BAB 9 - Kau Masih Milikku!

1192 Kata
Jelita bersandar pada dinding, memandang sang suami yang menjulang di hadapannya. Perbedaan tinggi mereka–sangat kontras, yakni, dua puluh senti. Dan ia selalu mengira, bahwa dirinya akan selalu jadi hal pertama yang suaminya lihat. Tapi, kenyataan kembali menampar. Ia teringat akan kenyataan pahit bahwa mereka sudah bercerai. Ia tahu, Dikara tidak ingin perceraian ini terdengar publik. Lalu bagaimana ia bisa menyembunyikan hal sebesar ini? Tidakkah itu hanya ilusi semata? Ia tidak bisa sepenuhnya memahami jalan pikiran pria itu. Billy sudah mengirimkan berkas perceraian mereka pagi ini ke pengadilan. Hal itu merupakan langkah awal dari proses yang tak bisa dihindari. Cepat atau lambat, semuanya akan terungkap. Termasuk saat dirinya berhenti menjadi pendamping Dikara di acara publik. Setidaknya, dalam enam minggu kedepan ada tiga agenda yang harus mereka hadiri dan sudah dijadwalkan. Namun, Jelita juga paham kalau pria itu bisa saja tiba-tiba menelepon dan meminta untuk ditemani dalam jamuan makan malam bisnis dengan klien. Seseorang yang hanya bisa dihubungi karena kemampuan dalam bidang pemrograman. Dan hanya Jelita yang bisa berbicara dalam ‘bahasa’ yang dimengerti sang klien. Hanya saja, sudah seharusnya Dikara mencari pengganti dirinya. Atau mungkin saja … Dikara sudah menyiapkan itu semua. Jelita tidak tahu pasti. “Aku datang karena undangan itu memang sudah diterima sejak lama. Kita juga sudah mengatakan akan hadir bersama. Kalau kau tidak datang, apa kata orang? Haruskah aku berterima kasih karena kau tidak membawa wanita lain malam ini dan mempemalukanku?” ucap Jelita dengan nada suara yang terdengar bergetar. Dikara menatapnya dengan raut bingung. Ia jelas tidak senang dengan ucapan Jelita. “Kau pikir aku akan melakukan itu?” Jelita tiba-tiba termenung. Apa benar Dikara akan tega melakukan itu? Ya, mungkin saja. Mengingat perbincangan antara pria itu dengan sahabatnya dulu. Dikara pernah bilang bahwa akan menceraikannya jika menemukan wanita yang tepat. Jadi, jika ditelaah dari ucapan itu dan ketika ia mengajukan permintaan soal meminta anak. Sementara Dikara justru mengajukan perceraian, itu artinya—pria tersebut sudah memiliki pengganti bukan? “Akhirnya, terjadi juga,” gumamnya, pelan. Jelita mengangkat bahu, bersikap acuh tak acuh. “Untuk menghindari kesalahpahaman ini, kirimkan saja ke emailku agenda yang harus kau datangi dan tidak ingin bertemu denganku. Jadi, aku tidak akan muncul di hadapanmu. Kita juga tidak perlu berpura-pura di depan teman dan rekan bisnismu.” Rahang Dikara mengeras sebelum tersenyum sinis. Sepertinya ia tidak memikirkan hal itu. Seharusnya ia melihat agenda terlebih dulu sebelum waktu perceraian disahkan. Sehingga, ia tidak perlu membawa Jelita ke acara publik. Atau, mungkin ia harus terbiasa pergi tanpa sang Jelita? “Kau tidak pernah terpikir hal itu, ‘kan? Kau hanya berpikir untuk bercerai dan berharap tidak ada seorang pun yang tahu,” ucap Jelita seraya mengangguk pelan. Sebenarnya ia tidak bermaksud menyulitkan Dikara. Ia hanya ingin mengatakan kenyataan yang ada. “Setahuku, ada tiga acara dalam enam minggu ke depan. Termasuk gala amal dan kompetisi tari. Sebaiknya, kau cari opsi lain. Aku bukan milikmu lagi.” Jelita nyaris berlalu. Namun, Dikara menahannya. “Kau masih milikku, Jelita!” Suara Dikara meninggi satu oktaf. Kemudian, tangannya menarik sang wanita agar berbalik dan menatapnya. Sorot mata itu langsung menusuknya. Jelita mendapati tatapan tajam yang lebih pekat dari biasanya. Dalam sekejap, punggungnya tersudut ke tembok dan sama sekali tak diberi ruang bernafas oleh pria itu. Disaat yang sama, bibir Dikara mendekat ke telinga, berbisik namun penuh penekanan. “Perceraian itu tidak akan selesai dalam minggu. Bahkan, setelah itu, kau masih tetap menjadi milikku, Jelita.” Tubuh Dikara semakin menghimpitnya. Kemudian bibir pria itu mulai menyentuh ceruk lehernya, menciumnya di titik terlemahnya. Dikara tahu, bagian itu selalu meruntuhkan pertahanan Jelita dalam sedetik. Deru napas wanita itu mulai terdengar tak beraturan. Dan Jelita berusaha mendorong Dikara, tapi pria itu justru semakin mengikis jarak. Tangan Dikara mulai menyentuh ujung gaunnya, menarik sehelai kain yang menutupi itu lalu memberikan sentuhan yang begitu menggairahkan. “Ber-henti …,” lirih Jelita dengan napas tersengal. Namun, bodohnya ia justru tak berdaya. Seolah ucapan itu hanya sekadar basa-basi saja. Mereka tidak terbiasa melakukan ini di tempat yang terbuka. Bayangkan saja, mereka ada di tanggan darurat, siapapun bisa lewat dan menimbulkan masalah. Namun, jemari Dikara semakin sibuk dan membuat napasnya menjadi berat. “Kita … ada di … tangga,” ucap Jelita, lirih. Ia berusaha mengembalikan kesadaran pria itu. Namun, rasanya Dikara sudah terlalu jauh karena terbakar gairah. Sangat sulit untuk menghentikannya sekarang. “Aku tidak peduli.” Tatapan matanya kini tampak seperti hewan buas yang siap menerkam. “Aku menginginkanmu, buat aku puas, Jelita.” Bisikan itu menggoda, sementara bibirnya mulai menjejaki leher mulus sang wanita. Dikara mencium dan menuntut. Sedangkan jemarinya semakin sibuk, memainkan tempo yang membuat tubuh Jelita semakin menggeliat. Jelita hanya bisa memejamkan mata, merutuki dirinya karena membiarkan semua itu terjadi. Tapi, ia pun tidak bisa menampik, bahwa dirinya pun menginginkan pria itu. Selama bertahun-tahun, Dikara selalu memenuhi kebutuhannya, tapi sekarang—ia dengan tega menceraikannya. Jelita hanya ingin memenuhi satu momen terakhir, sebuah perpisahan yang penuh gairah. “Dik …,” suara itu lolos dari bibir Jelita, tersirat penuh kerinduan dan keinginan yang mendalam. Dikara menyesap leher itu, lalu memutar dan mengangkat gaun Jelita lebih tinggi. Tanpa aba-aba, Dikara memasukinya dengan salah satu kaki sang wanita yang terangkat. Ketika mereka menyatu, suara erangan tertahan memenuhi ruangan sempit itu. Tangan Dikara mencengkram rambut sang wanita, menariknya sampai mendongak. Sementara pria itu semakin memainkan tempo yang tidak biasa, seolah gairah dan emosi bercampur menjadi satu. Tubuh Jelita bergetar seakan ia sudah menyelesaikan permainan. Namun, tidak dengan Dikara. Pria itu menarik tubuhnya, menjauh dan membiarkan Jelita bernapas dengan leluasa sebelum menghujamnya kembali lebih keras dan kasar. Dikara mengangkat tubuh wanita itu, mendorongnya hingga ke tembok dibersamai erangan penuh frustasi. Seolah belum puas, Dikara melanjutkannya lagi. Jelita melingkarkan kaki, menerima seluruh desakan yang memenuhi. Tubuhnya seolah dimiliki kembali oleh pria itu. Sekali lagi. Jemarinya menelusup ke dalam rambut sang pria. Sementara bibir Dikara bersembunyi di ceruk lehernya. Membuat Jelita tak bisa berhenti terengah. Suara yang semula tertahan kini berubah menjadi jeritan yang lirih. Dikara mengunci tubuh Jelita, mendorongnya dengan tempo yang kuat hingga mereka puncak surga dunia bersama. Seketika itu pula, tubuh Jelita menegang. Ia menjerit dalam diam ketika pria itu melepaskan tautan mereka. Deru napas terdengar serak dan pekat. Mereka hanya berdiri, saling berhadapan tanpa banyak bicara. Jelita tak tahu siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. Alhasil, ia pun meminta untuk diturunkan. “Tolong … turunkan aku.” Perlahan, Dikara mulai melepaskan pelukannya hingga Jelita meringsut dari tembok. Ketika wanita itu berpijak, Dikara langsung mundur selangkah. Jelita memejamkan mata dan bersandar di dinding. Ia tidak ingin melihat pria itu. Ia tahu, pertahanan dirinya pasti akan runtuh jika terus menatapnya. Tangan Jelita mendorong d**a Dikara menjauh. Bahkan saat pria itu selesai membentulkan resleting dan menyentuh pipinya—ia langsung berpaling. “Pergilah, Dikara,” bisiknya pelan. “Maaf, aku terbawa suasana,” ucap Dikara, terdengar menyesal. Ucapan itu terdengar datar. Tapi, Jelita merasa dirinya tidak dalam kondisi baik. “Aku bisa pulang sendiri,” ucapnya, tenang. Akhirnya, Jelita membuka mata kemudina berjalan menuruni tangga. Tepatnya, ia menghindari Dikara. “Kita ada dilantai tertinggi,” ujar Dikara, mengingatkan. Namun, Jelita tak peduli. Ia terus saja melangkah, menjauh dari pria yang ia cintai sekaligus menghancurkannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN