Hari-hari berlalu, dan karena San sudah kembali, Clara tak terus-menerus fokus kepada masalah yang terjadi. Ia mengurangi bermain media sosial dan lebih fokus kepada kehidupan nyatanya.
"Pagi!" San tersenyum lebar, ketika Clara membuka pintu. Pagi yang berulang, sama setiap harinya. San datang menjemput dengan roman wajah yang selalu ceria.
"Ini masih pagi sekali," ucap Clara.
"Ya, memang. Aku dengar ada tempat yang bagus. Jadi, mari kunjungi. Untuk sarapan," ucap San bersemangat.
Clara tertawa. San datang pagi-pagi sekali, hanya agar mereka mengunjungi tempat makan yang direkomendasikan oleh San.
Clara permisi, untuk bersiap-siap. San menunggu di dalam mobil, sambil sesekali berkaca. Laki-laki itu, setiap kali bertemu dengan Clara, selalu saja bahagia. Ia selalu dapat mengenyampingkan apa-apa yang membebaninya. Laki-laki itu, meskipun sudah dua bulan mengenal Clara, tapi ia belum sepenuhnya terbuka. Ada banyak hal dan keadaan yang belum ia ceritakan kepada Clara. Namun, San merasa itu tak perlu.
San memang ingin, sesekali tampil sejujur-jujurnya. Hanya saja, ia takut. Ia takut Clara tak akan menerima San seutuhnya. Jika mengetahui kebenaran akan dirinya itu.
Di mata Clara, San masih sosok yang sempurna. Masih yang tak pernah merepotkan, masih yang tak pernah sedih atau marah berlebihan. Bahkan setelah kasus kemarin, Clara sudah sadar, San tidaklah bersalah.
Setelah beberapa saat, Clara pun siap. Ia segera menghampiri San. Langkahnya begitu ringan.
"Hai!"
"Masuk, Sayang!"
Clara terpaku. Tersenyum, geli.
"Kenapa?"
"Tidak. Aku tidak mendengar apa-apa tadi," ucap Clara gugup.
"Oke, Sayang."
"Heh!"
Clara memukul pelan bahu San. Wajahnya benar-benar memerah menahan malu.
Mobil San kemudian melaju pelan. Sengaja, San ingin menghabiskan banyak waktu dengan Clara. Ternyata, memang benar. Setelah diterjang badai permasalahan, ada dua kemungkinan yang terjadi pada sebuah hubungan. Pertama, jadi makin kuat atau kedua, jadi hancur.
"Kamu dapat rekomendasi tempat makan dari mana?" tanya Clara.
"Aku mencarinya di internet."
Clara merasa lucu. "Kamu sengaja mencarinya di internet?"
"Ya, aku ingin mencari yang agak jauh."
"Agak jauh?"
"Heemh. Kita sudah berencana bukan? Akan mengunjungi tempat-tempat menarik, tempat makan yang tidak pernah kita datangi, semuanya."
Clara mengangguk-angguk. Itu memang menyenangkan. Pergi ke tempat-tempat baru, bersama dengan seseorang yang mencintai dan dicintainya. Pengalaman demi pengalaman yang tentunya, tak akan mudah dilupakan.
Clara menatap San yang sedang sibuk menyetir. Ia lihat dalam-dalam laki-laki itu. Apakah, San adalah orang yang akan menemaninya sampai akhir?
Ia tidak tahu. Tak pernah benar-benar yakin untuk pertanyaan yang satu itu.
"Oke, ini dia." Tak terasa, mereka sudah sampai juga di tempat tujuan.
San memarkirkan mobilnya. Dari kaca jendela, Clara dapat melihat satu restoran yang sebenarnya, agak biasa-biasa saja. Layaknya restoran pada umumnya. Apakah ada yang spesial atau tidak, Clara masih belum tahu.
"Ayo, masuk. Mungkin kelihatannya memang biasa-biasa saja, tapi kalau sudah mencoba menunya, katanya enak sekali."
Clara cukup tertarik dengan pernyataan San. Meskipun kata "katanya" yang ada di kalimat San, itu tak menjamin bahwa memang betul menunya enak, tapi Clara cukup penasaran.
Ketika mereka hampir masuk, ada seseorang yang sepertinya, kenal dengan San. Seorang laki-laki yang sudah berumur.
San dan laki-laki itu berbicara sebentar. Clara juga ikut bicara dan berkenalan.
"Saya Clif," ucap Clara pelan.
"Oh, saya Saragih."
"Salam kenal, Pak Saragih."
Laki-laki tua itu mengangguk pelan dan permisi untuk segera pergi. Sepertinya, ia memang sudah selesai sarapan.
"Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Ini tempat makan yang memang bagus," ucap San seraya duduk, saling berhadapan dengan Clara.
"Memangnya, siapa dia?" tanya Clara. Matanya belum berhenti memperhatikan sosok yang disebut Pak Saragih tadi.
"Dia pengacara. Hebat dia. Handal."
"Wah," ucap Clara dengan ekspresi kagum. "Seorang pengacara, kamu kenal dengan seorang pengacara, ya?"
San mengangguk. Seorang pelayan datang dan memotong pembicaraan mereka.
"Silakan," ucap pelayan tersebut. Selanjutnya ia menyodorkan daftar menu. San memesan beberapa menu dan minuman. Clara menurut saja. Ia tak terlalu bisa memilih makanan yang baru.
***
Di kantor, Clara tak menemukan Tora. Ruangan Tora juga tertutup rapat. Gadis itu ingin tahu apa yang sedang terjadi. Apakah Tora sedang cuti atau apa?
"Dia sudah tidak bekerja lagi," ucap Sonia. Membuat Clara sedikit kaget, karena kehadirannya yang tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tidak tahu. Sepertinya, dia melakukan kesalahan, atau entahlah. Satu yang pasti, dia memang sudah tidak layak berada di sini."
"Tidak layak?"
Sonia mengangguk. "Dia terlalu gegabah dan sepertinya, tidak berpikir matang-matang ketika hendak melakukan sesuatu."
Clara mengangguk-angguk saja, karena dibandingkan dirinya, tentu Sonia lebih lama kenal dengan Tora.
"Kesalahan apa yang Tora lakukan? Kenapa ia harus sampai berhenti bekerja?"
Sonia menatap Clara dengan sedikit tajam, lalu berbisik, "Lain kali kita bicarakan. Di sini bukan tempat yang tepat."
Clara langsung ingat tentang CCTV yang dipasang di setiap sudut gedung kantor tersebut.
"Oke. Aku mengerti."
"Bagus. Selamat bekerja ya, Clif. Pekerjaanku menumpuk akhir-akhir ini."
Sonia langsung berjalan, meninggalkan Clara, tanpa menunggu lagi tanggapan dari gadis itu.
Clara menatap sekeliling bagian dalam kantornya. Ia melihat-lihat beberapa orang begitu sibuk. Kemudian, Clara kembali ke ruangannya. Ia menatap langkah kakinya sendiri.
Langkahnya yang terus menuju sebuah ruangan tempat ia banyak menghabiskan waktu.
Gadis itu masuk dan diam tertahan, ketika masih menyadari kalau ruangannya itu sangat datar. Tak ada foto, tak ada hiasan yang setidaknya, mungkin dapat membuatnya bersemangat.
Clara mencari sesuatu di online shop dan mulai mencari beberapa hiasan dinding. Ia juga mencari figura, untuk ditempeli fotonya sendiri. Clara sedikit tertawa ketika mengingat mungkin, seharusnya ia memajang foto San juga di mejanya.
Atau ....
Clara teringat dengan adik dan ibunya. Ia bertanya-tanya, apakah dua orang itu baik-baik saja? Apakah mereka juga merindukan dirinya?
Sebelum Clara mengerjakan pekerjaannya, gadis itu menelepon Karin. Clara sudah siap, jika adiknya itu mengatakan kalimat-kalimat menyakitkan. Ia hanya ingin mendengar suara Karin. Itu saja sudah cukup. Kalau beruntung, ia juga berharap dapat mendengar suara ibunya.
Lama, panggilan telepon dari Clara tak ada jawabannya. Karin tidak mengangkat telepon dari Clara. Hal itu, tentu saja, membuat Clara sedih.
"It's ok, Clif. Semuanya akan membaik," ucap Clara, kepada dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata sebentar, mencoba rileks, sebelum benar-benar mengerjakan tugas-tugas dari kantor. Semuanya, akan membaik, ucap Clara di dalam hati, berkali-kali. Berkali-kali.
***
Gadis itu berjalan menuju mobil San dengan perasaan lega. Sebab notifikasi dari komentar IG-nya sudah tak lagi ramai dengan komentar negatif.
"Terlihat seperti sudah mendapatkan hadiah," ucap San, sambil membukakan pintu mobil.
"Ya. Hadiah. Hadiah besaaar sekali."
"Apa? Aku jadi penasaran."
"Sepertinya, netizen sudah tersadarkan."
"Tersadarkan?" tanya San sambil tersenyum.
"Heemh. Mereka sudah sadar, kalau aku, tidak layak dicaci maki. Cukup sudah dengan semua komentar-komentar buruk."
San mengangguk, tersenyum. "Ya, cukup sudah."
"Ke mana kita?" tanya Clara bersemangat.
"Ke rumah, bukan?"
"Bagaimana kalau ke tempat makan rekomendasi dariku?"
"Haha. Oke, gas!"