Clara terkejut dan bahagia sekali, ketika melihat postingan terbaru San di IG. Laki-laki itu memposting foto mereka berdua yang sedang makan di salah satu restoran. Caption hati berwarna putih turut menghiasi postingan tersebut.
Clara senyum-senyum sendiri di kamarnya. Ia merasa diakui dan dicintai. Beberapa saat kemudian, ia agak takut dengan isi dari komentar-komentar postingan itu. Ia takut akan ada banyak tanggapan negatif kepada San setelah itu. Bayangannya akan kejadian beberapa waktu lalu kembali datang mengganggu.
Namun, setelah Clara melihat berbagai komentar, ia tidak terlalu cemas. Kebanyakan dari penggemar San mendukungnya. Memang ada beberapa yang sinis, tapi tak seburuk sebelumnya. Lalu, Clara baru menyadari satu hal. Di postingan sebelumnya, ternyata San menuliskan sebuah caption berikut:
"Jika kalian mencintaiku dengan tulus, maka apa pun yang aku lakukan, seharusnya kalian juga mendukungnya."
Pantas saja, pikir Clara. Pantas saja banyak penggemarnya yang menahan rem komentar mereka. Sepertinya, San memang memiliki banyak penggemar yang tulus kepadanya. Clara jadi iri dan bangga di waktu yang bersamaan.
***
Ruangan Tora sudah diisi oleh penghuni baru. Namanya Tomi. Dan sepertinya, Tomi adalah orang yang tertutup. Jauh berbeda dengan Tora yang ketika pertama kali bertemu Clara, laki-laki itu sangat terbuka. Meskipun pada akhirnya, sikap Tora jadi sedemikian mengecewakan.
"Kenapa?" tanya Sonia. Clara sedikit terkejut.
"Tidak apa-apa."
"Mau makan siang? Dan bicarakan sesuatu?" tanya Sonia lagi.
"Ya, mau."
"Tapi jangan di restoran dekat kantor ini. Kita pergi makan ke tempat yang agak jauh." Clara mengatakannya sambil bersikap waspada. Membuat Clara penasaran saja.
"Oke. Aku mau."
Sonia lalu mengajaknya makan di sebuah restoran yang cukup mewah.
"Tenang, aku yang bayar."
Clara tersenyum, padahal ia tidak sedang berpikir ke arah sana.
Setelah keduanya memesan, Sonia mulai berbicara.
"Mungkin, kamu penasaran kenapa Tora tiba-tiba saja berhenti kerja? Lebih tepatnya, diberhentikan. Iya, kan?"
Clara mengangguk. "Ya, itu terlalu tiba-tiba. Coba pikir, jika dia memang melakukan sebuah kesalahan, seharusnya pihak kantor memberinya peringatan. Jika itu berat, tentu kita semua harus tahu itu, bukan? Agar jadi pelajaran semua pegawai."
"Ya, tapi sepertinya, ia memang melakukan kesalahan besar yang tidak seharusnya orang-orang tahu."
Clara bertanya-tanya. Kesalahan apa yang sudah Tora lakukan? Memang, ia lega karena itu berarti, Tora tak akan lagi mengusiknya. Namun, tentu saja, tiba-tiba pergi, itu sesuatu yang tak jelas. Seperti kebanyakan manusia lain, Clara juga menyukai kejelasan dari suatu perkara.
"Kamu tahu, kan, Clif? Kasus yang menimpamu kemarin-kemarin?"
Clara mengangguk. Sebenarnya, ia tak mau ingat lagi soal itu.
"Kasusmu sudah reda, kan?"
Clara mengangguk lagi.
"Memangnya, siapa yang menyelesaikannya?"
Clara terdiam. Tidak mengerti maksud Sonia.
"Siapa yang menyelesaikan kasus itu, dan siapa pula pelaku di balik kasusmu itu? Kamu tidak tahu, bukan?"
Clara menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Aku tidak ingin kamu salah paham. Aku juga tidak begitu yakin, tapi kupikir, Tora terlibat."
Clara tertawa. "Tidak, Sonia. Itu tidak mungkin."
Sonia tersenyum, menatap Clara. "Aku serius."
"Dari mana kamu tahu?"
"Ah, Clif. Kamu belum mengerti juga. Sudah kubilang, jangan terlalu polos. Aku sudah lama bekerja di bawah Kristo Wijaya."
"Ya, lalu?"
"Aku lebih paham situasinya dibandingkan dirimu. Aku paham bagaimana seluk-beluk kantor dan bagaiman sistem yang berjalan. Kamu harus tahu, Clif. Kristi Wijay, tidak seperti yang kita pikirkan. Aku tidak tahu apa yang disembunyikan oleh politisi itu. Hanya, tentu saja, predikat orang baik, rasanya tak pantas tersemat padanya."
Sonia terlihat sangat tahu banyak hal. Namun, itu tak bisa begitu saja menyingkirkan pandangan dan keyakinan Clara kepada Kristo Wijaya yang sudah tertanam sejak dulu.
"Kenapa?"
Clara menggeleng. "Aku tidak tahu, Sonia. Aku hanya merasa, saat berbicara denganmu, berbicara soal apa pun, aku merasa tidak tahu apa-apa."
"Itu buruk."
"Buruk?"
Sonia mengangguk. Obrolan mereka terhenti ketika pelayan menyodorkan pesanan mereka. Sonia dan Clara merasa, mereka perlu berhati-hati dalam setiap ucapannya. Entah kenapa.
"Oke, kita sebut saja, kamu tidak tahu apa pun. Tapi satu yang pasti, kamu sepertinya punya hubungan cukup dekat dengan seseorang di kantor, bukan?"
Clara menggeleng. Untuk pertanyaan Sonia yang satu itu, Clara merasa Sonia sangat salah.
"Kamu salah, untuk yang satu itu, kamu salah, Sonia. Aku tidak pernah punya koneksi atau hubungan dengan siapa pun di kantor."
Sonia mengangguk-angguk. Sejujurnya, ia juga tidak terlalu yakin, tapi ada satu hal yang membuatnya bisa berpikir ke arah sana.
Tidak ada yang berani menyinggung kasus Clara di kantor.
Sonia membiarkan Clara menyantap makanannya terlebih dahulu. Sementara itu, ia berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk menyatakan kecurigaannya itu. Bagaimanapun, Clara harus tahu.
Setelah keduanya selesai dengan makan siang, Sonia kembali membawa Clara pada obrolan dengan tema yang sama seperti sebelumnya.
"Clif, aku boleh bicara lagi soal yang tadi, kan?"
"Oke, boleh. Setelah perut kita terisi penuh, biasanya kita akan bisa menimbang sesuatu dengan lebih tepat."
"Ya, benar. Setuju. Soal tadi, kenapa aku bilang kalau kamu mungkin punya hubungan dengan seseorang di kantor. Kamu tahu, Clara? Meskipun kamu terlibat kasus bullying di media sosial kemarin-kemarin, ya, meskipun tentu saja kamu bukan pelakunya, setidaknya, seharusnya atasan kita memanggilmu ke kantor untuk meminta keterangan."
Clara mencoba memikirkan apa yang Sonia katakan.
"Coba pikir, kita ini adalah orang-orang, penulis-penulis yang bekerja di bawah seorang Kristo Wijaya, untuk mengurus semua citranya di media sosial. Tidakkah kamu berpikir, Clif? Seharusnya, atasan kita cukup terusik karena kasusmu itu."
Clara menelan ludah. Setiap kalimat dari Sonia, membuatnya merasa jadi orang bodoh. Sangat bodoh. Clara tak pernah berpikir ke arah sana. Tidak sama sekali. Dan itu membuatnya merasa sangat tidak tahu apa-apa.
"Oke. Jangan terlalu dipikirkan," ucap Sonia. Melihat Clara yang terlihat berpikir keras, itu membuat Sonia merasa tidak nyaman.
"Bagaimana aku tidak akan memikirkannya, sementara semua yang kamu katakan barusan, membuatku berpikir ulang dengan semua yang sudah terjadi. Aku benar-benar merasa tidak tahu apa-apa."
"Sekarang, kamu tahu, bukan? Jangan pikirkan yang sudah-sudah. Pikirkan yang sekarang saja. Saat ini. Jangan terlalu percaya kepada siapa pun, jangan terlalu naif, jangan terlalu polos."
Clara mengangguk pelan. Ia akan ingat semua yang Sonia katakan.
Clara pikir, ia harus mendiskusikan semua yang ia tahu dari Sonia, kepada seseorang. Apakah mungkin, itu San? Ia harus mendiskusikannya dengan laki-laki itu?
"Aku yang bayar, ya. Setelah ini, ayo kita kembali ke kantor," ucap Sonia.
"Tidak usah," ucap Clara.
"Oke. Kamu yang bayar."
Clara hanya bisa geleng-geleng kepala.