BAB 8 - Perang Dingin

1383 Kata
Malam itu, Jelita berkelana bebas di pesta pernikahan Billy dan Ana. Ia menyapa siapapun yang berpapasan dan tersenyum padanya. Tak ada lagi kewajiban untuk selalu ada di sisi Dikara. Pernikahan mereka sudah berakhir, dokumen perceraian sudah ditandatangani. Tidak ada lagi peran sebagai istri yang tunduk pada suaminya. Peran yang ia lakoni selama tiga tahun dengan sangat baik. Malam ini, ia memilih untuk tidak mengenakan topeng itu lagi. Mereka datang secara terpisah. Tanpa sadar, Dikara sempat menghampiri dan merangkul pinggang wanitanya. Itu adalah kebiasaan yang sering kali mereka lakukan. Sebuah sandiwara pasangan yang tampak harmonis di hadapan publik. Tapi kini, semua itu tak lagi sama. Sebelum melangkahkan kaki untuk ke acara tersebut, Jelita menerima email berisi salinan dokumen perceraian yang sudah ditandatangani, lengkap dengan surat resmi pengadilan tentang tanggal putusan final. Semua surat sudah selesai diurus, hanya tinggal menunggu waktu saja. Sementara, undangan pesta masih menempel di pintu kulkasnya. Jelita hampir lupa acara itu jika saja ia tidak mengambil minum tadi pagi. Sempat ia berpikir ulang, haruskah datang atau tidak? Tapi, di undangan itu memang ditujukan untuknya dan Dikara. Jujur saja, Jelita sangat menyukai Ana. Mereka adalah sahabat. Bahkan, seminggu mereka bisa menghabiskan waktu untuk sekadar mengopi. Jelita tentu tidak punya alasan untuk tidak hadir. Lagipula, ini pesta yang dilangsungkan di penthouse Billy. Tempat yang mewah dan luas. Sama seperti unit milik suaminya. Mereka memang ada di tempat yang sama, tapi Jelita memilih untuk tidak perlu berpapasan. Billy tidak menyukai rumah dengan halaman yang luas. Lokasi penthouse itu sangat strategis, dekat dengan pengadilan dan kantornya. Sementara Ana juga tidak keberatan. Tempat itu memiliki empat kamar tidur, mungkin bisa disiapkan untuk masa depan mereka. Jelita tahu banyak pasang mata yang memperhatikannya. Tapi, ia juga bisa merasakan tatapan Dikara yang menusuk ke arahnya. Ironisnya, pria itulah yang meminta bercerai. Akan tetapi, seolah-olah pria itu tak bisa berhenti mengawasi gerak-geriknya. Jelita tidak peduli dan memilih menghindari tatapan itu. Ia tidak ingin menyalahi kesepakatan atau terkesan belum bisa menerima kenyataan. Ia berjalan menuju beranda untuk menghirup udara dan menjauh dari sorot tatap Dikara. Tak lama kemudian, Ana datang dan merangkul lengannya. “Ada apa? Apa dia berbuat salah?” bisik Ana, nada bicaranya sedikit khawatir dan penasaran. “Pemandangan disini sangat indah, ya,” kilah Jelita, mengalihkan pertanyaan sahabatnya. “Memangnya di dalam sana tidak indah? Dikara ….” “Ana,” potong Jelita dengan lembut. “Ini acaramu dengan Billy. Nikmati saja, oke? Jangan pikirkan hal yang bukan urusan kalian. Pesta pertunanganmu itu untuk dirayakan, bukan dirusak.” Jelita bersikeras tidak ingin membahas permasalahannya. “Hmmmmm.” “Sudah buka hadiah dariku?” tanya Jelita, kembali mengalihkan topik perbincangan mereka. “Belum,” jawab Ana seraya tersenyum lebar. “Kalau begitu, ayo kita buka sekarang!” Ana menarik lengan wanita itu ke dalam. Dan saat mereka melewati ambang pintu beranda, Jelita kembali merasakan sorot mata tajam dari mantan suaminya. Ia berusaha tidak peduli itu. Sementara Ana mencoba membimbingnya ke arah kursi, mengumumkan pada tamu bahwa dirinya akan membuka hadiah. Jelita bersandar di kursi. Tak lama kemudian, Dikara muncul tepat di belakangnya. Ia merasakan gemuruh nafas yang menyapu belakang telinga nya saat pria itu berbisik pelan. “Tidak seharusnya kau menghindar. Itu sama sekali bukan gayamu.” Rahang Jelita seketika mengeras. Ia terheran dengan keberanian Dikara yang mendekatinya. Ia pun menoleh hingga membuat wajah mereka terpaut jarak yang begitu tipis. Dari kejauhan, Ana pun menggoda. “Cium dia! Jelita pasti akan memaafkanmu!” Tawa hambar lolos dari bibir Jelita. Ia memandang Dikara seolah menantangnya. Kalimat tersebut bagai sebuah lelucon konyol yang terdengar malam itu. Dan menurutnya sangat menyakitkan. Karena Jelita tahu, Dikara tidak akan pernah melakukannya. Jelita pun mengalihkan pandangannya ke arah Ana. “Buka hadiahnya sekarang.” Dan kesannya, Jelita benar-benar mengabaikan kehadiran Dikara di belakangnya. Ketika pria itu menyentuh tangannya dengan lembut, Jelita hampir ingin menepis lalu beranjak. Tapi, ia sadar. Jika ia melakukan itu, maka semua akan menyadari bahwa hubungan mereka tengah renggang. Padahal, selama ini kontrak mereka dilarang membuat keributan yang tidak pantas. Bahkan sampai perceraian mereka sah. Tapi semua sudah berakhir. Dokumen itu sudah ditandatangani. Artinya, hanya waktu lah yang bicara bahwa mereka bukan lagi sepasang suami istri. Jelita melirik telapak tangan Dikara yang masih menyentuhnya, lembut dan hangat seperti biasa. Tapi, untuk apa peduli citra atau penilaian orang? Lagipula, mereka semua akan tahu yang sebenarnya. “Jangan seperti ini. Jangan rusak suasana pesta ini,” bisik Dikara tepat di telinganya. Beberapa menit kemudian, Jelita beranjak ke kamar mandi. Ia menatap cermin. Wajahnya menegang dan tak bisa tersenyum. Dalam hati, ia mencoba meyakinkan diri. ‘Kau pasti bisa, Jelita. Ini tidak sesulit seperti awal menikah. Ayo, senyum! Kau pasti bisa. Kau kuat, ‘kan?’ Ia bermonolog seraya menghirup udara dalam-dalam. Kemudian, menegakkan bahu dan kembali ke ruang pesta. Kali ini, ia duduk tepat di hadapan Dikara dan tersenyum manis. Ia pernah berpura-pura bahagia jauh sebelum merasakan ketidakbahagiaan seperti sekarang ini. Dan rasanya tidak akan sulit. Ana mengambil hadiah dari Jelita lalu membuka kartu ucapan tersebut. Wanita itu sengaja membacanya dengan lantang. Tapi, di akhir ucapan—ia terlihat ragu sebelum mengatakan, “dari Jelita dan Dikara.” Padahal, Jelita tahu—tidak ada nama Dikara di kartu ucapan itu. Billy pun memandang ke arahnya. Ia tahu, nama Dikara pasti tidak ada dalam kartu ucapan itu. Mungkin, karena Ana tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka. Kata-kata itu baru Jelita tuliskan tadi pagi. Pesan penuh harapan untuk pernikahan Ana dan Billy. Dan ia hanya menuliskan namanya saja. Tidak ada nama Dikara disana. Meski, biasanya ia akan menuliskan nama mereka berdua. Jelita dan Dikara Darmawangsa. Kemudian, Ana membuka kotak itu dan betapa terkejut …. “Ini serius? Bahkan ini sudah tidak ada di toko buku mana pun. Aku juga sudah mencarinya kemana-mana.” Ya. Nyatanya hadiah yang Jelita berikan adalah sebuah buku limited edition, berjudul Born Light & Dark, novel fantasi romance dari trilogi yang akan datang. Kala itu, Jelita hanya tersenyum, meminta Ana membuka bagian dalamnya. “Aku tidak percaya ini.” Anabel membuka sampul buku itu dan menutup mulutnya. Ia pun memandang calon suaminya dan mulai membaca dengan suara bergetar. “Selamat bertunangan, Ana dan Billy. Biarkan cinta kalian selalu menyatu, selami hasrat dan bangunlah hidup penuh kenangan yang menakjubkan. Dari—Juwita Lestari.” Ana tampak terkejut. “Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?” tanya Ana, tak percaya. “Aku punya caraku. Dan ini tidak ada campur tangan Dikara, ya,” tegas Jelita. Ingin semua orang tahu bahwa ia bisa melakukan sendiri tanpa bantuan suaminya. “Aku mengenal Juwita Lestari sejak kuliah. Aku pun menghubunginya, bilang kalau kau mengaguminya. Dia pun memberikan satu dari koleksi pribadinya.” “Jadi, ini milik Juwita Lestari langsung?” Ana mendekap buku itu erat-erat. “Aku tidak akan membuatnya lecet.” “Buku itu dibuat untuk dibaca, bukan disimpan sampai berdebu,” celetuk Jelita sambil mengetuk pinggir sampulnya. Disana, tertulis pesan … ‘baca aku, -J.L-’ Ana pun memeluknya. “Aku sangat menyukainya. Aku tidak percaya kau mengenalnya.” “Terkadang dunia itu sangat sempit. Tapi, jangan harap bisa bertemu langsung dengannya. Dia itu introvert sejati. Dia tidak bisa menunjukkan wajahnya.” Ana pun terkekeh pelan. Satu jam kemudian, Jelita pamit pada Billy dan Ana. Ia langsung melangkah keluar penthouse tersebut dan menghela nafas lega. Akhirnya, ia bisa meninggalkan ruangan yang menyesakkan karena keberadaan Dikara disana. Ia berjalan ke arah lift, menekan tombol untuk bergegas pulang. Namun, suara Dikara langsung menjeda ketika pintu lift terbuka dan tertutup kembali. “Kau harusnya berpamitan. Itu sangat tidak sopan.” “Kenapa? Lagipula, kita datang masing-masing. Jadi tidak ada yang aneh kalau aku pergi lebih dulu. Mereka tahu kau tinggal disekitar sini, sementara aku di pinggir kota. Jadi, menurutku tidak masalah,” jawab Jelita dengan tenang. “Tapi aku belum mengantarmu sampai ke lobi. Kau bahkan tidak memberitahuku akan pulang,” ujar Dikara terdengar kesal. “Apa aku harus meminta izinmu lagi?” Dikara memandang wanita itu dengan ekspresi bingung. Sementara untuk pertama kali, Jelita mendengar pria itu mendengus. Suaranya terdengar asing, tapi jujur. “Aku pikir kita ….” Dikara menggenggam tangan Jelita dengan tiba-tiba lalu menariknya jauh dari lift. Ia membuka pintu tangga darurat dan membantingnya. Disaat yang sama, ia berbalik menatap Jelita dalam-dalam. “Aku tidak ingin kau mengatakan itu di depan umum. Ini bukan untuk konsumsi publik. Dan aku tidak ingin siapapun tahu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN