Awal

1234 Kata
Di kantor, Clara tak menemukan Tora. Ia enggan bertanya banyak soal ketidakhadiran laki-laki itu kepada rekan lain. Itu jadi agak lucu. Bukannya gadis itu tak suka jika Tora dekat-dekat? Namun, ketika laki-laki itu tidak ada, makan siang Clara jadi agak aneh. "Hai, Clif." Seorang perempuan bernama Sonia, menyapa. Clara tersenyum. Gadis itu mendekat ketika mengetahui Clara makan siang sendirian. "Tora sedang sakit," ucapnya sambil duduk di dekat Clara. "Ah, sakit apa?" tanya Clara, penasaran. Padahal, kemarin Tora baik-baik saja. "Sakit cinta, mungkin." Sonia malah memberikan jawaban candaan. Padahal, Clara benar-benar penasaran. "Semoga lekas sembuh, ya." "Ya." Clara merasa canggung. Sebab Sonia hanya memesan makanan dan ya, sibuk dengan ponsel miliknya. Tak ada lagi obrolan yang berarti. Clara berusaha mencari topik. Ia juga ingin memiliki teman dekat perempuan. Seperti apa yang ditanyakan sebelumnya soal teman dekat. Memiliki teman dekat yang sekantor, pasti menyenangkan. Akan lebih mudah bagi seorang Clara kalau sedang mengalami kesulitan dan ia punya teman untuk dimintai tolong. Lagi, ia pun tak akan keberatan kalau ada yang meminta pertolongannya. "Sonia," panggil Clara ragu-ragu. "Ya?" "Aku ingin bertanya." "Ya, silakan. Aku juga ingin bertanya." Sonia tersenyum ramah. Clara jadi lebih nyaman. "Siapa penulis idolamu?" Pertanyaan yang cukup random, tapi Clara berharap dapat membuat suasana jadi asyik dan mencair. "Aku, haha. Ya ampun, Clif. Itu pertanyaan yang sangat sulit." "Sulit?" Sonia mengangguk. Jari-jarinya yang lentik dengan kuku yang dipenuhi kutek, tetap lincah bermain di atas layar ponselnya. Seperti acuh tak acuh. Karena tak dijawab lagi, Clara jadi penasaran. Agak kesal, tapi ia masih menginginkan jawaban Sonia. "Kenapa itu jadi pertanyaan yang sulit? Bukannya setiap penulis pasti punya penulis idola?" Sonia hanya tersenyum kecut. "Tidak semua penulis, Clif. Oke. ini pertanyaanku. Kamu ini memang polos atau bodoh?" Sonia mengatakan kata-kata itu dengan entengnya. Clara tertawa. Ia merasa bisa jadi cukup dekat dengan Sonia. Ya, Clara selalu merasa lebih baik jika ia berteman dengan seseorang yang blak-blakan, tidak jaga image, dan jujur, sejujur-jujurnya. "Aku, aku tidak bodoh. Aku hanya penasaran." "Maaf, ya. Tapi, mungkin jawabanku ini tak sesuai dengan apa yang kamu pikirkan. Tidak bisa memenuhi ekspektasimu." Clara jadi heran. Kenapa bisa, pertanyaannya berujung pada ekspektasi, dan lain-lain. "Tunggu. Sonia, kamu terlalu serius." "Memangnya, aku bercanda? Begini, Clif. Biar aku bilang. Kamu tidak boleh terlalu polos. Bahkan, menjadi penulis juga, kamu harus cerdas. Jangan, jangan jadi terlalu baik. Ya, maaf-maaf. Tapi aku tidak sepertimu. Aku bukan penulis sepertimu. Dari awal, aku selalu menulis karena uang. Dan sekali lagi, aku tidak peduli aku dikenal atau tidak oleh orang lain. Aku selalu menulis didasari karena sesuatu yang realistis." Clara mencoba mencerna jawaban panjang dari Sonia. Oh, itu jadi benar-benar serius. "Baik. Aku akan mencoba memahamimu. Padahal, kan aku hanya bertanya soal siapa penulis yang kamu sukai. Bukan yang lain." "Haha. Lucu. Lucu sekali kamu ini, Clif. Ya, itulah jawabanku. Apa aku menyebutkan soal siapa penulis idolaku? Tentu tidak, bukan? Karena apa? Karena tidak ada. Aku tidak pernah mengidolakan siapa-siapa." Clara tak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya, bingung mau menanggapi apa. Bagaimana mungkin, ada seorang penulis yang tidak memiliki panutan? Apa Sonia bahkan tidak pernah membaca atau tahu karya orang lain? "Aku, aku melakukan apa pun karena uang, Clif. Seseorang akan bisa melakukan apa pun yang pada awalnya tak bisa dilakukan, karena uang. Karena kebutuhan. Aku butuh uang, selalu. Maka dari itu, aku berusaha mendapatkan pekerjaan ini." "Lalu, dari mana kamu belajar menulis?" "Dari mana saja. Meskipun aku tidak punya idola dalam hal kepenulisan, bukan berarti aku tidak belajar dan tidak membaca." "Ah, begitu." "Ya, begitulah. Aku mempelajari banyak hal, banyak tulisan, dari manapun, dengan berbekal satu niat. Uang. Karena itulah aku bisa di sini. Di kantor Kristo Wijaya yang terkenal. Tidak peduli apa pun yang aku kerjakan, aku hanya harus mengerjakannya dan menghasilkan uang. Itu." Menarik. Sonia memiliki kepribadian yang menarik. Setiap kata-katanya tegas, lugas, dan jujur. Mungkin, orang yang belum pernah bicara dengannya, akan memandang Sonia adalah perempuan yang judes dan galak. Padahal, tidak begitu. Clara seperti menemukan teman baru yang sangat berbeda darinya. Dan ia, sangat ingin mengenal lebih jauh sosok Sonia. "Oh iya, Clif. Ingat satu hal paling penting. Jangan terlalu polos dan hati-hati. Dengan Tora juga. Hati-hati, ya." Clara mengangguk. Sudah dua orang yang menyuruhnya berhati-hati dengan Tora. San, dan Sonia. *** "Sudah makan siang?" San menelepon. Suaranya terdengar serak. "Sudah. Ada apa dengan suaramu? Apa terkena flu?" "Ya. Mungkin, karena tadi aku berangkat pagi-pagi sekali." "Payah." Mendengar kata payah yang diucapkan Clara, San tertawa. "Kenapa kamu malah mengatakan itu? Seharusnya kamu memberiku kalimat-kalimat perhatian." "Ah, begitu, ya. Hehe. Aku hanya bercanda." "Tak apa. Aku paham. Kamu makan siang dengan Si Tora lagi?" "Tidak. Aku makan dengan Sonia." "Oh, Sonia, ya. Oke-oke." Giliran Clara yang tertawa. "Heh, memangnya, kamu tahu Sonia? Aku rasa, aku tidak pernah cerita soal dia ke kamu. Jangan sok tahu, ya." "Aku hanya asal bicara tadi, haha. Oke. Bagus. Kamu jangan terlalu dekat dengan Si Tora. Ingat, ya." "Iyaaa. Aku akan ingat. Akan sangat kuingat. Sudah minum obat?" "Sudah. Sudah, jangan cemaskan aku. Aku akan baik-baik saja. Kamu jangan lupa istirahat dan hati-hati pulangnya. Ingat, ya. Hati-hati." "Iyaaa." Clara tersenyum ketika percakapan mereka berakhir. Ia senang kalau San sudah mengatakan kalimat demi kalimat perhatian. Hanya selang beberapa detik, ada telepon masuk lagi. Bersamaan dengan itu, ada beberapa kali notifikasi dari IG yang cukup banyak. "Halo, ada apa?" "Aku melewatkan sesuatu." "Apa?" "Copot akun IG-mu. Atau, jangan dulu bermain media sosial." "Ada apa? Kenapa?" Clara malah semakin penasaran. "Jangan. Aku meminta dengan sangat." "Ya, tapi kenapa?" "Clif. Dengarkan aku. Jangan buka media sosial untuk sementara waktu." "Iyaa. Tapi kenapa? Mendengar perintah yang berulang-ulang itu, Clara jadi agak kesal. Sambil masih menelepon, gadis itu membuka akun IG-nya. Dan banyak sekali notifikasi yang masuk, lebih tepatnya, ada banyak yang berkomentar di postingannya. Baik itu di postingannya yang baru atau yang lama. Ia diserbu oleh banyak netizen. Hampir semua komentar yang masuk berisi ujaran kebencian. "Clif, jangan bilang kamu sedang membuka akun IG-mu sekarang." Gadis itu diam sebentar sebelum menjawab. "Aku sedang membuka akun IG-ku. Dan ya, aku sudah melihatnya." Clara memang sedikit terkejut. Banyak komentar pedas yang berisi tentang ketidaksukaan soal hubungannya dengan San. Mungkin, pada awalnya, mereka biasa saja, karena mereka hanya tahu kalau San dan dirinya hanyalah sebatas berkolaborasi puisi. Entah siapa yang mulai tahu soal hubungannya dengan San. Sepertinya, banyak yang tidak setuju. Bahkan karena komentar-komentar itu juga, Clara jadi tahu siapa saja mantan kekasih San. Sebelumnya, meskipun ia cukup mengagumi San, ia tak pernah benar-benar mencari tahu soal itu. "Clif, berhenti. Berhenti membaca semua komentar di sana." Clara hampir lupa kalau teleponnya dengan San masih tersambung. "Ini terlalu mendadak, San. Siapa yang menggerakkan mereka? Apa mereka benar-benar tidak suka kalau kita berpacaran? Apa benar begitu?" "Clif, aku akan pulang malam ini juga. Sungguh. Berhenti mempertanyakan hal yang tidak-tidak. Tidak peduli apa pun yang orang katakan, aku mencintaimu. Mereka tidak penting. Kita yang penting." Clara menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mencoba tenang. Lalu, ia log-in dari akun IG-nya itu. "Setelah ini, setelah pekerjaanmu selesai, pulang dan beristirahatlah. Aku akan pulang malam ini dan menemuimu besok." "Tidak. Jangan konyol. Pekerjaanmu, kamu bilang memakan waktu dua minggu. Sungguh, aku bisa mengatasi ini." Ada jeda panjang sebelum San benar-benar menjawab. "Maaf dan terima kasih untuk pengertiannya. Aku akan cepat-cepat selesaikan pekerjaanku." "Baik." Clara diam. Ada perasaan kosong yang tiba-tiba hadir. Ia menundukkan kepalanya, sampai menyentuh meja. Diam-diam, menangis. Ia ingat seseorang. Entah kenapa, itu bukan San. Bukan orang yang menelepon tadi. Itu adalah Naren.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN