ia tahu Dikara ada di gedung yang sama, tepatnya di lantai limat belas. Tapi, ia berpikir bahwa Dikara tidak akan langsung turun dan marah-marah. Lagipula, ia sangat yakin permintaan itu tidak cukup sulit untuk diterima akal sehat suaminya. Ia hanya mengubah satu hal, pemberian rumah yang diuangkan. Dikara adalah seorang milyader. Nilai rumah itu tidak akan berarti apapun. Bahkan mungkin bisa kembali dari pendapatan bunga yang ia miliki dalam semalam. “Baiklah.” Jelita beranjak dan mendekat, mengambil pena yang Billy sodorkan sebelum menandatangani namanya sebagai Jelita Darmawangsa. Kemudian, ia mengeluarkan selembar kertas dari tas dan menyerahkan itu pada Billy. “Kau bisa urus ini juga, bagianku sudah selesai,” ucap Jelita, singkat. Dan tanpa menunggu jawaban, Jelita berbalik dan menjauh dari ruangan itu. “Apa itu?” tanya Billy yang masih tak mengerti. “Surat pengunduran diri,” tegasnya. Tanpa mengulur waktu, Jelita pun berlalu. Setibanya di rumah, Jelita langsung memeriksa saldo di rekening sebagai Juwita Lestari. Ia telah menghasilnya dana untuk bisa membayar uang muka sebuah rumah. Untuk itu, Jelita langsung berselancar di internet guna mencari rumah. Ketika nafkah iddah yang Dikara janjikan cair, maka ia akan melunasi sisanya. Dan ia pun memiliki aset sendiri atas namanya. Sesuatu yang tidak bisa diambil oleh siapapun. Satu-satunya pertanyaan yang kini bergelayut dalam pikiran, dimana ia akan tinggal? Pemandangan apa yang ia inginkan? Pastinya, ia sudah tidak ingin tinggal di tepi pantai dan pusat kota. Alhasil, Jelita menyaring pencarian. Mungkin jika tidak di kota dan tepi pantai, ia akan mencarinya di tempat yang terpencil. Dimana tidak ada seorang pun yang mengenal dirinya sebagai mantan istri Dikara Darmawangsa. Sebuah rumah minimalis saja sudah cukup. Ia hanya ingin tinggal sendiri seperti selama ini yang ia jalani. Dan tempat tenang itu—entah dimana. Yang pasti, ia akan segera menemukannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN