Dan Hujan ....

1037 Kata
Clara melewati hari dengan datar-datar saja. Ia berpapasan dengan Tora di kantor, tapi bahkan tak ada pembicaraan apa-apa di antara mereka berdua. Clara merasa ia tak perlu berbasa-basi tentang apa pun lagi. Seperti sudah ada tembok besar di antara mereka. Sepertinya, memang yang sejak awal asing, akan kembali jadi asing kalau sudah waktunya. Hukum alam, mungkin. Sonia juga bahkan terlihat sibuk. Hanya ada satu dua percakapan yang tidak terlalu penting di antara mereka. Clara paham, tak selalu, orang yang tahu permasalahannya, dapat memberikan respect seperti yang ia harapkan. Ia harus menurunkan standar ekspektasi dari orang lain. Sepulang dari kantor, gadis itu sebenarnya tak ingin langsung pulang. Namun, jujur saja, ia tak memiliki rencana apa-apa. Bahkan mungkin untuk sekadar pergi ke kafe, menikmati minuman, itu baginya jadi agak membosankan. Entah kenapa. Clara terduduk di tempat menunggu bus. Ia menatap sekeliling, mengela napas panjang yang cukup berat, dan sejurus kemudian melamun. Tapi, itu tak lama. Lamunannya seketika pecah, ketika ada seseorang yang dengan santainya, mengambil tempat untuk duduk di sampingnya. Clara menatap kaget seseorang itu. Seseorang itu menatapnya balik, sambil tersenyum. "Aku sudah bilang, bukan? Aku akan kembali dalam waktu dekat. Aku sudah kembali." Clara tak menanggapi. Ia diam dan kemudian berdiri, berjalan meninggalkan seseorang itu. Laki-laki itu adalah San. Ia sengaja datang di jam pulang kerja Clara, untuk memberinya kejutan. Sepertinya Clara memang terkejut, tapi tak terlalu tampak bahagia. "Oke, ke mana kita?" tanya San, menyusul langkah Clara. Gadis itu belum juga mau bersuara. Jadilah, San tak mengatakan apa-apa lagi. Ia mengikuti Clara, dan bertekad untuk mengikuti gadis itu ke manapun yang ia inginkan. Clara berjalan terus, tanpa tahu ke mana tempat yang ditujunya. Ia memang sedang ingin berjalan-jalan. Dan karena San datang, maka ia merasa bisa melakukan itu, tanpa takut benar-benar kehilangan arah dan tak bisa pulang. Di tengah perjalanan yang tak tentu itu, San menyenandungkan lagu-lagu yang tak jelas liriknya. Sesekali, San mencuri pandang dan mendapati Clara tesenyum karena senandung anehnya. Mereka berjalan di sore hari yang tak terlalu cerah. Tak ada senja di langit. Tidak romantis-romantis amat suasana sore itu. "Ke mana kita akan berjalan ...." San menyanyikan kalimatnya. Ia jadi menciptakan lagu. Meskipun nadanya tak karuan. "Ke mana kita akan berjalan ...." Awalnya, Clara merasa itu lucu, tapi lama-lama, ia jadi kesal. "Ke mana kita akan berjalan ...." Clara menghentikan langkah. Gadis itu menatap tajam kepada San. San mengerti. Itu seperti sebuah isyarat harga mati, tak bisa ditawar, yang berarti ia tidak boleh bernyanyi lagi. San diam dan Clara mulai kembali berjalan lagi. Mereka sudah melewati tempat menunggu bus, beberapa restoran yang berderet sepanjang jalan, serta bangunan-bangunan lainnya. San sepertinya mulai mengerti kenapa Clara ingin berjalan-jalan seperti itu. San melihat keadaan sekitar mereka. Melihat berbagai macam orang dengan masing-masing kegiatannya. Ramai. Tapi, di antara mereka, hanya sepi. "Jadi, apakah dengan begini, kamu sudah bisa berpikir lebih baik?" tanya San, yang dibalas anggukan saja oleh Clara. "Oke, mari terus berjalan, meskipun tidak tahu ke mana sebenarnya kita hendak menuju." Clara mengangguk lagi. *** Sampailah mereka ke suatu tempat. Bukan taman kota, tapi ada beberapa bangku yang berderet. Ada beberapa pedagang juga di sana. Kebanyakan yang berada di sana adalah anak muda. San tersenyum. "Mau beli itu?" tanyanya. Clara menggeleng. "Kita seperti anak muda," ucap San kemudian. "Tapi kita memang masih muda," balas Clara. Akhirnya, gadis itu bersuara. "Ya, maksudku, mereka masih sangat muda. Mereka yang masih sekolah, dan selepas pulang belajar, mereka kemari. Melepas penat, bahkan mungkin mencoba menarik lawan jenis." Clara tersenyum, menyaksikan semuanya. "Apa dengan begini, kamu merasa lebih baik?" "Heemh. Aku merasa lebih baik. Dalam tenang, tanpa banyak bicara, aku selalu bisa merasa lebih bijaksana." Kata-kata Clara membuat San kagum. "Aku baru sadar, inilah salah satu alasan kenapa aku mencintaimu." Clara jadi tersipu. "Apa kamu tidak malu? Kita di tempat umum." "Tidak. Untuk apa aku malu? Sekalipun aku berteriak, mengatakan kalimat tadi, aku tidak akan malu." "Oke. Tapi aku yang malu." "Ah, jadi, kamu malu punya pacar sepertiku?" tanya San, dengan menampilkan wajah yang sedih. "Heh, bukan begitu." Setelahnya, mereka kembali tanpa kata. Angin yang berembus pelan, mendung yang kemudian mulai terlihat di langit, tak menjadikan siapa pun yang sedang nongkrong di sana beranjak. "Sebentar lagi, mungkin akan turun hujan," ucap San. Ia memandang ke langit. "Ya, memang kenapa kalau hujan?" "Ya, kita tidak bisa pulang," ucap San. "Tinggal pulang. Kalau kamu mau pulang, ya, pulang saja. Aku akan sendirian di sini." San tersenyum, "Yakin?" Tidak ada tanggapan. Gadis itu tak mau menanggapi. "Baik. Mari kita tetap di sini, sampai waktu yang ditentukan olehmu, aku akan menemani." "Oke." Clara dan San tetap diam. Tak ada lagi pembicaraan untuk beberapa menit setelahnya. Tak lama, mendung semakin menampakkan diri di langit. San sudah tidak nyaman dengan hal itu. "Kamu suka hujan?" tanya Clara tiba-tiba. San menggeleng. "Tidak terlalu." "Kenapa?" "Tidak tahu. Tidak suka saja." "Hmmm. Aku suka." "Kenapa?" "Suara hujan di malam hari atau sore hari, itu akan membuatmu mengantuk dan tidurmu akan lebih nyenyak. Atau ketika kamu sedang belajar, kamu akan lebih fokus dalam mengerjakan apa yang sedang kamu kerjakan." San mengangguk-angguk. "Tapi kita sedang tidak di rumah, kita juga sedang tidak belajar." San protes. "Aku. Aku yang sedang belajar." Clara tak bisa menahan air matanya, ketika ia melihat langit dan mengatakan kalimat itu. "Aku belajar sabar dan menerima semuanya. Selalu." San yang mengetahui Clara sedang menangis, tak lagi berusaha untuk protes. Bahkan jika hujan benar-benar turun, ia tak peduli. Ia akan bersama dengan Clara, apa pun yang terjadi. Beberapa orang mulai beranjak dari tempat itu, karena hari mulai gelap. Hujan tak juga turun, atau mungkin memang tidak akan turun. Tangis Clara sudah reda. San lega, karena tidak banyak orang yang memperhatikan mereka. Sebenarnya, laki-laki itu khawatir kalau-kalau ada yang salah paham. Kalau pasangan kekasih, si perempuannya menangis, pasti yang jadi tersangka adalah si laki-lakinya. Siapa lagi memang. "Kita pulang." Akhirnya .... San segera menelepon Romi untuk menjemput mereka berdua. Di dalam mobil, setelah cukup jauh, hujan pun turun. *** "Clif, tahu kenapa aku suka hujan? Aku suka, karena ketika aku mendengar suara hujan, aku akan mengantuk. Lalu, tidurku akan lelap, dan kalau aku sedang sungguh-sungguh belajar, maka aku akan benar-benar fokus kepada apa yang sedang kukerjakan. Itulah kenapa aku suka suara hujan. Apalagi di sore atau malam hari. Kamu suka juga?" (Naren)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN