BAB 7 - Asing

1574 Kata
Dikara bergegas memasuki ruangan Billy dengan langkah kaki yang mantap. “Sudah ditandatangani?” tanya Dikara setelah masuk. Ia bahkan tidak mengatakan kalimat basa-basi. “Sudah,” jawab Billy seraya mengangguk pelan. “...” “Sejujurnya, aku belum pernah melihatnya semarah ini.” Billy menghela napas berat. “Kau yakin ini langkah yang tepat, Dik?” “Ini sudah sangat tepat,” jawab Dikara. “Lagipula, sebelumnya kita sudah sering membicarakannya. Aku hanya perlu sebuah pernyataan yang jelas agar dia tahu kebenarannya. Ini satu-satunya cara yang bisa diwujudkan,” lanjut Dikara sebelum menatap sahabatnya yang tampak memberengut. “...” “Tapi, apa yang membuatnya begitu marah? Kau tidak bilang alasan perubahan dokumen itu. Kau hanya bilang, kalau aku tidak setuju … dia akan membawa perkara ini ke pengadilan.” Billy menatap sahabatnya dengan ragu. “Kau benar-benar percaya dia akan melakukannya?” tanya Billy. “Tidak,” jawab Dikara sambil duduk dan meraih dokumen dari tangan Bily. “Dia bukan orang seperti itu,” sambungnya. Tatapan Dikara jatuh pada tanda tangan kecil milik istrinya. Begitu kontras dengan goresan besar nan tegas yang biasa Jelita lakukan. “Uang tunai … bukankah rumah yang kubelikan khusus untuknya sudah sesuai dengan seleranya? Sungguh membingungkan. Sejauh yang kutahu, dia sangat menyukai rumah itu. Bahkan dia merawatnya sepenuh hati, menanam pohon dan bunga-bunga di pekarangannya.” Pandangan Dikara beralih ke arah sahabatnya sambil mengeluarkan pena, bersiap menandatangani perubahan pada dokumen perceraian itu. “Alasannya sederhana. Karena kau terlihat seperti sedang mengusirnya. Dia merasa, jika harus pergi tanpa mendapatkan nafkah yang kau janjikan, maka dia tidak akan mendapatkan sepeserpun.” Billy menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah melihat sisi matrealistis Jelita selama ini.” “Dia memang bukan orang yang seperti itu,” gumam Dikara seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dia juga tidak pernah menghabiskan uangku secara percuma. Dia punya kartu kredit, tapi hanya digunakan saat aku memintanya membeli sesuatu untuk acara resmi,” kenang Dikara sambil membubuhkan tanda tangan pada dokumen tersebut. “Apa dia benar-benar berpikir aku tidak akan meninggalkan nafkah untuknya sepeserpun?” “Itulah kesan yang kudapat, apalagi setelah menyadari kalau kau mencoba mengusirnya dari kehidupanmu,” jawab Billy dengan mantap. Dikara terlihat murung mendengar penuturan itu. “Aku tidak mengusirnya. Itu adalah liburan gratis ke Italia. Semua juga sudah dibayar.” Ia mencoba meluruskan padangannya pada Billy. “Aku bahkan memberitahunya kemarin, ‘kan?” “Ya, kau memang memberitahunya. Tapi, dia melihat bahwa tiket yang kau belikan hanya sekali jalan saja. Dan dia berasumsi kalau kau bukan hanya akan menceraikannya, tapi juga mengusirnya untuk pergi dari negeri ini. Misalkan dia belum mendapatkan nafkah sebelum keberangkatan itu, tepatnya saat disahkan pengadilan, yaitu sehari setelah hari keberangkatannya. Maka, dia tidak akan punya cukup uang untuk kembali ke negeri ini. Artinya, kau jelas mengusirnya.” Dikara mendengus tak percaya. “Bukan seperti itu maksudnya.” “Dik, aku sudah bilang dari awal kalau ini bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikannya. Tapi kau bersikeras bahwa ini satu-satunya jalan. Padahal, kita bisa saja menyesuaikan kontrak pernikahan kalian agar sesuai dengan kebutuhan. Itu jauh lebih baik. Tidak seperti sekarang, Jelita jadi membencimu. Percayalah, dia sangat marah. Bahkan dia memanggilmu dengan sebutan nama.” Billy tampak geram. Kemudian, ia menyerahkan selembar kertas pengunduran diri dari Jelita. “Ini surat pengunduran dirinya.” Dikara menghela napas berat. “Tidak perlu khawatir, Bill. itu bagian dari kesepakatan kontrak. Ketika pernikahan ini berakhir, dia juga harus mengundurkan diri.” “Ya, dia sudah melakukan itu.” Billy mengangkat kertas tersebut di hadapan wajah sahabatnya. “Tapi sebaiknya kau baca saja sendiri.” Dikara meraih kertas itu dengan ragu. Isinya memang singkat, membuat dahinya ikut mengkerut. Saya, Jelita Larasati … mengundurkan diri dari Darmawangsa Technology. Kemudian, Dikara menatap sahabatnya. “Apa yang salah? Ini memang kalimat pengunduran diri seperti biasanya. To the point, tidak bertele-tele. Persis seperti yang kusukai.” “Kau benar-benar tidak memahami wanita, Dik. Dia menulis surat itu sebagai bentuk perpisahan. Dia sedang mengatakan padamu, kalau dia akan pergi … dan tidak akan pernah kembali.” “Semua akan baik-baik saja, Billy.” Dikara berusaha tenang. Meskipun ia ragu. “Justru aku ingin mengatakan, aku rasa semua ini tidak akan berjalan baik-baik saja. Biar aku batalkan ini dan panggil Jelita untuk menyesuaikan kontrak.” “Tidak perlu. Aku tidak ingin melanjutkan kontrak pernikahan kami. Dan kalau kami tetap bersama, dia pasti akan meminta seorang anak. Sedangkan aku, tidak ingin ada anak dari pernikahan kontrak ini.” Dikara beranjak sebelum melanjutkan ucapannya. “Percayalah pada rencanaku. Dia akan mengerti ketika kami bertemu lagi setelah semuanya selesai.” “Kau memang gila, Dikara. Untuk apa juga menceraikan wanita yang sebelumnya ingin kau nikahi?” “Itulah alasannya, Billy,” ucap Dikara sembari meletakkan dua bundel dokumen di atas meja. “Kirim ini ke pengadilan agama. Dan satunya ke HRD.” Disaat berikutnya, Dikara berlalu tanpa sepatah kata. Rencananya cukup sederhana dan ia yakin semua ini akan berhasil. Bahkan klausul perceraian yang disusun benar-benar membuatnya tersenyum geli. Semua itu, ia tulis memang agar Jelita mengucapkan perpisahan. Melihat Jelita akan pergi ke Italia, ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuat Dikara menggeleng pelan. Entahlah, Jelita mungkin tidak menyadari betapa menggemaskan dirinya. Jelita memang cantik. Dan ia sering mendengar dari orang-orang di sekitarnya. “Istrimu itu bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Kau mendapat paket combo.” Dikara kembali terngiang ucapan salah satu kolega bisnisnya. Biasanya, Dikara hanya menjawab sekenanya saja. Tapi, jika Jelita ada di sisinya. Pria itu akan merangkul pinggangnya, tersenyum dan mencium pelipisnya sambil berkata, “dia memang sempurna.” Dan Jelita, akan memerah wajahnya jika mendengar itu. Salah satu pesona yang membuat Jelita tampak manis di mata Dikara. Itulah alasan, Dikara ingin perceraian ini tidak diketahui siapapun. Ia tak ingin orang-orang melihat Jelita sebagai wanita single. Sebab, itu akan membuat wanitanya banyak yang mendekati. Dikara merapikan barang-barangnya di ruangan untuk pulang ke apartemen dan bersiap menghadiri acara pesta pertunangan Billy malam itu. Tepatnya, pukul tujuh. *** Tiba di tempat acara, ia tidak menyangka akan bertemu Jelita. Mereka bahkan baru saja menandatangani dokumen perceraian hari itu. Namun, sosok wanitanya sudah ada disana, berdiri di sisi ruangan tengah berbincang dengan Ana, tunangan Billy. Jelita tampak begitu anggun mengenakan gaun koktail berwarna lilac berbahan sifon yang hanya sebatas lutut. Penampilanya malam itu cukup sederhana, tapi juga berkelas. Dikara yakin Jelita pasti bertanya pada Ana soal dresscode malam itu. Atau mungkin sekadar menanyakan tema acara pertunangannya. Sehingga, Jelita tetap terlihat cantik tanpa menyaingi calon pengantin. Dan itulah sifat Jelita. Ia selalu penuh pertimbangan. Kala itu, rambutnya ditata rapi. Dijepit setengah dan ujung rambutnya sedikit bergelombang. Jelita benar-benar cantik, sama seperti calon pengantin disana yang mengenakan gaun renda berwarna gading—indah, elegan, sangat cocok untuk pesta pertunangan sebagai calon istri pengacara. Ana menyambut kedatangan Dikara dengan senyuman. “Dikara!” sapa Ana, lalu menoleh pada Jelita. “Kau memang wanita beruntung, dia selalu terlihat tampan.” Setelah mendekat, Dikara hanya bisa tertawa pelan mendengar pujian itu. “Jangan biarkan Billy mendengarmu memujiku,” ucapnya sedikit berbisik di telinga calon istri sahabatnya itu. Kemudian, Dikara mundur selangkah lalu melihat Ana yang tersenyum usil. Ana memang terkenal sebagai wanita yang ceria dan usil. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa hukum dan akan lulus setahun lagi. Ia memang pasangan yang cocok untuk Billy. Bahkan, sebagai sahabat, Dikara belum pernah melihat Billy sebahagia ini bersama seorang wanita. Saat berikutnya, tatapan Dikara jatuh pada sosok wanita lain disana. Ia tersenyum seperti biasa, lalu mendekat. “Kau terlihat cantik malam ini,” bisiknya pelan. “Terima kasih,” jawab Jelita, tanpa ekspresi. “Aku akan mengambilkan minum untukmu.” Kemudian Jelita menjauh membuat kening Dikara seketika mengkerut. Biasanya, mereka tampak ramah satu sama lain. Jelita bahkan selalu membalas pujiannya. Namun, tidak untuk malam itu. Ia menatap punggung Jelita yang melangkah menuju bar. Bartender yang tengah melayani Jelita terlihat ramah dan menggoda. Hal itu jelas membuat rahang Dikara mengeras. “Masih saja cemburu setelah tiga tahun,” celetuk Ana seraya merangkul lengan Dikara. Sementara pria itu hanya membalas dengan senyuman. “Sudah sewajarnya suami cemburu kalau ada pria yang berusaha menggoda istrinya. Kalau tidak, untuk apa menikah?” Dikara berusaha setenang mungkin. “Ngomong-ngomong dimana Billy?” tanyanya, mengalihkan topik perbincangan. “Dia ada urusan dengan pengadilan sore ini. Dia akan telat, tapi itu sudah biasa.” Ana mengangkat bahu. “Dikara, ini minumannya,” ucap seseorang membuat mereka menoleh bersamaan. Jelita menyapanya asing. Dikara tidak terbiasa dipanggil dengan sebutan nama. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Jelita menyodorkan whiskey tanpa es ke arah Dikara. Lalu satu sampanye untuk Ana. “Ah, aku barusan melihat Winny,” ucap Jelita, lalu menjauh dengan anggun. Ana pun menoleh pada Dikara. Senyumannya jahil, seolah ingin mengejek pria disana. “Wah, sepertinya kau sedang dalam masalah besar. Biasanya dia tidak bisa jauh-jauh darimu.” “Aku rasa begitu,” jawab Dikara sambil menyesap minumannya. Sorot mata Dikara masih terpaku pada Jelita yang ada di seberang ruangan. “Hei, jangan rangkul wanitaku!” suara Billy terdengar di dekat pintu. Dikara pun menoleh dan melihat sang sahabat baru saja melepas jasnya. Beberapa orang tertawa, sementara Ana langsung melepaskan rangkulannya di lengan Dikara. Ana melangkah ke arah calon suaminya. Disaat yang sama, Billy melingkarkan tangan di leher sang wanita, mengangkat wajah itu dengan ibu jarinya lalu mengecup dengan mesra tanpa peduli banyak pasang mata yang melihatnya. Dikara hanya mampu tersenyum sinis. Namun, matanya tak berhenti mengikuti sosok di ruangan itu. Wanita yang baru saja ia ceraikan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN