BAB 10 - Pikiran dan Hati

1260 Kata
Dikara menjauh dari Jelita setelah acara pertunangan Billy. Ia merasa dirinya tidak dapat dipercaya untuk menyentuh wanita itu lagi. Ia sadar, seharusnya—ia tidak melakukan hal tersebut malam itu. Namun, ketika Jelita mengatakan bahwa ia bukan lagi miliknya, kata-kata langsung mengusiknya. Perceraian ini ternyata sangat menyakitkan dan tidak semudah yang ia pikirkan. Dua kali dalam sepekan terakhir, Dikara tanpa sadar melajukan mobilnya menuju rumah pantai. Tapi, ia hanya berdiam diri sebelum akhirnya kembali ke penthouse. Pernah suatu malam, ia menghubungi Billy hanya untuk sekadar minum—berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai terusik. Sepertinya, enam minggu ini akan jadi ujian terberat dalam hidupnya. Amarah pun meluap malam itu, tepat di tangga usai pesta. Bahkan, ia tak mampu memandang Jelita. Ia teringat betapa sering mereka bercengkrama di atas ranjang, kemudian diam-diam memperhatikan wanita itu. Terkadang, ia berupaya agar tidak terlihat sedang memperhatikan dan akhirnya menyuruh wanita itu untuk segera tidur. Ia sangat menyukai momen tersebut, ketika Jelita tidak sadar bahwa dirinya sedang memperhatikan. “Aku sudah bilang, cara ini tidak akan berhasil,” ujar Billy seraya menggelengkan kepala. “Semua sudah terlanjur,” sahut Dikara, pelan. Matanya menatap gelas wiski di hadapannya. “Aku ingin pulang ke rumah. Tapi, aku tidak bisa kesana sendiri. Aku khawatir akan tergoda dan berakhir di ranjang yang sama.” Titik pandang Dikara menatap jauh lalu menghela napas berat. “Kalau dia mau, kenapa tidak?” Billy menggedikkan bahu. Dan itulah permasalahannya. Jelita mungkin saja setuju. Tapi setelah itu? Ia harus melihat kembali ekspresi wajah wanita itu saat malam pertunangan Billy. Sungguhan, ia tidak bisa melupakannya. Bagaimana Jelita menepis tangannya, sesuatu yang jarang ia lakukan. Lalu menyuruhnya pergi begitu saja. Perceraian itu sungguh mengejutkan. Dan saat surat itu sudah ditandatangani, Dikara justru menggoda sang wanita di tangga darurat yang siapapun bisa melihatnya. “Tidak mungkin. Dia marah sejak malam itu,” ucap Dikara, pelan. “Maksudnya?” Billy tampak bingung. “Aku tidak bangga, Billy. Tapi malam itu, di pesta pertunanganmu … aku dan dia … di tangga darurat ….” Dikara berhenti sejenak untuk menghela napas panjang, sebelum menghabiskan minumannya. “Double shoot,” gumamnya meminta sang bartender mengisi ulang gelasnya. Bar itu sangat eksklusif. Hanya orang kalangan atas yang bisa datang kesana. Dikara menyukai suasananya yang terasa menenangkan. Meskipun sedikit remang, tapi sungguh mendukung suasana hatinya. Tidak ada keributan atau musik yang keras. Hanya alunan musik klasik yang mengisi seluruh penjuru bar. Di tempat seperti itu, cukup dengan ketukan, minumannya akan terisi kembali. Billy ikut menghela napas. “Aku penasaran, lalu kau kemana setelah itu?” “Aku kembali lewat lift, sementara dia memilih menuruni tangga darurat. Aku menunggunya di mobil sampai dia benar-benar keluar dari gedung.” Dikara terkenang. “Dia butuh lebih dari satu jam untuk sampai ke lantai dasar. Dia menjinjing sepatu haknya. Kurasa, dia benar-benar menuruni anak tangga itu dari lantai dua puluh.” “Konyol sekali!” seru Billy dengan kening mengkerut. “...” “Aku bisa minta Ana menghubunginya dan ajak makan siang kalau kau mau.” “...” “Tapi, apa kau tahu? Namamu itu sebenarnya tidak ada di kartu ucapan.” “Iya. Mungkin dia menulis kartu itu di hari yang sama saat aku menandatangani surat perceraian.” Dikara mengangguk pelan. “Aku sudah bilang dia pasti marah. Tapi, kau tidak mau mendengarku.” Billy mendengus lalu meminta satu bir lagi. Sementara Dikara mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Aku harus ke rumah. Tapi tidak bisa sendirian. Apa kau mau menemaniku?” “Ya, tentu saja,” jawab Billy sambil tertawa. “Ya. Dan aku ingin kau mengalihkan perhatiannya.” “Kurasa dia tidak tertarik dengan seseorang yang telah menyerahkan dokumen perceraian itu.” “Aku tidak peduli. Aku cuma mau mengambil beberapa berkas kantor dan jas di kamarku. Setelah itu, aku tidak akan mengganggunya lagi. Setidaknya, sampai aku mengantar dia sampai ke bandara.” “Kau benar-benar setidak percaya diri itu? Padahal, biasanya kau sangat tenang.” Billy mendesah. “Ini beda, Billy. Aku tidak menyangka dia akan semarah ini.” Dikara meneguk minumannya sekali lagi. “Kalau begitu jemput aku besok pagi.” Kemudian, Dikara mengeluarkan kartu untuk membayar bill. Ia memberi isyarat pada bartender untuk dua minuman mereka. *** Pagi itu, Dikara sudah berpakaian seperti biasa. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah mereka yang terletak di tepi pantai. Dan menemukan Jelita sedang berdiri di foyer, merangkai bunga dalam vas besar di meja itu. Melihat kedatangan pria itu, Jelita melirik sebentar. “Ada yang bisa kubantu?” tanya Jelita, tanpa basa-basi. Kemudian memusatkan kembali perhatiannya pada rangkaian bunga disana. “Tidak. Aku cuma mau ambil berkas dan jas,” jawab Dikara. “Silakan. Aku tidak akan terganggu.” Jauh dari lubuk hati, Dikara ingin sekali bertanya—apakah wanita itu baik-baik saja? Tapi, ia juga tahu, pertanyaan itu terlalu rumit. Dikara hanya memandang Billy, kemudian mengangguk dan menjauh. Dari kejauhan, ia mendengar Billy berbasa-basi. “Ana sangat menyukai hadiah yang kau berikan.” “Senang mendengarnya,” balas Jelita, tanpa ekspresi. “Aku penasaran, darimana kau bisa mengenal Juwita Lestari? Ana bilang itu hanya nama pena, tapi tidak ada yang mengenalnya.” “Kami pernah kuliah satu kampus. Itu sebabnya, aku punya semua bukunya,” jawab Jelita. Dikara terkejut. Ia tidak tahu kalau Jelita memiliki semua buku penulis itu. Sepertinya, ada satu sisi Jelita yang tidak pernah ia ketahui. Dikara pun melanjutkan tujuannya, ia mengambil beberapa berkas dari ruangan kerjanya. Saat Jelita sudah terlelap, ia akan selalu bekerja disana ketika tidak bisa tidur. Kemudian, Dikara beranjak ke lantai atas. Di meja rias, ia melihat dua buku Juwita Lestari. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Semuanya tetap sama. Tempat tidurnya tertata rapi, jendela terbuka membiarkan udara masuk. Ia tahu, Jelita selalu melakukan itu. Sebab, di panti asuhan tempat Jelita dibesarkan, ia selalu merasa terkurung di ruangan yang sempit tanpa jendela. Sejak saat itu lah, ia tidak akan pernah ingin berada di ruang tertutup dan gelap. Dan itu pula alasan Dikara membeli rumah tersebut. Karena kamar mereka luas dan terang. Dengan dikelilingi jendela besar menghadap pantai. Semua ruang di belakang rumah pun terbuka. Tidak ada sekat yang menyesakkan. Hanya ada cahaya bercampur udara dan kebebasan. Ia berjalan ke arah lemari pakaian, mengambil jas dan meletakkannya di ranjang. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi, membuka drawer, dan menemukan alat kontrasepsi milik wanita itu. Dikara mengamatinya. Ia sadar, mungkin Jelita mulai melepas setelah menandatangani surat cerai itu. Ia pun tersenyum kecil. Seperti yang sudah direncanakan. Semua pasti akan baik-baik saja. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Ia membayangkan Jelita akan menangis, memeluknya atau memukul bahunya karena marah. Satu hal yang ia tahu pasti, bahwa Jelita sangat mencintainya. Sebab, cinta bisa meleburkan amarah. Ia yakin mereka akan bahagia. Mereka akan pulang dari Italia dalam keadaan bahagia, memiliki yang selalu diimpikan. Ia hanya perlu menunggu sampai perceraian itu benar-benar selesai. Setelah itu, ia akan memberikan segala yang diinginkan sang wanita. Dan Jelita, akan memahaminya. Ia meletakkan alat itu, mengambil jas dan berkas. Kemudian, ia pun turun. Saat itu, ia tidak melihat keberadaan Jelita. Tapi, di atas meja, bunga-bunga itu sudah tertata rapi. Lily dan anggrek, bunga yang selalu Jelita sukai. “Dia kemana?” tanya Dikara pada sahabatnya. “Dia pergi jalan-jalan. Katanya ke tepi pantai,” jawab Billy, santai. Dikara hanya mengangguk. Ia tahu, itu tempat favorit Jelita. Itu sebabnya, ia membeli rumah tepi pantai ini. Agar Jelita bisa menikmati udara pantai, sesuatu yang pernah ia katakan—bahwa angin pantai bisa membuatnya merasa bebas. Dikara memandang ke arah pantai, lalu berjalan mengikuti jejak peremuan yang masih memenuhi pikiran—dan hatinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN