Membaca Orang

1155 Kata
Ketika memasuki bus, Clara masih sambil mendengarkan musik. Ia berharap, harinya tidak seburuk hari kemarin. Ya, ia tidak mau. Meskipun berusaha kuat dan tegar, berusaha tenang dan berpikir positif, nyatanya setiap kata-kata haters dan hal-hal yang membuatnya mempertanyakan kelayakan dirinya sendiri, masih terus terngiang-ngiang. Semua pikiran negatif itu, Clara benci. Ia ingin menyingkirkannya segera. Mungkin, memang perlu waktu. Ya, perlu waktu. Clara berusaha mengucapkan kalimat-kalimat positif kepada dirinya sendiri. "Ini akan berlalu." "Ini hanya satu fase yang nantinya akan segera berlalu." "Semua akan membaik. Hanya perlu diterima dan dijalani." Clara memutar musik yang lebih bersemangat. Ia pindahkan lis musik yang ia dengar ke lagu-lagu yang lebih nge-beat. Namun, itu tak lama. Ada telepon masuk yang ketika melihat siapa yang menelepon, Clara sedikit bimbang dan terkejut. Apa ia harus mengangkatnya? "Halo," ucap Clara. Naren yang menelepon. Sebuah kenyataan langka dan mungkin patut diabadikan. Hanya saja, telepon itu datang ketika perasaan Clara sedang buruk. Belum membaik sepenuhnya. "Halo. Aku ingin menyanyikan sebuah lagu." Tebakan Clara salah. Ia pikir, Naren akan bertanya tentang keadaannya. "Lagu apa?" tanya Clara, acuh tak acuh. "Lagu lawas. Aku sudah buat videonya. Kamu harus tonton, ya." "Oke. Aku akan tonton." "Oke. Ya, sudah." "Sudah?" Tunggu, percakapannya terlalu cepat berakhir. Clara seperti belum puas. "Ya, sudah. Aku hanya ingin mengatakan itu." "Ta-tapi ...." "Tapi apa?" "Ada yang mau aku katakan." Clara menarik napas panjang. Kenapa hari ini bus agak lambat? pikirnya sambil melihat ke jalanan. "Apa?" Clara berpikir sejenak. Menimbang. Apakah memang bicara kepada Naren adalah hal yang tepat? Ia kadang-kadang jadi plin-plan sekali. "Tidak. Tidak jadi." "Oke." Clara tambah kesal saja. Kenapa Naren tidak menagih ceritanya? Ia kesal, tapi merasa lucu juga. Ia berpikir, bertanya-tanya dan bersyukur. Naren sudah tahu. Ya, pasti laki-laki itu sudah tahu tentang hubungannya dengan San. Meski begitu, kelihatannya, Naren masih peduli. Ia masih jadi Naren yang biasanya. Cuek, dingin, tapi tak pernah hilang peduli. Setelah telepon itu ditutup, Naren benar-benar mengirimkan sebuah video. Video berisi dirinya sedang bernyanyi sambil bermain gitar. Clara menatap Naren di video itu. Ia menyanyikan sebuah lagu lawas yang entah kenapa, meskipun suara Naren sangat bagus, serta nada gitarnya pun benar-benar terdengar tepat, tapi lagu lawasnya yang membuat Clara ingin sedikit tertawa. Lagunya bagus, hanya satu kenyataan kenapa itu jadi lucu. Clara berpikir, apakah dirinya dan Naren benar-benar tidak ditakdirkan? Mereka berdua memiliki banyak kesamaan. Suka dengan hal-hal berbau klasik, dan lawas. Sekali lagi, dua kali lagi, Clara kagum dan merasa lucu dengan video dari Naren. Ia merasa lebih baik. [Terima kasih videonya. Tapi, apa suatu hari, kamu bisa menyanyikan lagu yang sedang tren?] Tak lama, Naren membalas lagi. [Ya, kapan-kapan.] Bus berhenti. Sudah sampai. Clara turun dan langkahnya terasa sedikit lebih ringan. Setelah ia pikir-pikir, ada banyak orang yang sangat peduli terhadapnya. Gadis itu merasa, mungkin ia harus bersikap lebih bodo amat. Rasanya ia ingin berteriak-teriak tidak jelas untuk semua yang sedang terjadi kepada dirinya. Sayang, ia sedang berada di tempat umum. "Halo, Clif! Apa kabar?" Sonia menyambut Clara. Ia bahkan menggandeng tangan Clara, menuntunnya sampai masuk ke dalam ruangan. Sedangkan beberapa pasang mata, tak luput memantau pergerakan dua perempuan tersebut. Clara paham, Sonia datang dan menyambutnya dengan hangat, itu karena semua orang mungkin sudah tahu kasusnya. "Terima kasih," ucap Clara pelan. "Tidak perlu." Singkat, Sonia menjawab. "Mau kopi? Sebelum aku kembali ke ruangan, aku akan minta dibuatkan kopi. Kalau kamu mau, sekalian." Sonia menatap Clara yang sudah duduk di mejanya. "Tidak perlu." "Oke. Pesananmu akan segera datang." Clara tertawa karena hal itu. Dan memang, tak lama setelah Sonia pergi, ada seorang OB yang memberi kopi kepada Clara. "Silakan." "Terima kasih." Clara memandangi kopi itu dan mencium aromanya yang cukup harum. Sebenarnya, ia tidak bisa minum kopi, karena itu biasanya membuat pencernaan Clara terganggu. Mungkin, hari itu pengecualian. Clara merasa sesekali, ia harus jadi manusia yang melanggar aturan. Gadis itu melanggar aturan yang ia buat untuk dirinya sendiri. Clara menikmati kopinya, sambil menulis beberapa artikel, serta menulis laporan yang diminta oleh atasannya. Semua yang ia kerjakan, sesuai dengan perintah yang selalu tertulis di slide awal ketika ia membuka laptop yang juga merupakan milik kantor. *** Jam makan siang hampir tiba, ketika seseorang mengetuk pintu. Itu adalah Tora. "Halo," ucapnya pelan. Clara melirik. "Masuklah. Sudah sembuh?" Gadis itu tersenyum. Terpaksa. Karena berhadapan dengan Tora lagi, dalam keadaan suasana hatinya yang tak menentu, itu merupakan hal yang amat tak diinginkan oleh Clara. "Aku, sudah agak baik." "Bagus. Ini jam kerja, kan?" "Eh iya. Tapi aku sudah selesai mengerjakan tugasku. Entah mungkin karena aku terlalu bersemangat, atau apa. Aku tidak tahu. Tapi aku menyelesaikan pekerjaan harianku dengan cepat hari ini. Bahkan, jam makan siang belum tiba. Sebentar lagi, ya." Clara mengangguk. "Bagus. Tapi aku belum selesai. Bahkan setengahnya pun, belum." "Oke. Aku hanya ingin tahu kabarmu." "Seperti yang kamu lihat, ini." Setelah mengatakan itu, Clara berusaha fokus kepada berkas-berkas di depannya dan layar laptop yang sudah berisi beberapa artikel. "Tidak baik." Clara berhenti fokus. "Tora, dengar ...." "Tidak, Clif. Kamu yang harusnya dengar." Saat mengatakan itu, mata Tora menatap tajam, tepat ke arah mata Clara. Gadis itu pun tak melanjutkan ucapannya. "Berhenti dekat dengan San." Clara langsung tertawa. Lucu, lucu sekali, pikirnya. Bagaimana mungkin seorang Tora dapat mengatakan kalimat seperti itu? Siapa ia? "Aku serius, Clif. Aku tidak sedang membuat sebuah lelucon atau apa pun. Aku tidak sedang berniat untuk membuatmu tertawa. Sungguh." "Ya, aku tahu. Tapi, itu cukup menghibur. Sudah? Itu saja?" Tora tersenyum. "Dengarkan sekali saja. Aku tahu, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan seseorang yang dekat atau seseorang yang kamu kenal lama. Tapi, aku tahu siapa San sebenarnya." Clara menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar. "Memangnya siapa dia sebenarnya? Katakan? Apa dia punya kekuatan super, Tora? Kenapa kamu memintaku jangan dekat-dekat dengannya? Dengan kamu mengatakan itu, aku malah jadi curiga. Siapa sebenarnya dirimu?" Tora diam. Ia tak menjawab, atau lebih tepatnya, tak bisa menjawab. "Ayo makan siang," katanya. Seolah percakapan sebelumnya tak pernah ada. "Aku tidak akan makan siang. Kalau pun makan siang, aku akan makan dengan orang lain." "Kenapa?" "Karena kamu bersikap seperti ini. Jujur, kupikir tadinya kita bisa berteman. Jujur, di awal pertemuan kita, aku pikir kita adalah dua orang yang satu frekuensi." Tora hendak beranjak pergi. Ketika ia sampai di pintu, ia berhenti. "Maaf," katanya. "Tidak perlu. Aku yang minta maaf. Mungkin, aku yang bodoh. Aku tidak bisa membaca orang. Aku tidak bisa membacamu dengan benar." "Benar. Kamu benar, Clif. Kamu tidak bisa membaca orang dengan benar. Kamu tidak bisa menilai mereka dengan baik. Dan itu, tidak hanya berlalu kepadaku. Mungkin, untuk San juga. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya." Clara bungkam. Ia membenci kalimat dari Tora. Karena kalimat itulah, Clara sudah memutuskan akan terus berusaha mengurangi interaksi dengan laki-laki itu. Mungkin, untuk selamanya. "Hai," sapa Sonia. "Eh, halo." "Aku melihat Tora keluar dari ruanganmu. Kamu baik-baik saja, kan? Dia tidak berbuat yang aneh-aneh?" Clara menggeleng. "Tidak. Dia tidak berbuat yang aneh-aneh. Tapi dia mengatakan yang aneh-aneh." "Haha. Sudah, lupakan. Orang seperti dirinya tidak penting untuk ditanggapi. Ayo, makan siang!" "Oke!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN