Mobil berhenti di zona penurunan penumpang Bandara Internasional. Jelita menunduk, memandang tangan kirinya. Cincin pertunangan dan cincin kawin masih melingkar di jari manisnya. Dikara memang tidak pernah meminta cincin-cincin itu dikembalikan, tetapi kini ia sadar. Sudah saatnya melepaskan. Ketika ia membuka pintu mobil, tangannya pelan-pelan menarik cincin-cincin itu dari jari, menggenggamnya di telapak tangan seolah menyadari—bahwa cincin tersebut bukan lagi miliknya.
Dengan langkah mantap, Jelita menuruni mobil dan membiarkan cincin-cincin itu jatuh ke kursi tempatnya duduk begitu saja. Ia menarik napas panjang, lalu menutup pintu mobil dengan tenang—meninggalkan bukan hanya mobil itu, melainkan seluruh kehidupannya yang lama. Ia berdiri di trotoar, menunggu Dikara mengambil kopernya di bagasi.
Tak lama kemudian, Dikara meletakkan koper itu di tanah dan menggulirkannya ke arah Jelita.
“Kau yakin ini cukup untuk sebulan penuh?” tanyanya sambil menatap Jelita.
“Sudah cukup untuk tempat yang akan kutuju,” jawab Jelita, mengangguk pelan sambil menatap mata pria itu. Namun, yang ditatap justru menghindari tatapan dan membalas dengan raut wajah masam. Ia tahu, Dikara masih enggan menciumnya, dan itu fakta yang sangat menyakitkan baginya. Padahal, ia sudah susah payah berdandan, mempercantik diri agar terlihat menarik di mata mantan suaminya. Berharap dirinya bukan beban bagi Dikara. Namun, semua itu tak mengubah apa pun—Dikara tetap bergeming, memandang ke bawah.
Satu menit berlalu. Jelita berusaha menahan diri agar tidak terbawa emosi. Ia menunduk, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu bahwa dirinya tak akan mendapatkan satu ciuman pun dari pria itu. Meskipun hanya sesaat. Alhasil, ia mendengus pelan, lalu mendongak menatap Dikara sekali lagi.
“Apakah sebegitu sulitnya?” tanya Jelita dengan nada bergetar. “Satu ciuman saja. Setelah ini, kau tidak perlu pernah melihatku lagi. Apa aku benar-benar meminta sesuatu yang menyulitkanmu?”
Air mata mulai menggenang di pelupuknya. Kilau itu bahkan menyamarkan pandangannya. Ia berkedip, mencoba mengusir air mata itu. Namun, hatinya menggema—ia terluka terlalu dalam.
Dikara masih mematung, menatapnya tanpa berkata apa-apa. Tatapannya menghindar, dan Jelita pun akhirnya mengangguk pelan.
“Aku mengerti,” bisiknya lirih. Ia menarik koper, siap beranjak—terlepas dari semua perjanjian yang Dikara coba abaikan.
Namun tiba-tiba, tangan Dikara menyentuh wajah wanita itu, mendongakkannya dengan lembut dan memaksa Jelita menatap matanya. Di saat yang sama, bibir mereka menyatu. Ciuman itu cukup singkat, lembut, dan sangat sopan. Begitu cepat berakhir, tapi cukup untuk menggoreskan rasa perih yang baru di hati seorang wanita.
Jelita kembali menarik koper dan mulai menjauh. Tapi tak disangka, tangan Dikara mencengkram lengan sang wanita lalu memutarnya kembali. Jelita bahkan tak sempat menyembunyikan air mata yang akhirnya mengalir bebas di pipinya. Ia tak ingin Dikara melihat lukanya, namun semua tampak begitu jelas. Tatapannya memaku pada mata Jelita, melihat kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Kemudian, tanpa aba-aba, bibir Dikara kembali meraup bibirnya—kali ini dengan kasar dan penuh tuntutan. Ia menarik Jelita lebih dekat, begitu erat hingga tak ada celah di antara mereka. Lidah mereka bertaut, tangan Dikara menyusup ke rambutnya, mencengkeram dengan hasrat yang menyala. Jelita pun membalas, tangannya mencengkeram bagian d**a kemeja sang mantan lalu mengikuti alur seolah ingin menghentikan waktu. Dan hanya boleh ada satu-satu ciuman yang ada diantara mereka.
Itu memang ciuman terakhir. Sebuah salam perpisahan yang memabukkan. Air mata Jelita mengalir semakin deras. Ia menarik diri ketika merasakan tubuh Dikara menegang, menunjukkan gairah yang tak bisa disangkal. Ia tahu, Dikara mencintai wanita lain. Tapi tubuh pria itu seolah masih menginginkan dirinya.
“Kau b******n,” gumam Jelita sambil menghapus air matanya.
“Jelita, kau akan memahami semuanya suatu saat nanti,” ucap Dikara sambil mengangkat tangannya untuk menyeka air mata disana.
Namun, Jelita menepis tangan itu. Ia tak akan pernah mengerti—bagaimana mungkin Dikara menceraikannya, namun tetap menginginkannya? Semua ini mengingatkannya pada hari mereka sepakat menandatangani surat perceraian itu. Cumbuan waktu itu pun penuh kerinduan yang membingungkan. Dan kini, tubuh Dikara merespons tubuhnya dengan naluri yang sama—berkuasa dan menyala.
“Aku tidak akan pernah memahamimu,” ucap Jelita, getir. Ia mengambil koper dan melangkah dengan cepat.
“Kenapa aku bisa jatuh cinta padamu?” lirih Jelita, penuh penyesalan. Ia menghukum dirinya sendiri karena sudah tahu jawabannya.
Jelita langsung menuju loket tiket kelas satu. Saat berdiri dalam antrian, tatapan petugas wanita menatapnya penuh tanda tanya. Ia tahu dirinya tampak berantakan.
“Maaf, aku baru saja bercerai,” ucapnya, seolah ingin menjawab rasa ingin tahu wanita itu.
“Apakah ada barang bagasi tambahan?”
“Tidak. Hanya ini. Semua barang lainnya sudah kukirim lebih dulu. Ini tiket satu arah.”
Setelah melewati pemeriksaan keamanan, ia melanjutkan step by ste seperti penumpang lain, menuju ruang tunggu kelas satu. Di sana, ia langsung menuju kamar mandi, menatap dirinya di cermin. Tidak seburuk yang ia bayangkan, namun jelas wajahnya menunjukkan bahwa ia habis menangis. Bibirnya sedikit bengkak akibat ciuman yang menggebu. Ia membeku di sana sejenak, hanya mencoba untuk sekadar bernapas. Setidaknya kini ia tahu, seperti apa rasanya dicium oleh Dikara—sangat dalam, panas, dan memabukkan.
Namun pemikiran itu justru menusuknya lebih dalam. Kini, ia sadar bahwa wanita lain akan merasakan ciuman itu setiap malam.
“Tarik napas,” bisiknya pada diri sendiri. Saat itu, seorang wanita keluar dari bilik toilet dan menatapnya prihatin.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Ya, hanya putus cinta saja,” gumam Rin. “Aku akan baik-baik saja. Terima kasih.”
Jelita kembali ke lounge, menyesap iced vanilla latte sambil menunggu panggilan boarding. Ketika boarding kelas satu diumumkan, ia beranjak dan berdiri dalam antrian, berbeda dengan penumpang lain yang terburu-buru menyerbu. Ia berjanji pada dirinya sendiri tidak akan naik pesawat itu, tetapi ia harus terlihat seolah benar-benar menaikinya. Jika Dikara melihat dan tiketnya sudah di pindai, maka pria itu akan mengira dirinya benar-benar sudah meninggalkan negara ini, seperti rencananya.
Jelita berdiri menatap lorong pesawat yang sempit, merasa tubuhnya memanas. Ia mencoba mengusir rasa sesak itu. Ia sudah pernah terbang sebelumnya, semuanya pasti akan baik-baik saja. Saat pramugari memindai tiketnya, Jelita tiba-tiba mual.
“Nona, kau baik-baik saja?” tanya pramugari khawatir.
“Aku punya klaustrofobia,” gumamnya sambil menarik napas dalam. “Boleh aku ke toilet sebentar? Aku hanya perlu waktu sebentar saja.”
Pramugari itu mengangguk dan menyerahkan kembali paspor serta tiketnya. “Anda sudah check-in. Silakan kembali ke sini lagi nanti.”
“Terima kasih.”
Jelita mengangguk dan bergegas pergi ke toilet terdekat. “Kau tidak akan naik pesawat itu,” ucapnya pada diri sendiri. Di dalam toilet wanita, ia mencoba mengatur napas, hingga perlahan rasa mual itu mereda.
Jelita sudah pernah mengalami hal tersulit—tatapan ke lorong pesawat yang sempit. Ia lupa bagaimana rasanya melakukan itu. Dikara selalu menggunakan jet pribadi. Tidak ada antrian ataupun lorong yang sempit. Pesawatnya luas, bisa memuat sepuluh orang, lengkap dengan kamar tidur di dalamnya.
Ia mengusir kenangan itu dan meninggalkan bandara sepenuhnya. Ia naik taksi ke kantor pengadilan lokal dekat rumahnya, bukan yang di pusat kota—karena kemungkinan besar ia akan bertemu Billy di sana dan ia tidak ingin itu terjadi.
Jelita tiba lebih awal, tetapi tidak masalah. Ia duduk di cafe terdekat, membuka laptop, dan mulai bekerja sambil menikmati segelas iced vanilla latte. Klaustrofobia nya sudah mulai reda dan ia merasa jauh lebih tenang. Ponselnya masih dalam mode pesawat. Tidak akan ada panggilan ataupun notifikasi. Bagi dunia, ia telah terbang meninggalkan semuanya.
Saat waktu janji temu tiba, ia datang menghadap hakim. Hakim itu menelaah dokumen-dokumen, hanya mengajukan dua pertanyaan padanya. Ketika melihat nama Dikara Darmawangsa, raut wajah hakim menunjukkan pengakuan. Semua orang di wilayah ini tahu siapa pria itu. Bahkan hakim itu tahu bahwa perceraian mereka baru saja resmi tengah malam tadi.
“Saya tidak ingin dikenal sebagai wanita yang gagal mempertahankan suaminya,” ucap Jelita mantap. “Saya adalah Juwita Lestari, seorang penulis. Itu nama pena saya. Sekarang waktunya saya berhenti bersembunyi, waktunya menunjukkan siapa diri saya sebenarnya.”
“Jadi Anda tidak mencoba menyembunyikan diri dari mantan suami Anda?”
“Tidak,” jawabnya. “Saya hanya ingin melanjutkan hidup setelah perpisahan kami. Itu hal yang pantas dilakukan. Dia yang memintanya,” lanjut Jelita, menunduk menatap dokumen.
Hakim mengangguk pelan. Lalu dengan resmi memberikan identitas baru padanya. Jelita Larasati sudah resmi tiada. Kini, yang berdiri di hadapan hakim adalah Juwita Lestari—seorang wanita yang baru saja lahir kembali dari luka, perpisahan, dan keberanian memilih dirinya sendiri.
***