Clara teduduk. Ia memandang dinding kamarnya yang putih polos. Berusaha menjernihkan pikiran dengan melakukan hal itu.
Dulu, ia selalu berpikir, ketika para public figure dihujat, kenapa mereka tidak abaikan saja? Kenapa beberapa public figure harus merasa terhina dan sakit hati? Tinggal abaikan saja, beres. Ya, itu yang Clara pikirkan. Namun, setelah hinaan dan cacian itu terjadi kepada dirinya, ia berpikir lain.
Ternyata, begini rasanya. Ternyata, memang tidak semudah dan sebiasa yang ia bayangkan.
Sakit. Kenapa harus dirinya? Dan kenapa begitu tiba-tiba? Apakah memang benar apa yang netizen katakan? Bahwa ia tidak cocok dengan San? Bahwa memang ia hanya sekadar menumpang demi popularitas semata?
Ia jadi mempertanyakan dirinya sendiri.
Kemarin-kemarin, setiap berpikir tentang San, ia baik-baik saja. Malahan, memikirkan laki-laki itu, selalu membuat Clara seperti terbang ke angkasa. Membuat gadis itu semangat dalam menjalani hari-hari. Dibuai oleh kata-kata romantis, dibuai oleh perhatian dan perlakuan San yang lembut terhadap dirinya. Namun, sekarang jadi berubah. Ia jadi sedikit muak. San, San, San. Tidak bisa pikirannya hanya fokus kepada indahnya cinta San. Seharusnya ia menyadari itu dari awal. Cinta memang bukan hanya tentang yang indah-indahnya saja.
Sedetik kemudian, Clara memikirkan Sonia. Semua perkataannya yang menarik, cukup membuat Clara berpikir lain terhadap situasi yang sedang ia jalani.
Bodoh atau apa?
Apakah ia bodoh? Apakah ia terlalu polos? Seperti kata Sonia, mungkin seharusnya, dirinya tidak bersikap polos. Namun, Clara bingung. Memangnya, ia harus bersikap bagaimana?
Apakah ia harus belajar jadi seperti Sonia? Terlihat cuek dan bodo amat dengan sekitar. Percaya diri sekali dengan apa yang dimilikinya. Bahkan tentang menulis hanya karena uang, Sonia begitu bangga karenanya.
Lalu, Tora. Meskipun ia aneh, tidak sopan, tapi melihat bagaiman ruangan laki-laki itu penuh dengan ornamen dan hiasan, itu menunjukkan kalau mungkin, Tora enjoy dengan kehidupan yang dimilikinya. Apakah, ia juga harus belajar jadi seperti Tora? Apakah ia harus menghias ruangan kantornya, atau bahkan kamarnya, agar tidak terlalu polos? Ia harus berubah? Jadi seperti apa? Untuk layak bagi semua orang.
Apakah dengan begitu, ia akan merasa lebih baik?
Clara diam, berpikir. Pikirannya ke mana-mana. Melayang-layang, berpindah dari satu pandangan ke pandangan yang lain. Tak bisa dikendalikan. Bahkan sebenarnya, ia sengaja seperti itu. Dinding putih polos kamarnya, di dalam penglihatannya, tak lagi kosong. Dinding itu jadi dipenuhi oleh berbagai macam prasangka, berbagai macam pemikiran yang negatif.
Gelap.
Clara merebahkan diri, kemudian meringkuk. Ia menatap ponselnya yang sengaja dimatikan. Layarnya gelap, hitam. Tidak menampilkan apa-apa.
Beberapa komentar jahat netizen kembali menari-nari di dalam pikirannya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghilangkan semua itu. Clara diam-diam, menangis. Mencoba menahan tangisnya, tapi tak bisa. Ia terisak. Tangisnya dalam dan penuh rasa sakit.
Ia benci dengan keadaan. Ia ingin lari darinya.
Setelah cukup lama dalam tangisan, Clara pun tertidur.
***
Pukul dua dini hari, gadis itu terbangun dengan mata yang bengkak. Cemberut, ia menatap dirinya di depan cermin. Menyebalkan, pikirnya. Betapa berantakan wajahnya. Clara bertanya-tanya. Baru saja beberapa waktu yang lalu, ia merasa bahagia karena cintanya kepada San bersambut begitu mulusnya, kenapa sudah berubah saja? Jadi muram hidupnya.
Gadis itu masih menatap dirinya di depan cermin. Namun, tak lama, ia merasa lapar. Ya, Clara ingat, sejak pulang dari kantor kemarin, ia tak makan apa pun.
Gadis itu dengan malas menuju ke dapur dan merebus mie instan. Sambil merebus, ia menimbang-nimbang. Apakah ia akan memasukkan bumbu cabainya atau tidak.
Clara lebih memilih untuk tidak makan mie yang pedas. Ia sadar diri, kalau ia tidak pandai dalam memakan makanan yang pedas.
Menghirup aroma kuah mie instan rasa ayam bawang, Clara merasa lebih baik. Setelah beberapa suapan, ia malah semakin merasa lebih baik lagi. Ah, mungkin karena lapar, perasaan buruknya yang kemarin itu makin menjadi tadi.
Setelah menghabiskan mie-nya, Clara tak langsung pergi tidur lagi. Bahkan, ia merasa tak ada lagi kantuk yang tersisa.
Gadis itu malah duduk di depan mejanya dan mulai menulis sebuah cerita. Ah, setiap kesedihan memang berharga. Setiap kesedihan yang tercipta di dalam kehidupan manusia, memang sebenarnya begitu sangat bernilai. Bagi siapa yang benar-benar memahaminya. Dan beruntung sekali, mereka yang dapat mengambil hikmah dari setiap kesedihan yang datang.
Sama halnya dengan Clara. Ketika kesedihan datang, dan ia mulai bisa mengendalikannya dengan tenang, gadis itu akan mulai menulis. Ia akan menulis cerita, atau artikel, puisi, apa saja, yang isinya terkait dengan apa yang sedang ia alami.
Kesedihan yang menghasilkan. Clara menyebutnya kesedihan yang elegan. Ia bisa mengatasinya. Ya, Clara terus meyakinkan dirinya, sambil terus menulis, bahwa ia pasti bisa melewatinya dengan baik.
Mereka, yang menghinanya, hanya tidak tahu apa-apa. Mereka tidak kenal Clara dengan dekat. Sehingga mereka jadi sok tahu. Ya, itu.
Clara terus menulis, beberapa jam lamanya, sampai tak terasa, hari sudah pagi. Ia tidak tidur lagi. Meskipun begitu, Clara merasa lega. Ia sudah melewati satu malam yang buruk dengan baik.
Clara berniat membersihkan diri sebelum berangkat ke kantor, kemudian ia menyadari kalau ponselnya belum diaktifkan lagi sejak semalam.
Gadis itu menarik napas panjang, bersiap untuk berbagai macam notifikasi. Pasti ia akan mendapat serbuan.
Dan benar saja, ketika Clara mengaktifkan ponselnya, ada ratusan notifikasi bernada sama. Komentar-komentar buruk di postingan-postingan IG-nya bermunculan lagi. Banyak. Banyak sekali.
Namun, notifikasi yang ia dapatkan, tak hanya itu saja.
Ada banyak pesan dari WAG BBA, ada banyak pesan personal dari teman-temannya dan bahkan dari kontak-kontak asing yang tak terlalu dekat dengannya.
Ada juga dua puluh lebih panggilan tak terjawab dari San. Dan tak lama, selang beberapa detik, ada panggilan masuk darinya.
Clara menatap pemberitahuan dari panggilan San untuk beberapa saat. Ia hanya memandanginya, sambil berpikir apakah kiranya ia harus mengangkat telepon San atau tidak.
Panggilan berakhir. Tapi kemudian, panggilan dari San datang lagi.
"Halo," Clara akhirnya menjawab. Meskipun sebenarnya, ia sedang sangat malas berbicara dengan San.
"Akhirnya, diangkat juga. Aku meneleponmu dua puluh kali lebih."
Tanpa diberitahu pun, Clara tahu hal itu.
"Aku tahu." Dingin, Clara menjawab.
"Kamu baik-baik saja? Jangan lewatkan sarapan."
Clara merasa pertanyaan San itu lucu.
"San, kamu ini sedang membuat lelucon atau apa? Kamu tanya, aku baik-baik saja? Pikir saja sendiri, apa aku memang baik-baik saja? Setelah apa yang terjadi?"
Clara tadinya sudah mulai merasa tenang, tapi entah kenapa, bicara dengan San, malah membuatnya jadi kesal lagi.
Clara sadar, sebenarnya. San tidak salah apa-apa. Tapi, tetap saja, gadis itu kesal terhadapnya.
"Oke. Aku minta maaf."
"Tidak perlu. Jangan dulu menelepon. Aku tutup, ya. Maaf, aku sedang tidak ingin bicara denganmu."
Clara menutup telepon dari San. Sungguh, ia sedang sangat malas mendengar suara San, atau bahkan membaca pesannya, atau juga melihat nama di kontak ponselnya. Ia tak mau.
Ia pun beralih ke BBA Grup. Semuanya menanyakan dirinya. Gadis itu pun mengirim pesan di sana, mengatakan kalau ia baik-baik saja, kalau teman-temannya tak perlu mengkhawatirkannya dengan berlebihan. Clara tahu, mereka pasti punya kesibukan masing-masing dan ia tidak ingin membebani mereka.
Untuk beberapa personal chat, Clara mengabaikannya. Setelahnya, ia pun bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Gadis itu memaksakan diri, meskipun ia sedang sangat tak ingin melakukan kegiatan apa-apa.
Ia sudah mengambil tanggung jawab. Maka, sudah seharusnya ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Clara berteriak, "I can do it!"
Gadis itu pun bergegas, mengambil seiris roti dan memakannya dengan cepat. Sadar, kalau sudah beberapa menit terlewat dengan percuma.
Clara menunggu bus sambil mendengarkan lagu. Ia tak peduli dengan notifikasi yang terus saja berdatangan. Lebih tepatnya, mungkin ia berusaha untuk tidak peduli.
Clara hanya berharap, ia bisa menyelesaikan harinya dengan baik. Meskipun dalam keadaan tidak baik.