Pertanyaan dan Jawaban

1010 Kata
Clara dijemput oleh San. Laki-laki itu, seperti biasa. Tampak semringah dan ceria. San selalu menyambut Clara dengan senyuman termanisnya. Tak lupa, ia berikan bunga atau cokelat, atau apa saja, kesukaan Clara. Tak pernah San absen dengan hal-hal itu. Kalau sudah begitu, mana bisa Clara berpaling darinya. "Terima kasih," ucap Clara sambil menciumi bunga yang diberikan San. "Sama-sama, Sayang." "Heh." Clara protes. "Oke-oke. Bagaimana harimu?" tanya San sambil mulai menjalankan mobil. "Oke." Sesaat setelah Clara mengatakan itu, ia jadi ragu. Clara hendak menyampaikan apa yang ia pikirkan soal semua yang Sonia bicarakan tadi, tapi melihat San yang bersemangat, Clara pikir, saat itu bukan waktu yang tepat. "Emmh, bagaimana kalau kita bicarakan sesuatu yang menarik," ucap Clara, seolah memberi usul agar perjalanan mereka menuju rumah diisi dengan percakapan yang menyenangkan saja. "Oke. Apa yang harus kita bicarakan?" tanya San dengan santainya. "Apa, ya. Aku juga tidak tahu, haha." Tawa Clara membuat San tertawa juga. Mereka mulai terbiasa tertawa untuk hal-hal tidak jelas dan receh. "Oke. Jadi begini saja, aku akan tanyakan lima pertanyaan kepadamu, dan kamu harus jawab jujur. Kamu juga bisa tanyakan lima pertanyaan kepadaku, dan aku akan menjawabnya dengan jujur. Bagaimana?" San merasa itu sangat menarik. "Sangat menarik. Aku mau." "Oke. Jadi, siapa duluan yang bertanya?" "Aku. Aku yang duluan," ucap San. "Oke, silakan. Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Bebas." Gadis itu penasaran dengan apa yang ditanyakan oleh San. "Apa kamu bahagia saat bersamaku?" Clara langsung tersenyum. "Pertanyaan apa itu? Kupikir pertanyaannya bukan seperti itu?" "Oh, memangnya harus pertanyaan yang bagaimana? Satu kali satu? Dua kali dua? Yang demikian?" Clara menggeleng. "Bukan juga." "Ya sudah, jawab. Itu pertanyaan yang cukup mudah, bukan?" Ya, itu mudah. Clara hanya malu mengatakannya. "Aku, aku bahagia saat bersamamu. Saat memikirkanmu." San jadi salah tingkah mendengarnya. Ia yang bertanya, dan hendak membuat Clara malu, tapi malah ia yang lebih malu. "Oke. Sekarang, giliranku?" tanya Clara. "Oke, silakan." "Kamu punya mantan kekasih, kan? Model?" Clara tahu soal itu dari komentar netizen beberapa waktu lalu. Wajah San langsung berubah. Kenapa pertanyaan Clara harus itu? "Pass. Ada pertanyaan lain?" Suasana jadi aneh dan Clara yang menyadarinya, berusaha mengubah suasana yang baru saja tercipta. "Haha. Oke-oke. Aku ganti pertanyaannya." "Maaf," ucap San. Masih dengan raut wajah yang datar, dan matanya fokus ke jalanan di depan. "Tidak apa-apa, aku yang salah. Karena sudah mempertanyakan hal yang aneh." Untuk pertama kalinya, seingat Clara, San terlihat marah dan itu membuat Clara jadi takut. Marahnya San, menakutkan. Tiba-tiba, San kembali tersenyum dan melirik ke arah Clara. "Santai saja, aku hanya tidak ingin membicarakan masa lalu. Itu tidak penting lagi sekarang." Clara mengangguk-angguk. Lega. "Oke, aku ganti saja pertanyaannya. Boleh?" "Boleh sekali, Nona!" "Haha. Oke. Pertanyaannya adalah, apa motivasimu dalam menulis?" Clara yakin, kalau apa yang baru saja ia tanyakan, itu merupakan pertanyaan yang mudah. Apalagi bagi seorang penulis berkelas seperti San. Ia ingin tahu, apa motivasi seorang San dalam menulis. "Baik. Ini pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku ketika seminar." "Hah, iyakah?" tanya Clara, terkejut. Ketahuan, ia bukan fans San sejati. "Ya. Aku sering mendapat pertanyaan ini." "Oke. Jawabannya?" "Jawabannya adalah, semua orang di dalam hidupku. Semua orang di dalam hidupku, semuanya, mereka sangat mendukungku jadi penulis. Jadi, rasanya tak ada alasan bagiku untuk tidak bersemangat. Jujur, motivasi terbesarku menulis ya, semua orang di dalam hidupku." Clara mengangguk-angguk. Ia jadi sedikit iri. "Ah, aku terjebak dengan pertanyaanku sendiri." "Kenapa?" "Karena kamu didukung semua orang. Sedang aku, tidak." Ada jeda beberapa saat setelah kalimat dari Clara. San sepertinya berusaha hati-hati untuk menanggapi. "Aku ingin bertemu ibumu." "Hah?" Clara terkejut bukan main. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada laki-laki yang meminta untuk bertemu dengan ibunya. Bahkan Naren, yang sudah kenal bertahun-tahun, tak pernah menyinggung soal ibunya sama sekali. "Iya, bertemu dengan ibu dan adikmu. Boleh, ya?" Clara mengangguk pelan sekali. "Boleh saja, suatu saat nanti. Kalau mereka sudah tidak marah kepadaku." "Begitu, ya. Dengar, Clif. Aku tidak tahu soal apa pun tentang hubungan kalian bertiga. Kamu dan adik serta ibumu itu. Hanya yang aku tangkap, hubungan kalian sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, kupikir kamu harus mengambil langkah." "Mengambil langkah?" Clara mulai tertarik dengan apa yang San usulkan. Padahal, San memang tidak tahu apa-apa soal masalah Clara dan ibunya. Tapi, San seperti menguasai keadaan. Itulah salah satu hal yang membuat Clara tenang di dekat San. "Ya, ambil satu langkah. Aku tahu, pasti kamu juga sudah berusaha untuk memperbaiki semuanya. Tapi, belum juga berhasil. Lalu, kamu mulai mendiamkan mereka. Kamu mulai memberi jarak, mulai asing. Dan mulai nyaman dengan keterasingan itu. Seolah, memang itulah yang terbaik. Padahal, selalu ada yang lebih baik ketimbang perselisihan lama-lama." Clara tersenyum, bukan hanya karena kata-kata San yang memang sarat akan makna dan pesan kebaikan. Akan tetapi, karena kata-kata San juga seolah benar-benar di-filter sebelum diucapkan kepada Clara. "Iya. Jadi, menurutmu, aku harus bagaimana? Apa langkah yang harus kuambil?" Clara menatap San. Laki-laki itu menghentikan mobilnya. Sudah sampai. Clara baru sadar kalau mereka sudah sampai di depan rumahnya. "Kita sudah sampai." "Heemh. Kita sudah sampai. Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku." "Kamu sudah bertanya berapa banyak?" Clara tersenyum. "Kamu curang, Clif." "Ya, katakanlah aku menghabiskan jatah pertanyaanku. Tapi, aku ingin tahu. Apa langkah yang sebaiknya aku ambil? Aku ingin tahu pendapatmu. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan orang-orang yang kusayangi." "Oke, baik." "Ayolah," ucap Clara setengah memohon. "Pertemuan. Bertemu dengan mereka. Mungkin, kamu mencoba berkomunikasi dengan dua orang itu lewat telepon. Tapi ketahuilah, Clif. Ketika dua orang bertengkar atau punya masalah, jangan dibicarakan lewat media sosial atau telepon. Bertemu. Itu satu-satunya jalan paling ampuh. Percaya padaku." Clara mengangguk. Ia pernah dengan kata-kata yang hampir mirip soal itu. Bahwa memang ada perbedaan besar ketika berbicara lewat ponsel atau bertemu langsung. Ketika bertemu langsung, berbicara langsung, setiap orang yang sedang berkomunikasi langsung, akan saling melihat raut dan ekspresi masing-masing. "Jadwalkan, ya." "Apa?" "Pertemuan kita dengan ibumu dan adikmu. Harus." Clara tersenyum. Mengangguk. "Masuklah. Sudah sore." "Oke." "Ingat. Aku masih punya jatah empat pertanyaan untukmu. Oke?" "Iyaaa. Aku juga." "Jatahmu habis!" "Aku tambah lagi barusan." "Eh!" Clara keluar dari mobil dan berlari kecil seperti anak kecil yang sedang dikejar ibunya. San yang melihatnya hanya tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN