"Aku seperti pernah melihat penggemarmu itu, Clif."
Dalam perjalanan pulang, San membicarakan Arga.
"Ya, mungkin saja. Mungkin kamu memang pernah bertemu dengan Arga di suatu tempat atau entah, aku tidak tahu. Ah, dia juga sering berkomentar di postinganku. Mungkin kamu melihatnya di sana."
Clara mengatakan itu sambil meraih snack yang ditaruh San di dashboard mobilnya.
"Apa ini?" tanya Clara, penasaran.
"Kalau mau, makan saja. Itu enak. Rasa jagung."
Clara membuka snack berisi keripik itu dan mulai menikmatinya.
"Jangan terlalu dekat, ya," ucap San lagi. Kata-kata yang hampir sama seperti ketika Clara bicara soal Tora.
"Tidak. Kan aku sudah bilang, San. Aku dan Arga adalah idola dan penggemar. Ya, hanya itu. Tidak lebih."
"Tapi, kelihatannya kalian sudah sangat dekat."
"Tidak sedekat aku dan kamu. Sudah, ya. Berhenti cemburu."
San tersenyum. "Bagus kalau begitu. Aku penasaran dengan apa saja yang kalian bicarakan di kafe tadi. Apa kalian membicarakan hal-hal penting?"
"Bisa dibilang, penting, tapi bukan sesuatu yang berat. Aku dan Arga tidak membicarakan hal-hal yang berat. Kami hanya membicarakan hal-hal remeh, receh, dan kecil, tapi menurutku, cukup menyenangkan."
Mendengar kata menyenangkan yang keluar dari mulut Clara, dan melihat bagaimana ekspresi gadis itu dalam bercerita soal Arga, membuat San jadi semakin penasaran saja.
"Memangnya, apa yang kalian bicarakan?"
"Kenapa kamu penasaran? Bagaimana kalau aku tidak mau cerita?" tanya Clara, sedikit menggoda San.
"Aku sedang menyetir, Clif. Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu bersikap seperti itu."
San mengucapkannya dengan nada tegas.
"Ya ampuun. So dark. Jangan berkata begitu."
San tertawa. "Aku bercanda."
"Tetap saja, jangan bercanda begitu."
"Iya-iya. Sudah. Maafkan aku. Oke, kalau begitu, jawab saja. Kalian bicarakan soal apa? Aku penasaran."
"Emh, aku dan Arga, kami saling berbicara soal kebiasaan masing-masing. Tentang aku yang tidak bisa makan tanpa air putih, tentang dia, Arga, yang ingin keliling dunia, dan ya, banyak hal lainnya. Itu yang kami bicarakan."
"Pembicaraan yang cukup normal."
Clara menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya, pembicaraan kami itu memang normal dan akan selalu normal. Aneh kamu ini, San."
Begitulah. Keduanya saling bercanda tawa, saling bicara satu sama lain tentang apa yang sudah dilewati sepanjang hari. San juga bercerita tentang betapa beberapa hari terakhir dan hari-hari ke depannya, ia akan sangat sibuk.
Setelah sampai di depan rumah Clara, San seperti enggan beranjak pergi.
"Kenapa?" tanya Clara, melihat wajah San yang agak murung.
"Aku tidak ingin hari ini berakhir. Tidak ingin percakapan dan kebersamaan kita berakhir. Rasanya, setiap bersamamu, waktu tak pernah cukup."
Clara tersenyum. "Masih ada hari esok. Besok, kita bisa bertemu lagi, bukan?"
San menggeleng. "Maaf kalau aku beritahu hal yang agak mendadak. Tapi besok, pagi-pagi sekali, aku harus ke luar kota. Ada yang harus diurus."
Clara jadi sedih. "Mendadak, ya?"
San mengangguk. Ia tak kalah sedih.
"Maaf. Apa sebaiknya aku batalkan saja perjalanan ke sana?"
"Heh, jangan begitu. Tidak. Aku hanya sedih, tapi itu tidak lama. Kamu pasti tidak akan lama, kan?"
"Hanya dua Minggu atau sampai satu bulan, mungkin."
Dua minggu sampai satu bulan. Oh, sungguh. Itu lama sekali. Clara pikir, itu hanya akan berlangsung beberapa hari.
Cukup lama, baik Clara dan San hanya diam, tanpa suara.
"Sudah, ini dingin. Masuk, ya."
Akhirnya San bicara. Ia tak tega jika harus berlama-lama membuat Clara di luar. Lagi, hari sudah mulai malam.
"Oke. Sampai jumpa lagi, ya."
San mengangguk. "Sudah, sana masuk. Nanti kutelepon sebelum tidur, ya."
Clara mengangguk pelan. Ia pun melemparkan senyum kepada San, berniat meyakinkan laki-laki itu, kalau dirinya baik-baik saja dengan rencana kepergian San ke luar kota.
Gadis itu kembali ke rumahnya yang sepi. Segera, demi mengusir kesepian itu, ia menyalakan musik. Ia memilih lagu-lagu yang agak mellow untuk menemaninya menuju alam mimpi.
Sebelum itu, ia akan menunggu telepon dari San lebih dulu.
Sebenarnya, seharusnya, gadis itu membersihkan dirinya sebelum merebahkan diri di atas kasur empuknya. Namun, Clara sudah kadung malas dan kelelahan. Apalagi ditambah dengan rencana kepergian San. Suasana hatinya tak begitu bagus.
Kembali mengecek ponsel, ia mendapati beberapa pesan dari Lora.
[Clif, terima kasih, ya. Kamu sudah meminta San untuk mempromosikan novelku. Aku sangat senang.]
Clara pun membalas.
[Sama-sama.]
[Clif, apa hubunganmu dengan San semakin dekat?]
Untuk pertanyaan itu, entah kenapa Lora enggan menanggapi. Ia tak mempedulikan pesan dari Lora, karena ia sedang tidak ingin bercerita panjang lebar tentang apa pun. Ia lelah dan perlahan, matanya terutup. Tidur.
***
"Aku meneleponmu semalam," ucap San.
"Hmm? Maaf, aku ketiduran," balas Clara. Gadis itu menantap jam digital di ponselnya. Masih sangat pagi. Ya ampun. San menelepon pagi-pagi sekali.
"Kamu sudah bangun?" tanyanya.
Clara yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya merasa pertanyaan San begitu lucu. "Memangnya, yang sedang mengobrol dengan kamu itu siapa? Hantu?"
"Hehe. Maksudku, kamu sudah benar-benar bangun? Aku sedang dalam perjalanan ke luar kota."
Clara menguap lebar-lebar sebelum membalas perkataan San. "Iya. Hati-hati."
"Oke. Kamu akan berangkat ke kantor, nanti naik apa? Apa ada teman sekantor yang bisa menjemputmu ke rumah? Teman perempuan tapi."
Pertanyaan San membuat Clara berpikir agak lama. Teman perempuan? Ia tak punya teman perempuan yang benar-benar dekat untuk dimintai tolong menjemput.
"Ada Tora," canda Clara.
"Heh, dia perempuan? Bukan, kan?"
Clara tertawa. "Ya, memang bukan. Tapi aku tidak punya teman perempuan sedekat itu. Tenang, San. Aku kan sudah besar. Aku bisa pergi berangkat sendiri. Lagipula, aku bisa memesan kendaraan online atau naik bus."
"Oke. Kabari aku, ya. Kalau mau tidur lagi, boleh. Kalau kamu mau langsung bangun, boleh."
"Hmmm. Iya. Terima kasih, ya. Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan, istirahat."
"Ingatkan aku ketika waktunya makan atau waktunya tidur. Jangan sekarang."
"Iyaaa."
***
Clara berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Meskipun tanpa jemputan dari San, tapi gadis itu cukup menikmati pagi harinya. Ia menyukai berjalan-jalan ke tempat menunggu bus. Ia memiliki banyak waktu untuk merefleksikan dirinya dengan keadaan sekitar. Sebelum bertemu dengan San, Clara memang sering begitu.
Ada lebih banyak waktu untuk menikmati keadaan dan memikirkan dirinya sendiri beberapa waktu terakhir.
Ada satu nama yang kemudian terbersit. Naren. Satu nama yang bahkan tak pernah ia sebut di depan San. Ya, ia masih belum berani. Mengingat San agak cemburuan, Clara merasa jika ia bercerita soal Naren, itu bukan hal tang bagus.
Mungkin, suatu hari ia akan menceritakan Naren kepada San. Ya, ia harus. Karena Naren adalah salah satu bagian, salah satu tokoh, salah satu orang, yang membangun dirinya sendiri menjadi lebih baik. Bahkan setelah hubungan mereka renggang, tapi kenangan dan setiap kata-kata dari Naren selalu saja tak pernah absen menjadi bagian penting dalam setiap momen Clara.
Kata-kata Naren selalu jadi penyemangat. Betapa berharganya, betapa hebatnya deretan kata, atau susunan kalimat yang berisi kebaikan yang ditujukan untuk seseorang atau untuk orang banyak. Mungkin Naren tidak tahu dan tidak akan pernah tahu, betapa berartinya apa yang pernah ia sampaikan kepada Clara. Semuanya.
Gadis itu tersenyum ketika bus datang. Ia naik perlahan dan mengambil tempat di dekat jendela. Sesaat kemudian, bus melaju. Gadis itu menikmati pemandangan yang disuguhkan di luar. Laju bus yang tak terlalu cepat, membuatnya semakin suka dengan pagi itu.
Clara mengingat kembali beberapa kalimat-kalimat dari Naren. Ia seperti mengenang sesuatu yang begitu menyenangkan.
Naren pernah berkata, kalau mereka bertemu, ia akan mengatakan beberapa hal. Salah satunya adalah:
"Terima kasih karena kamu sudah tumbuh dengan baik."
Clara tersenyum mengingat kata-kata itu. Gadis itu berharap, meskipun bukan sebagai pasangan kekasih, ia ingin bertemu sekali saja dengan Naren. Untuk mendengar Naren mengatakan kalimat itu. Satu kali saja.
Ah, pagi yang penuh haru.